Hari yg mendung sepertinya. Cukup untuk membuat orang-orang memilih untuk tetap tinggal di rumah mereka yg hangat. Apalagi dgn hembusan angin yg rupanya membuat para pejalan kaki yg nekat pergi merapatkan jaketnya. Namun, sepertinya dua orang pejalan kaki kita yg satu ni tak terlalu peduli dgn cuaca yg tak terlalu bersahabat.
Sang kakak menggenggam tangan adiknya erat –walaupun sangat kentara si adik berusaha melepaskan pegangan tangannya– sambil terus memberikan petuah yg sejak berangkat tadi selalu diulangnya berkali-kali, hingga membuat si adik bosan mendengarnya.
"Dengar Sasuke, aku tak mau kau membuat masalah kali ini. Jadilah anak baik untuk hari ni dan seterusnya karena kau sudah kuanggap cukup dewasa untuk mengambil pekerjaan ini," ujar pria yg lebih tinggi.
Sang adik hanya menjawab dgn malas, "Hn."
"Dan ingat, jika kau sampai mengacaukan pekerjaanmu, maka aku yg akan kena imbasnya. Juga nama besar Uchiha yg kita sandang selama ni akan kehilangan wibawanya. Kau jangan pernah sampai melalaikan tugas apapun yg diberikan padamu.."
Aniki suka sekali bicara sih? Aku yg mendengarnya dari tadi saja sampai bosan.. Sasuke sudah tak lagi memberi perhatian pd apa yg diutarakan oleh kakaknya. Dia sudah hafal dgn wejangan yg selalu diberikan sejak dia masih berumur 5 tahun. Lebih tepatnya setelah orang tua mereka meninggal dunia.
Uchiha Sasuke. Usianya baru saja memasuki hitungan 10 tahun. Walaupun begitu, mulai hari ni dia akan menjalani pekerjaan barunya. Bodyguard.
Yap. Keluarga Uchiha adalah penghasil bodyguard-bodyguard terbaik yg dimiliki oleh Konoha. Mereka sudah dididik sejak usia belia untuk menjadi bodyguard yg handal kemudian menjalani pekerjaanya ketika sudah dianggap memiliki kemampuan yg cukup. Dan Sasuke adalah satu diantaranya. Walaupun masih 10 tahun, dia adalah salah satu yg terbaik.
Dan mulai hari ini, hidupnya akan sama sekali berbeda..
XxXxX
"Kita sampai.." Itachi menghentikan langkahnya kemudian mengalihkan pandangan pd adiknya. "Mulai hari ini, inilah rumah barumu.."
Sasuke melepaskan pegangan tangannya dan memandangi bangunan di depannya. Walaupun masih berada di luar gerbang, dia bisa mengetahui seberapa kaya orang yg tinggal di rumah itu.
Gerbang yg tinggi menjulang dgn ukiran-ukiran yg belum pernah dilihatnya sama sekali. Kemudian tembok pagar yg membatasi rumah, hampir setinggi 3 meter, seakan tak mengijinkan orang-orang yg tak berkepentingan untuk sekedar memandangi rumah mewah yg berada di balik tembok itu. Belum lagi ditambah 2 orang penjaga –yang seperti ingin menelan hidup-hidup siapa pun yg berani mendekati daerah penjagaannya– yg mondar mandir di depan gerbang dgn pakaian hitam-hitam.
"Kau terkejut, Sasuke?" tanya Itachi dgn seringaian khasnya.
Sasuke tersadar dari lamunannya kemudian menggeleng kuat-kuat. "Enak saja! Rumah seperti ni sih, aku jg sering melihatnya," bantahnya. Itachi hanya mengangkat bahu melihat kelakuan adik semata wayangnya.
"Baiklah.. kau tunggu dulu sebentar di sini. Aku harus melapor lebih dulu ke bagian keamanan." Itachi berjalan menuju dua orang penjaga-berpakaian-mafia itu. "Dan jangan buat masalah!" tambahnya tanpa membalikkan badan.
SASUKE'S POV
Ya ya ya. Jangan buat masalah.
Haaah.. Aku menarik napas panjang dan mendengus. Kenapa hari ni aku dianggap seperti pembuat onar, sih? Tentu saja aku tak akan dgn bodohnya melempari barang-barang yg bisa kujangkau / pun tanpa peringatan langsung menendang majikan baruku, kan? Tanpa diperingatkan pun, aku sudah tahu bahwa aku harus menimbulkan kesan yg baik di hari pertamaku ini.
Kemudian aku mulai berjalan menelusuri pagar tembok yg membentang itu. Benar-benar rumah yg besar! Aku bahkan hampir tak bisa melihat ujung dari tembok ini. Ketika akhirnya mendapatkan ujung dari tembok itu, aku berbelok. Ternyata di akhir tembok ni ada sebuah gang kecil yg hampir tak terlihat. Kemudian aku melanjutkan menelusuri gang itu, melupakan perintah Itachi untuk menunggunya di tempat tadi.
'Srek.. srek..'
Eh? Suara apa itu? Aku melihat ke sekelilingku, meyakinkan diri sendiri bahwa aku hanya tertipu oleh telingaku.
'Srek.. srek..'
Tuh kan! Bukan aku yg salah dengar! Memang ada suara kok! Aku kembali memandang sekelilingku, kali ni dgn lebih seksama. Gang yg sepi, tak ada orang lain yg melintas. Bahkan kucing-kucing liar yg akhir-akhir ni jumlahnya meledak pun tak kelihatan satu pun.
Lalu.. tadi suara apa dong?
'Srek.. srek..'
Untuk yg ketiga kalinya suara itu terdengar. Aku mulai barpikir yg macam-macam. Jangan-jangan.. nggak, nggak mungkin! pikirku sambil menggelengkan kepala kuat-kuat. Yang namanya hantu itu hanya dongeng untuk menghukum anak-anak nakal saja, kan?
'Srek.. srek..'
Kali ni aku sungguh ketakutan.
"Woy!"
Tuan hantu, maafkan aku jika mengganggumu!
"Woy! Minggir!"
Aku akan pergi jika itu yg Anda mau! Aku menutup wajahku dgn tanganku. Lututku mulai gemetaran.
"Woy! Pantat Ayam, minggir!"
Twitch. Aku menaikkan alisku. Sialan benar ada hantu yg memanggilku seperti itu.
Bluk
Kali ni sepasang sepatu jatuh tepat di depanku. Kemudian aku menyadari kebodohanku dan melihat ke atas. Seorang anak laki-laki sedang bergelantungan di atas tembok pembatas.
"Minggir kau, Teme!"
Kemudian, dlm sepersekian detik, anak laki-laki itu melepaskan pegangannya. Dan tanpa sempat menghindar, dgn sukses dia membuatku terjungkal dan jatuh terduduk di atasku.
BRRUKK
"Argh! Turun dariku, Dobe!" teriakku padanya sambil mendorong tubuhnya dari badanku. Dia segera bangkit dan berjalan menghampiri sepatu yg tadi dijatuhkannya. Aku pun segera berdiri dan menepuk-nepuk pantatku untuk menghilangkan kotoran yg menempel akibat terjatuh tadi –sekaligus merasakan pantatku yg sedikit nyeri karena menahan berat tubuhnya barusan-.
Ketika memandang ke depan lagi, kulihat anak itu sedang memandangku.
"Kamu nggak papa?" tanyanya dgn pandangan yg terlihat menyesal.
Aku hanya memandangnya balik dan menjawab singkat, "Hn."
Pandangannya sedikit berubah menjadi lebih lega. "Baguslah kalau begitu.." Lalu dia berbalik dan mulai berjalan menjauhiku.
Aku sedikit kesal dibuatnya.
"Hei! Tunggu dulu!" Anak itu berbalik lagi dan memandangku dgn heran.
"Kenapa sih? Tadi kamu bilang nggak papa." Dia berjalan ke arahku. "Aku lagi buru-buru nih.. kalau nggak penting, aku pergi aja.." Dia berbalik lagi, tapi aku menangkap tangannya. Sekarang aku benar-benar kesal!
"Pergi tanpa minta maaf setelah membuat kesalahan itu pengecut tahu! Terus, kau panggil apa tadi? Pantat ayam? Kau tak pernah diajari tatakrama apa?" teriakku di depan wajahnya. Dia mundur selangkah. Matanya lurus menatapku. Ada sedikit kilatan terluka di sana.
"Bukan salahku! Tadi aku sudah memperingatkan kamu untuk minggir, tapi kamu malah berdiri di sana seperti orang bodoh! Jangan-jangan kau kira aku hantu lagi? Benar kan?" katanya sambil tertawa mengejek. "Baka.."
Uh.. anak ini.. "Enak saja! Lagipula, hanya orang bodoh yg naik-naik pagar setinggi itu," kataku sambil menunjuk ke tempat dia bergelantungan tadi. "Sedang apa kau di atas tadi?"
Dia mendengus. "Bukan urusanmu, Teme!"
"Kau bilang apa, Dobe?"
"Teme!"
"Dobe!"
"Teme!"
"Dobe!"
"Tuan muda Naruto!" Terdengar suara dari balik tembok.
"…"
"Huwa! Iruka pasti sudah sadar aku kabur!" Anak laki-laki itu kelihatan panik.
"Ayo cepat! Harus pergi dari sini sebelum mereka menemukan aku." Dia berbalik dan mulai berlari. Dan tanpa sadar, aku yg masih memegang tangannya berlari mengikutinya.
"Eh..?"
END SASUKE'S POV
XxXxX
"Terus.. kenapa kau ada di sini?" tanya anak laki-laki berambut pirang kepada anak laki-laki di hadapannya. Tangannya disilangkan di depan dada. Kaki kanannya menghentak-hentak di lantai sedangkan kaki kirinya menahan berat tubuhnya.
"Eh..?"
"Aku tanya, kenapa kau ada di sini? Membuntuti aku?" Si rambut pirang menunggu jawaban dgn tak sabar.
"Yah.. aku jg nggak tahu kenapa.. habisnya, tadi kamu narik tanganku sih.." jawab si rambut hitam asal.
"Hhuff.. alasan konyol.." Si pirang membalikkan badannya kemudian duduk di atas sebuah sofa tua yg ada di samping jendela.
Kemudian selama beberapa saat, keheningan menguasai angkasa. Hanya terdengar suara hujan yg mulai jatuh sebutir demi sebutir.
Akhirnya si pirang kembali buka suara. "Kau mau terus berdiri di situ sampai kapan?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangannya dari jendela. "Duduklah.. kelihatannya hujannya tak akan cepat berhenti.."
Si rambut hitam mengeluarkan seringaian khasnya kemudian berjalan mendekati si rambut pirang. "Ternyata mulutmu itu bisa jg mengatakan hal-hal yg enak didengar," ujarnya sambil duduk di samping anak laki-laki yg lebih pendek darinya itu.
Lagi-lagi, dia mendengus. "Terserah kau sajalah, Teme. Aku sedang tak ada minat untuk bertengkar denganmu."
Hening lagi. Hujan di luar jendela sudah semakin deras.
"Namikaze Uzumaki Naruto." Si rambut pirang menjulurkan tangannya kepada si rambut hitam dgn pandangan yg masih tertuju ke jendela.
"Eh…?" Si rambut hitam menatapnya dgn bingung.
"Namaku, Teme," Naruto akhirnya mengalihkan pandangan pd anak laki-laki di sampingnya.
"Oh.."
"Lalu.."
"Lalu apa?"
"Namamu, Te.. ah, sudahlah.. lupakan saja.."
"Uchiha Sasuke." Sasuke tersenyum kecil –kecil, tapi senyuman, bukan seringaian / senyuman dibuat-buat yg biasa ditunjukkannya-.
Naruto tersenyum melihatnya. "Ternyata kau tahu caranya tersenyum ya? Kukira semua Uchiha tak punya ekspresi.."
"Hn.."
"Kau tahu? Kau lebih tampan ketika tersenyum tahu.."
Seketika itu juga, wajah Sasuke memanas. Dia berusaha mengalihkan pandangan pd apa pun selain mata biru Naruto yg terus menatapnya.
"Hmph.." Naruto berusaha menahan tawa, tapi rupanya tak berhasil. "Hahaha.. kau lucu, Sasuke. Wajahmu merah!"
"Berhenti mengerjaiku, Dobe!"
SASUKE'S POV
"Berhenti mengerjaiku, Dobe!"
Aku kembali mengalihkan pandanganku. Sial! Seorang Uchiha seharusnya tak boleh memerah seperti ini!
"Kau tahu ni tempat apa?" Aku berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Oh.. yah.. tentu saja.." Dia kelihatan tak suka dgn pertanyaan ini. "Gedung ni adalah gedung bekas apartemen. Sudah hampir 5 tahun tak digunakan. Aku.. suka bermain di sini. Tenang. Dan jika aku di sini, tak akan ada yg bisa menemukanku.."
Hei, ni hanya penglihatanku yg salah / memang anak superhiperaktif ni sedang berusahah menahan tangis.
"Ah.. anggap saja aku tak pernah bertanya.."
Hanya dlm sedetik, dia kembali ke 'asalnya'.
"Oh ya, Teme.."
"Hentikan memanggilku teme, Dobe!"
"Sasuke.." ralatnya. ".. kau tahu, tempat ni adalah tempat yg paling tepat untuk melihat pemandangan Konoha pd malam hari.. sayangnya, sekarang sedang hujan.. dan lagi.."
CTAARR
Suara petir di luar sungguh memekakkan telinga. Dari jendela, terlihat berkas cahaya kekuningan di langit. Aku mengalihkan pandangan pd Naruto.
"Tadi kau mau bilang apa, Naru.." Aku terkejut ketika melihatnya. Naruto menutup matanya, menutup telinga dgn tangannya, dan menekukkan kaki ke dadanya.
"Kamu nggak apa-apa?" Oh, pintar Sasuke. Hanya dgn melihatnya, kau jelas tahu kan kalau ada apa-apa dengannya.
".. petir.. tadi.. petir…" Hanya itu yg bisa ditangkap oleh telingaku.
CTAARR
"Hiks.. hiks.." Kali ini, Naruto mulai menangis.
Berpikir, Sasuke.. otak jeniusmu harusnya bisa digunakan untuk saat-saat seperti ini. Hanya menenangkan anak kecil yg sedang menangis, apa susahnya sih?
Oke, hanya satu cara ni yg bisa kupikirkan.
Aku mengangkat tanganku kemudian melingkarkannya di sekeliling tubuh Naruto. Aku merasa tubuh Naruto sedikit berjengit dgn kelakuanku, namun kemudian dia menjadi lebih tenang. Setelah itu, aku mulai mengusap kepalanya.
"Ssstt.. tenanglah Naruto.."
".. petir.. benci.."
"Ya.. aku tahu.." Aku melihat ke arahnya. Tangisnya sudah mulai mereda. "Aku akan terus menemanimu sampai petirnya pergi.. jadi jangan menangis lagi.."
Aku merasakan anggukan kecil dari kepalanya. "Janji, kan?"
"Tentu saja! Seorang Uchiha tak akan pernah melangar janji." Aku menepuk kepalanya pelan.
Setelah beberapa menit, tangisnya berhenti, aku merasakan tarikan nafas yg teratur darinya. Ternyata dia tertidur.
Kemudian aku membetulkan posisi tidurnya. Meluruskan badannya di atas sofa dan meletakkan kepalanya di atas pangktanku.
Aku memandangi wajahnya yg sedang tertidur..
.. manis..
Kau bilang apa barusan Sasuke? Manis? Nggak.. nggak.. seorang Uchiha tak boleh mengatakan kata-kata gombal seperti itu, apalagi pd orang yg baru sehari dikenalnya.
Tapi, kata hati tak pernah bisa berbohong kan?
END OF SASUKE'S POV
XxXxX
Hmph..
Sasuke membuka matanya perlahan-lahan. Setelah Naruto tertidur, ternyata Sasuke pun tak bisa menahan kantuknya.
Sasuke memandangi pemilik mata biru yg masih tertidur di pangkuannya. Dalam hati, ia tersenyum. Naruto.. entah kenapa, anak itu menarik perhatiannya. Dalam satu waktu, dia bisa begitu kuat, mandiri, tak tersentuh, dan angkuh. Tapi ternyata orang seperti itupun masih mempunyai sisi lemah yg disimpannya rapat-rapat.
Setelah puas memandangi Naruto yg tertidur, Sasuke melirik jam tangannya. Pukul 7! Bagus! Jadi sudah hampir 5 jam dia menghilang bersama Naruto. Itachi pasti akan memarahinya habis-habisan.
Tak tega membangunkan Naruto yg masih tertidur pulas, Sasuke menggendongnya di punggungnya. Karena Sasuke tak tahu Naruto tinggal di mana, maka dia memutuskan untuk membawanya menemui Itachi. Lagipula, tadi dia tiba-tiba muncul dari pagar tembok rumah majikan barunya, mungkin mereka tahu tentang anak ini.
Dengan hati-hati, Sasuke berjalan melewati jalan yg tadi siang dilewatinya bersama Naruto. Beruntung hujan sudah berhenti satu jam yg lalu, sehingga jalanan pun sudah tak terlalu licin.
Sekitar 30 menit kemudian –dengan sedikit nyasar karena ternyata dia salah jalan- akhirnya Sasuke bisa melihat tembok tinggi yg sempat membuatnya terkagum-kagum.
Semakin dekat, dia bisa mendengar keributan yg sedang terjadi di sekitar rumah itu. Beberapa orang membawa walkie talkie sibuk berjalan ke sana ke mari. Ada yg membawa senter, beberapa lagi membawa obor. Dan dia bisa mendengar potongan-potongan pembicaraan dari beberapa orang yg sibuk lalu lalang itu.
"Sudah di cari di semua tempat?"
"Tentu saja sudah! Di kolong meja, kolong tempat tidur, lemari, dapur, selokan, sumur, bahkan kuburan Cina yg ada di ujung jalan jg sudah!"
"Bodoh! Tempat-tempat yg seperti itu tak mungkin ada!"
"Cari lagi semuanya!"
"Sebelum ketemu, tak ada yg boleh istirahat!"
Sasuke benar-benar bingung dgn keadaan yg seperti ini. Mereka semua sedang mencari apa sih? Sudahlah, yg penting aku harus cepat mencari aniki.
Sasuke mulai mendekati kerumunan itu. Belum sempat sampai di sana, dia mendengar namanya di panggil.
"UCHIHA SASUKE!"
Sasuke mengenali suara itu. Orang yg dicarinya saat ini, tapi jg orang yg akan membuat hidupnya berakhir saat ni juga. Dia berbalik, melihat siluet yg amat dikenalnya. Itachi.
"Jelaskan!" Hanya satu kata itu yg terucap dari bibir kakaknya. Tapi dia tahu, jawaban yg diberikannya harus bisa memuaskan hati kakaknya itu. "Eh.. itu.. ano.. aku.. duh.. tadi.." Sejujurnya, Sasuke sama sekali tak tahu apa yg akan dikatakannya.
"Gunakan perbendaharaan katamu, Uchiha Sasuke!" perintah kakaknya lagi. Kemudian, dia sepertinya beru tersadar akan sosok yg ada di punggung Sasuke. "Dan siapa yg kamu bawa itu?"
"I.. ini.." Sasuke berpikir sebentar "Ini.. Naruto.. anak yg kutemui tadi siang.. dan.."
"Jangan beralasan terus, Sasuke. Dan siapa itu Naru.." Dia sepertinya sadar akan sesuatu. "Kau bilang Naruto?" Sasuke mengangguk. "Maksudmu, Tuan Muda Naruto?"
Kali ini, Sasuke yg dibuat bingung. Tuan Muda katanya?
"Ada apa Itachi-san?" tiba-tiba seorang lelaki berkuncir dgn bekas luka yg memanjang di hidungnya, datang menghampiri mereka. "Apa Anda sudah menemukan Tuan Muda?"
Itachi tak mengatakan apa-apa. Dia hanya menunjuk ke arah Sasuke.
"Oh, ni adikmu ya? Salam ke.." Pria itu menghentikan kalimatnya ketika melihat sosok yg digendong Sasuke membuka matanya dan memandangnya.
"Aku pulang, Iruka.. hehehe.." ujarnya dgn menambahkan cengiran di sudut bibirnya.
Lelaki yg dipanggil Iruka itu terdiam sejenak, sebelum akhirnya berteriak sekuat tenaga, " UZUMAKI NARUTO! TIDAK ADA RAMEN SELAMA SEMINGGU!"
Dan Sasuke menarik tangannya saat itu jg untuk menutup telinganya yg menyebabkan Naruto dgn sukses meluncur ke tanah.
Ruang kerja Namikaze Minato.
"Jadi.. dia bodyguardku yg baru?" tanya Naruto pd orang-orang dewasa yg mengelilinginya. Di ruangan kerja yg lumayan besar itu saat ni berisikan Naruto, Sasuke dan kakaknya, Itachi, Iruka, dan –tentu saja sang pemilik ruangan kerja itu sendiri- Namikaze Minato. Mereka semua –kecuali Iruka yg dgn setia berdiri di samping majikannya- duduk mengelilingi sebuah meja kayu berornamen di ruangan itu.
Itachilah yg pertama kali angkat bicara. "Betul sekali, Tuan Muda.. Dia adalah adik saya satu-satunya," ujarnya sambil menatap adiknya yg sedari tadi masih salah tingkah. "Sepertinya Anda sudah bertemu dengannya tanpa sengaja tadi siang. Saya harap Anda bisa menerimanya dgn baik."
"Ya ya ya.. Menerimanya dgn baik setelah setelah dia mengata-ngataiku tadi siang?" tanya Naruto dgn suara yg terkesan bosan.
Mereka semua –minus Sasuke- memandang Sasuke dgn pandangan bertanya. Itachi malah menatap adiknya dgn pandangan yg seolah-olah mengatakan apa-kubilang-tadi-jangan-buat-masalah. Yang ditatap semakin salah tingkah.
"Ma.. maafkan saya, Tuan Muda.. Saya.. Saya tak tahu kalau Anda adalah majikan saya yg baru.." ujarnya terbata-bata, tanpa mengalihkan pandangannya dari lantai.
"Pandang lawan bicaramu, Uchiha.." desis Naruto.
Sasuke tersentak mendengarnya. Dia merasa sangat heran, anak laki-laki periang yg tadi siang dikenalnya sekarang sudah tergantikan dgn seseorang yg –menurutnya- berbeda.
Perlahan-lahan, Sasuke mengangkat kepalanya hanya untuk mendapati bahwa Naruto tengah memandangi dirinya dgn tatapan jahil dan cengiran di sudut bibirnya, yg segera berubah menjadi tawa .
"Hahaha!" Kembali, orang-orang di ruangan itu mengalihkan pandangannya, tapi kali ni kepada Naruto.
"Hmph.." Naruto berusaha menghentikan tawanya dgn sekuat tenaga. "Mukamu yg ketakutan seperti itu sungguh lucu sekali!"
Sasuke, yg sepertinya lupa dgn siapa dia sedang berbicara, merasa kesal dibodohi seperti itu. "Jangan main-main denganku, Dobe!" ujarnya sambil berdiri dan dan menggebrak meja yg ada di hadapannya.
Seketika itu juga, keheningan tiba-tiba datang menjelma. Sasuke yg sadar akan kesalahannya, kembali duduk dgn kepala yg menunduk dalam-dalam. "Go.. gomen.."
Kemudian, Naruto berdiri dgn tiba-tiba dan berjalan menuju ke arah pintu keluar. Iruka yg pertama-tama mengambil tindakan.
"Tu.. Tuan Muda mau ke mana?" tanyanya sambil menghampiri Naruto yg sudah mencapai ambang pintu.
Naruto berbalik dan berkata, "Mau ke kamar. Pembicaraan ni sudah selesai, kan?"
Sasuke merasa kedudukannya terancam, ditambah lagi pandangan kakaknya yg serasa menusuk tulang dan terus menyalahkannya, segera berdiri dan berjalan ke arah Naruto.
"Ma.. maafkan saya, Tuan Muda! Saya tadi.. kehilangan kendali.." Dibungkukkannya badannya dalam-dalam. "Saya.. saya janji, hal seperti itu tak akan terulang lagi.. Tolong beri saya kesempatan lagi.."
"Iruka.. bawa dia pergi.."
"Eh? Ta.. tapi Tuan Muda.." Iruka berusaha membela Sasuke yg masih membungkukkan badannya.
Itachi yg merasa kasihan pd adiknya turut berdiri dan menghampiri Naruto kemudian ikut membungkukkan badannya. "Maafkan adik saya yg bodoh ini, Tuan Muda.. Sepertinya saya kurang keras dlm mendidiknya.."
"Kubilang bawa dia pergi Iruka.. Ini perintah.."
"Tuan.."
"Sudahlah Iruka.. kalau itu memang kemauan Naruto, turuti saja.." Akhirnya Minato pun buka suara, masih duduk di tempatnya. "Kita bisa mencari bodyguard lain lagi besok.."
Naruto mendengus mendengarnya. "Siapa yg bilang harus cari bodyguard lain? Aku hanya bilang untuk membawanya pergi.. bukan minta dicarikan bodyguard baru. Untuk apa?"
"Tapi tadi.." Iruka berusaha mencerna perkataan majikannya itu.
"Aku menyuruhmu untuk membawanya pergi.. ke kamarnya.."
Sasuke tersentak mendengarnya. Diangkatnya kepalanya untuk memandang Naruto. "Jadi.. saya tak dipecat?"
"Aku tak ingat pernah bilang begitu.. Hitung-hitung balas budi karena melibatkanmu dlm masalah seperti ini.."
Sasuke sungguh tak percaya akan apa yg didengarnya. Anak laki-laki di hadapannya ni sungguh tak bisa ditebak.
"Te.. terima kasih Tuan Muda.. Terima kasih banyak.." ujar Sasuke yg diikuti oleh kakaknya.
"Ya ya ya.. terserah.." kata Naruto sambil melangkah ke luar ruangan. Kemudian, dia berbalik lagi. "Dan aku mau ramen untuk makan malamku, Iruka.. Tolong bawakan ke kamarku.."
Tanpa disangka, Iruka tersenyum jahil. "Wah, maafkan saya Tuan Muda.. tapi tak ada ramen selama seminggu sebagai hukuman karena Tuan Muda kabur dari rumah dan membuat semua orang khawatir.. Sepertinya saya sudah mengatakan hal itu pd Tuan Muda.."
Naruto terkejut mendengarnya. Mulutnya sedikit terbuka.
"Mari Sasuke-kun, akan saya tunjukkan kamar anda.." kata Iruka tanpa mempedulikan Naruto yg membatu di depan pintu. Sasuke mengikutinya tanpa banyak bicara. Terlalu takut untuk mengeluarkan suara melihat Naruto yg sepertinya sudah siap untuk meledak.
Setelah beberapa langkah, mereka bisa mendengar suara menggelegar yg untuk kedua kalinya mengagetkan seisi rumah itu.
"UMINO IRUKA! DILARANG PACARAN DENGAN KAKASHI SELAMA SEMINGGU!"
Dan dgn teriakan itu, wajah Iruka berubah menjadi merah padam, Sasuke dan Itachi terbatuk-batuk, dan Minato terjungkal dari kursinya.
XxXxX
NARUTO'S POV
Aku memandang anak laki-laki di sebelahku. Tatapannya lurus menatap jalan di depannya. Langkahnya tegap, berjalan tanpa ragu. Kemudian, sepertinya dia merasa aku memperhatikannya karena dia mengalihkan pandangannya padaku.
"Ada apa, Tuan Muda?" tanyanya.
Ugh.. aku tak suka panggilannya padaku itu. Seakan membuat perbedaan status antara aku dan dia semakin jelas.
"Tidak ada apa-apa kok.." jawabku sambil mengalihkan pandanganku.
Kami kembali melanjutkan perjalanan dlm diam. Jam pelajaran pertama akan dimulai 30 menit lagi, dan kami akan sampai di sekolah dlm waktu 10 menit. Masih banyak waktu..
Hei, kalian mungkin berpikir, kenapa aku, sang pewaris tunggal Namikaze Corporation yg sangat sukses itu pergi sekolah dgn jalan kaki? Ya, jawabannya mudah. Aku hanya ingin menjadi anak biasa seperti yg lainnya. Aneh kan?
Mungkin untuk kalian, pergi ke sekolah dgn berjalan kaki, tertawa bersama teman-teman adalah hal yg sangat biasa, bahkan terkadang membosankan. Tapi untukku, itu adalah hal yg amat kuimpikan.
Biasanya, aku melihat anak-anak seumuranku bergembira hanya dari kaca mobil yg kutumpangi. Pulang sekolah pun aku tak bisa bermain bersama dgn yg lainnya. Ayah mengharuskanku untuk langsung pulang begitu bel sekolah berbunyi. Ini menyebabkanku tak punya banyak teman. Begitu pula dgn bodyguard-bodyguard yg ayah sewa. Selama ini, tak ada yg betah dgn kelakuanku. Aku sering kabur begitu mereka lengah. Dan seringkali aku sengaja membuat masalah agar mereka cepat-cepat mengundurkan diri / malah dipecat. Bukannya aku punya dendam pribadi dgn mereka. Hanya saja, coba kau rasakan bagaimana diawasi selama 24 jam oleh seseorang. Jujur saja, tak enak!
Tapi sekarang, ayah mengijinkanku untuk pergi dgn berjalan kaki. Yippi! Senang sekali aku rasanya. Terima kasih kepada Sasuke yg sudah berhasil membantuku untuk membujuk ayah.
Ah.. Sasuke.. Aku kembali menatap anak laki-laki berambut hitam itu. Wajahnya tanpa ekspresi, seperti biasa. Walaupun aku tahu, dia jg memiliki berbagai macam akspresi yg tak pernah diperlihatkannya pd siapa pun. Apalagi senyumnya. Meski aku baru sekali melihatnya, tapi itu cukup untuk membuatku tetap mengingatnya.
Dan baru sekali ni aku merasa nyaman berada di dekat bodyguardku. Selama ni aku selalu berusaha untuk sejauh mungkin dari mereka. Tapi di dekat Sasuke terasa sangat.. berbeda. Hangat. Nyaman. Seperti waktu dia memelukku di hari pertama kami bertemu. Aku masih bisa samar-samar merasakan kehangatan tangannya yg melingkar di tubuhku.
Tiba-tiba, aku teringat akan sesuatu..
"Sasuke.." Dia mengalihkan pandangannya padaku.
"Hn?" katanya singkat.
"Tolong jangan panggil aku Tuan Muda di sekolah ya? Sepertinya sedikit.. memalukan.. Lagipula, mulai hari ni kau akan jadi kakak kelasku,kau kelas 4, sedangkan aku kelas 3, jadi paling tidak, kau bisa panggil namaku.."
Dia terlihat ragu. "Baiklah, Tuan Mu.."
"Naruto," potongku, "dan jangan tambahkan embel-embel apapun di belakangnya."
"Baiklah.. Naruto.."
Aku tersenyum mendengarnya.
"Ah.. dan terima kasih ya.." tambahku ketika gerbang Konoha Elementary School sudah terlihat di depan mata.
"Untuk?" Mata hitamnya menatap bingung.
Senyumku bertambah lebar. "Untuk menjadi orang pertama yg bersedia berteman denganku.."
Sasuke menghentikan langkahnya, tapi aku terus berjalan menuju gerbang dgn mantap meninggalkan Sasuke yg entah sedang memikirkan apa.
END OF NARUTO'S POV
SASUKE'S POV
"Untuk menjadi orang pertama yg bersedia menjadi temanku.."
Kata-kata itu dgn sukses membuat wajahku menjadi matang. Bukan hanya itu. Dia tersenyum padaku. Padaku! Bukan pd orang lain.
Argh! Ada apa denganku. Sejak bertemu dgn Naruto, sepertinya aku terlalu banyak mengeluarkan ekspresi. Tapi, aku tak keberatan jika yg melihat semua itu adalah Naruto. Jauh di dlm hati, aku ingin agar dia mengetahui diriku lebih banyak lagi, sebagaimana aku ingin tahu segala hal tentang dirinya.
Dan sejak saat ini, aku, Uchiha Sasuke, bersumpah akan selalu menjaga agar senyuman itu akan terus ada di wajahnya.
I'm promise.
###############################################################################################
8 tahun kemudian
"Tuan Muda…" pemuda berambut hitam itu mendekati ranjang bernuansa orange di depannya. Sebenarnya bukan hanya ranjang itu saja yg berwarna orange, tapi sebagian besar warna yg mendominasi kamar yg cukup luas itu pun berwarna serupa.
"Tuan Muda… kalau anda tak cepat-cepat bangun, anda akan ketinggalan upacara pembukaan…" katanya sambil berusaha menarik selimut yg menyembunyikan tubuh seorang pemuda pirang di dalamnya.
"… ma… nit…" hanya kata-kata itu yg berhasil meluncur dari bibir pemuda yg kini berusaha menyembunyikan kepalanya di bawah bantal.
Walaupun tak mendengar dgn jelas apa yg diucapkan pemuda yg lebih muda darinya itu, dia mengerti bahwa maksud dari kalimat itu adalah lima menit, yg bisa diartikan jg sebagai 'biarkan-aku-tidur'. Pengalaman membangunkan pemuda itu selama 8 tahun membuatnya hapal dgn kelakuan-kelakuannya dan trik-trik yg ampuh untuk membuatnya terbangun.
"Yah… kalau begitu, aku harus bilang pd Kakashi-san bahwa Tuan Muda tak minat untuk sarapan," dia menghentikan ucapannya sebentar, "padahal ramen hari ni sepertinya spesial… sayang sekali…"
Dan dlm hitungan detik, pemuda berambut pirang itu menendang selimutnya dan loncat dari tempat tidurnya kemudian menuju pintu keluar tanpa menyadari bahwa dia tak mengenakan apapun selain boxer berwarna –lagi-lagi – orange cerah yg melekat di tubuhnya.
Tapi bergerak secepat apapun, pemuda berambut hitam itu berhasil menangkap bahunya dan mengarahkannya ke kamar mandi yg ada di dlm kamar itu. "Tidak sebelum anda mandi, Tuan Muda…"
"Oh… Ayolah Sasuke… kamar mandi tak akan ke mana-mana… aku masih bisa mandi sehabis makan…" pemuda pirang itu merajuk, mengeluarkan tatapan khasnya yg bisa membuat semua orang menuruti permintaannya, puppy eyes no jutsu andalannya. Semuanya, kecuali Sasuke sepertinya.
"Dan anda masih tetap bisa makan ramen setelah anda mandi…" kata Sasuke. "Dan Tuan Muda… saya bukan lagi anak kecil yg mudah tertipu oleh tatapan Tuan itu…" lanjutnya sambil menyeringai.
"Ugh… kamu nggak asik ah!" Naruto menutup pintu kamar mandi dgn membantingnya. Sasuke hanya bisa menarik napas panjang.
Delapan tahun sudah berlalu sejak saat itu. Naruto tetap menjadi seorang Tuan Muda Manja yg kekanak-kanakkan, dan Sasuke tetap menjalankan tugasnya dgn baik dgn menghindarkan Naruto dari hal-hal yg membahayakan dirinya dan orang lain. Tak ada yg berubah…
…betulkah begitu?…
Mungkin tidak. Hanya saja, Sasuke tak ingin mengakui kehadiran desir-desir halus yg melanda hatinya ketika melihat Naruto tersenyum. Yang membuatnya tiap saat ingin selalu berada di dekatnya. Bahagia ketika melihatnya tertawa dan memeluknya ketika sedang bersedih. Dia tahu, ada perasaan lain selain kepada majikan dan bawahan. Perasaan yg lain, yg tak pernah dirasakannya pd orang lain. Perasaan yg tak bisa di dekripsikan oleh otak jeniusnya. Perasaan yg ia tak tahu namanya…
"Cklek.."
Sasuke menghentikan lamunannya ketika mendengar suara pintu yg dibuka.
Naruto keluar dari kamar mandi hanya dgn selembar handuk yg melilit di pinggangnya. Entah kenapa, Sasuke berharap ada angin yg menerbangkan handuk itu dan membuat apa yg berusaha ditutupi oleh selembar kain tersebut terekspos di depan matanya –oh… you're such a naughty boy, Sasuke…-
Naruto memandang Sasuke dgn tatapan bertanya-tanya. "Ne, teme, kenapa kau melihatku seperti itu?" dia mengalihkan pandangannya kemudian berjalan menuju lemari pakaiannya untuk mengambil seragam sekolahnya. Sasuke masih tak merespon.
Setelah menutup kembali pintu lemarinya, dia melangkah ke arah Sasuke sambil sebelah tangannya masih memegang bajunya yg serupa dgn yg Sasuke pakai sekarang.
Kemudian dgn tersenyum jahil, dia berbisik di telinga kiri Sasuke, "Apa kau mau membantuku berganti baju, Sa-su-ke?"
Sasuke bergidik ketika merasakan napas hangat Naruto menerpa telinganya. Rambut pirang Naruto yg basah menyentuh pipinya, membuatnya bisa mencium harum jeruk yg menguar dari tubuhnya. Dia menyentuh pundak Naruto dan mendorongnya menjauh.
"A… aku tunggu di bawah…" kata Sasuke dgn gugupnya. Wajahnya sudah sewarna dgn makanan kesukaannya, tomat.
Ketika sampai di luar kamar dia masih bisa mendengar suara tawa Naruto dan kata-katanya, "Kita satu sama sekarang, Sasuke!"
Sialan! Rutuk Sasuke dlm hati.
#
#
SASUKE'S POV
"Ayo cepat sedikit Sasuke! Kita bisa terlambat nanti!"
Aku hanya melirik pemuda pirang di sampingku sambil terus berkonsentrasi pd jalanan di depanku.
"Berhenti mengeluh, Tuan Muda. Anda sendiri yg membuat kita terlambat seperti ini."
"Argh! Makanya biarkan aku yg menyetir! Aku pasti bisa lebih cepat darimu!"
"Anda belum punya SIM, Tuan…"
"Bulan depan aku sudah 17 tahun!"
"Kalau begitu, tunggulah sampai bulan depan," kataku tenang. Delapan tahun hidup satu atap dengannya membuatku maklum akan sikapnya yg suka seenaknya sendiri.
"Teme jelek!" Naruto merajuk. Pipinya digembungkan dan kedua tangannya disilangkan di depan dadanya.
"Anda tak pernah bisa dewasa, Tuan Muda…" desisku.
"Apa peduliku!" dia mengalihkan pandangannya keluar jendela. "Kalau tahu begini sih, lebih baik aku berangkat dgn Sai-niisan saja…"
CKKKITT…
Tanpa sengaja, aku menginjak rem dan sukses membuat jidat Naruto berciuman dgn dashboard hingga mengeluarkan bunyi 'dukk' kecil.
"APA MAKSUDMU, TEME!" ujarnya sambil menggosok-gosok dahinya yg sekarang berwarna merah muda. "Bahkan tanpa SIM pun, aku bisa mengemudi lebih baik daripada kau…"
"Go… gomen… hanya saja…" aku bingung mencari kata-kata. "Saya memang sering mendengar anda memanggil Sai dgn sebutan 'aniki', tapi baru kali ni saya mendengar anda memanggilnya dgn sebutan… er… Sai-niisan." Aku kembali menyalakan mesin dan menjalankan mobil.
Naruto terdiam sebentar sebelum menjawab, "Bukan urusanmu, Teme…"
Aku tersenyum kecil, "Jawaban yg sudah diduga…"
Ingatanku melayang pd seorang pemuda yg mungkin kalau kau lihat secara sekilas terlihat seperti… aku. Mata dan rambut hitam yg mirip sepertiku.
Tapi jika kau perhatikan dgn seksama, maka akan ada perbedaan yg mencolok dari kami berdua. Wajahku yg selalu tanpa ekspresi dan terkesan kaku, sedangkan Sai adalah seorang yg tak pernah kehilangan senyum dari wajahnya. Tak pernah ada ekspresi lain yg ditunjukkannya pd orang-orang di sekitarnya, sehingga dia terkesan tak punya masalah. Padahal, jauh di dlm hatiku, aku yakin senyum yg digunakannya adalah topeng untuk menyembunyikan segala macam perasaan yg berkecamuk dlm hatinya.
Sai Mizuno. Usianya baru 22 tahun. Pemuda jenius yg menarik perhatian banyak orang. Lulus cum laude dari Konoha University pd usia 20 tahun. Sekarang dia adalah tangan kanan yg sangat dipercayai oleh Namikaze Minato. Tentu saja, selain karena prestasinya, Minato-sama pun sudah mengenalnya dgn sangat baik.
Dia adalah anak angkat dari tukang kebun keluarga Uzumaki, Akira Mizuno. Dia dibawa ke Uzumaki's mansion pd usia 8 tahun –usia Naruto saat itu masih 3 tahun-. Minato-sama yg menyadari kejeniusannya, akhirnya menyekolahkannya hingga perguruan tinggi untuk membantu pekerjaannya dan Naruto kelak. Dan entah kenapa aku merasa, Sai itu sedikit… berbahaya. Maka dari itu, walaupun kami tinggal bersama-sama selama delapan tahun ini, aku sangat jarang berbicara dengannya. Tapi kebalikan dari diriku, Naruto amat menyayangi Sai… sebagai KAKAK! Ingat, sebagai KAKAK! Tidak lebih dan tak kurang! Karena kalau lebih dari itu, aku rasa aku tak akan bisa memaafkan diriku sendiri.
Aku kembali memfokuskan pandangan dan pikiranku pd jalanan ketika aku melihat gerbang sekolah kami, Konoha High School. Banyak siswa yg sudah datang, bergerombol dgn teman-temannya sambil bertukar cerita sewaktu liburan ataupun hanya sekedar menanyakan kabar. Pertanyaan basa-basi. Beberapa anak berdiri sendiri-sendiri, menjauh dari kerumunan, mencoba beradaptasi dgn lingkungan yg asing baginya. Anak baru.
Setelah mendapatkan tempat kosong untuk parkir, aku dgn hati-hati memarkirkan mobil yg masih mulus itu. Tentu saja, tergores sedikit saja, maka Minato-sama akan menggantinya sesegera mungkin. Dasar orang kaya.
"Welcome back to school…" desis Naruto.
"Anda kelihatan tak senang, Tuan Mu…" belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, seorang pemuda memanggil Naruto.
"Hey, Naruto!" pemuda beralis tebal itu merangkul pundak Naruto. "Sudah siap untuk memulai tahun ajaran baru ni dgn semangat jiwa mudamu?" Naruto diam, kentara sekali dia tak suka diperlakukan seperti itu.
"Bagus…!" rupanya diamnya Naruto dianggap sebagai tanda setuju oleh pemuda itu. "Kalau begitu, ayo kita tularkan semangat masa muda ni kepada yg lainnya…" dia menarik tangan Naruto menuju gedung bertingkat 4 berwarna hijau-kuning di hadapannya. "Ah… dan selamat pagi, Sasuke-senpai…" ujarnya sebelum membawa 'kabur' Naruto ke dlm kerumunan orang-orang.
Aku hanya tertawa kecil melihat sedikit adegan yg yang sudah jadi santapan sehari-hari ini. Ada rasa senang yg menyelusup ke dlm hatiku. Karena akhirnya, Naruto memiliki teman-teman yg menerima dirinya apa adanya, tulus, dan tak pernah mempermasalahkan statusnya.
Ah… dan satu hal lagi. Di sekolah ni –sepertinya- tak ada yg tahu tentang hubunganku dan Naruto sebagai majikan dan bawahan. Yang mereka semua tahu adalah bahwa aku sepupu jauh Naruto yg tinggal bersama dengannya karena orang tuaku sudah meninggal. Sebagian benar, dan sebagian lagi… bohong. Yah… terkadang ada baiknya sebuah kenyataan harus disembunyikan bukan?
#
#
NARUTO'S POV
Minggu yg buruk untuk memulai tahun ajaran baru. Lee, yg sepertinya sudah hafal dgn jadwalku datang ke sekolah, sekarang selalu menungguku di tempat parkir dan kemudian 'menculikku' untuk menyebarkan apa yg disebutnya sebagai 'semangat masa muda'. Dan dlm pembagian kelas –sepertinya Tuhan sedang membenciku- aku harus sekelas, bahkan sebangku, dgn dia! Haah… menyebalkan. Bukannya aku tak suka pd Lee, dia cukup menyenangkan kok. Hanya saja… yah, tahu sendirilah bagaimana sifatnya.
Dan sudah hampir seminggu ini, Ayah dan Sai-niisan tak pulang. Mereka bilang ada urusan bisnis di Suna. Jadi, di rumah sebesar ni hanya di huni oleh aku, Sasuke, Kakashi, Iruka, bibi Yumiko, dan beberapa pembantu yg lain jg penjaga-penjaga yg bahkan aku tak hapal namanya. Tapi beberapa dari mereka tak tinggal di rumah ini. Hanya bekerja dari pagi hingga sore hari, kemudian pulang ke rumah masing-masing ketika malam hari.
Kakashi, 30 tahun, adalah koki di rumah ini. Walaupun sifat mesumnya itu sangat menyebalkan, tapi harus kuakui masakannya adalah yg nomor satu. Sedangkan Iruka, 28 tahun, adalah kepala pelayan di sini. Tugasnya mengomandoi pelayan-pelayan lainnya agar melakukan tugas masing-masing dgn benar. Orangnya sangat menyenangkan. Dia memperlakukanku seperti anaknya sendiri. Oh, dan aku sudah tahu sejak lama kalau mereka berdua itu punya semacam… er… hubungan khusus. Pernah suatu malam aku terbangun di tengah malam karena lapar dan mendapati mereka berdua sedang… berciuman. Lebih tepatnya sih, Kakashi yg 'menyerang' Iruka. Nafsu makanku hilang seketika.
Bibi Yumiko, usianya sudah 57 tahun, tapi fisiknya masih sangat baik. Dia adalah pengasuhku. Sebelumnya, dia adalah pengasuh ayahku. Wanita yg sangat bijak. Sebenarnya Ayah sudah menyuruhnya untuk pensiun saja, tapi dia berkata bahwa dia tak akan melepas tanggung jawabnya hingga aku dewasa. Yah… bukan salahku kalau sikapku kekanak-kanakkan kan?
Dan terakhir, tentu saja aku dan Sasuke, penghuni rumah yg paling setia. Ayah jarang memperbolehkanku untuk pergi keluar selain untuk sekolah. Ayah menjadi begitu overprotektif padaku sejak kematian ibu yg bisa dibilang cukup… tragis. Dan tak pernah menyenangkan untuk mengungkit-ungkit hal itu lagi. Ah, dan itu merupakan salah satu penyebab aku sangat benci –lebih tepatnya takut– pd petir.
Karena dari itulah, dulu aku suka sekali kabur dari rumah dan pergi ke apartement Himawari, apartement bobrok yg sekarang sudah hampir 15 tahun tak digunakan. Tempat yg menenangkan dan menyimpan banyak kenangan. Tempat aku 'membawa lari' Sasuke di hari pertama kami bertemu. Tapi sejak ada Sasuke, kebiasaan itu hilang sama sekali.
Sekarang aku merasa lebih tenang dgn bersamanya. Jadi, tak ada alasan untuk mencari ketenangan di tempat lain. Sasuke yg tak pernah banyak bicara, tapi itulah yg aku suka darinya…
Seperti saat ini, kami duduk berhadap-hadapan di meja makan. Sedari tadi dia tak mengeluarkan sepatah katapun. Sepertinya, dia adalah penganut aliran dilarang-bicara-di-meja-makan.
"Terimakasih atas makanannya…" ujarnya sambil membereskan piringnya. Sasuke tak pernah menyisakan makanan, walaupun itu adalah masakan uji coba milik Kakashi.
"Cepat sekali makanmu…"
"Tidak ada alasan untuk makan berlama-lama kan? Cukup kunyah dan telan. Selesai…" katanya sambil membawa piringnya ke dapur. Ugh… dasar menyebalkan…
"Dan tak ada alasan untuk makan cepat-cepat! Makan itu harus sambil dinikmati tahu!" teriakku padanya. Aku cepat-cepat menyelesaikan makanku dan membereskan bekasnya. Beberapa butir nasi terjatuh di meja. Huh, aku memang tak pernah bisa rapi.
Sasuke sudah muncul lagi di ruang makan. "Saya akan mengerjakan tugas di kamar. Anda bisa ke sana jika membutuhkan saya," katanya sambil menaiki tangga ke lantai dua.
Aku membawa piringku ke dapur. Sebenarnya, dgn meninggalkannya di meja makan pun pasti akan ada pelayan yg membereskannya. Hanya saja, aku tak suka kalau Sasuke terus-terusan menganggapku sebagai Tuan Muda yg Manja.
Setelah menaruhnya di dapur, aku pun menyusul Sasuke ke lantai 2. Kamarku tepat ada di depan tangga. Kamar di sebelahku adalah milik Sasuke. Pintunya tertutup. Dasar anak rajin. Ini masih hari Minggu, dan aku tahu bahwa tugas yg dimaksudnya adalah tugas yg akan dikumpulkan hari Jumat yg akan datang.
Aku masuk ke kamarku sendiri yg bernuansa orange. Sebuah meja kayu persegi berdiri dgn kokoh di tengah ruangan dgn delapan buah bantal duduk – tentu saja berwarna orange - di sekelilingnya. Sebuah TV layar datar menempati lemari yg berisi pajangan rubah berekor sembilan / yg biasa disebut Kyuubi, tokoh utama dari serial kesukaanku, berada di seberang ruangan sehingga terlihat jelas jika duduk di tengah ruangan tersebut. Ranjang di sudut ruangan pun tak ketinggalan memamerkan wajah besar Kyuubi yg sedang beraksi. Lemari pakaian yg berada di sudut lainnya pun jika dibuka akan menampilkan sederet pakaian berwarna orange yg mendominasi lemari tersebut. Begitupun dgn meja belajar yg ada di sampingnya, tak kalah memperlihatkan sederet barang-barang berwarna orange. Cat yg menghiasi kamar ataupun karpet yg terhampar di sepanjang ruangan pun bekerja sama menambah nuansa orange di kamar ini. Aku benar-benar menyukai warna orange!
Aku berjalan menuju ranjangku kemudian membaringkan tubuhku dan menatap langit-langit. Haah… aku menarik napas panjang. Membosankan. Tidak ada yg menarik. Aku teringat akan pr fisika yg harus dikumpulkan besok dan bangkit menuju meja belajar kemudian mengambil pr yg di maksud. Aku duduk memandangi prku selama beberapa menit, sebelum akhirnya mendesah panjang. Aku tak mengerti sama sekali. Untuk apa susah-susah menghitung kecepatan rata-rata dari mobil yg sedang melaju? Kalau sedang macet bagaimana? Atau tiba-tiba mobilnya mogok? Aku mendengus. Kemudian berdiri sambil membawa prku ke kamar Sasuke.
"Tok… tok… tok…"
"Masuk," aku mendengarnya berkata.
Aku membuka pintu pelan-pelan dan melihat nuansa yg amat berbeda dari kamarku. Kamar Sasuke lebih sederhana dgn dominasi warna biru tua di seluruh ruangan. Sebenarnya Ayah menawarkan pd Sasuke agar kamarnya diisi barang-barang seperti milikku. Tapi Sasuke tak suka segala sesuatu yg berlebih-lebihan, dia lebih menyukai yg sederhana.
"Ada apa Tuan muda?" dia mengangkat wajahnya dari tugas yg sedang dikerjakannya. Bukunya penuh dgn gambar molekul-molekul yg membingungkan. Kimia, aku menyimpulkan.
Aku mengangkat buku tugasku dan menambahkan cengiran di sudut bibirku. "Fisika."
Sasuke hanya mengangguk. Dia tahu, aku paling benci pd pelajaran fisika.
Aku menarik sebuah bantal duduk dan mengambil tempat di sampingnya. Aku menyodorkan buku tugasku ke hadapannya segera setelah dia membereskan buku-bukunya.
Dia membacanya sebentar, kemudian mulai menjelaskannya padaku. Entah aku yg terlalu bodoh / memang dia yg terlalu jenius, tapi aku sama sekali tak mengerti apa yg diucapkannya.
"Er… Sasuke…" aku menginterupsinya.
"Ya?" dia menatapku.
"Bisa kau ulangi lagi yg tadi?" tanyaku. "Tapi kali ni gunakan bahasa manusia ya?"
Dia mengernyitkan dahinya. "Maksud anda?"
Aku menarik napas panjang. "Aku sama sekali tak mengerti apa yg kau katakan dari tadi. Kau menjelaskan padaku seolah-olah aku ni memiliki otak yg sama denganmu," aku menopang daguku dgn tangan kananku. "Aku bukan jenius sepertimu, Sasuke…"
"Tapi itu tadi hanya penjelasan dasar saja kok. Lagipula, yg tadi saya jelaskan itu sudah pernah ada di pelajaran kelas satu. Harusnya anda masih mengingatnya…" matanya masih menatapku. Pandangannya seperti menginterogasiku. "Anda tertidur lagi saat guru menjelaskan?"
Aku mengalihkan pandanganku. Aku tak suka ketika dia melihatku dgn tatapan seperti itu. Dia seperti bisa membaca apa yg kupikirkan.
"Aku memang bodoh kok…" tatapanku kini memandang ke luar jendela. "Bukan jenius yg selalu jadi juara umum tiap tahun…" Ya, Sasuke langganan juara umum sejak dia masih SMP. Sebetulnya, ada yg menawarinya beasiswa untuk melanjutkan sekolahnya di sekolah Suna High School yg terkenal dgn siswanya yg cerdas karena nilai-nilainya yg selalu sempurna. Sai-niisan pun sekolah di tempat itu. Tapi dia memutuskan untuk meneruskan sekolahnya di Konoha High School karena tuntutan pekerjaannya, menjagaku. Tiba-tiba, aku merasa bersalah padanya.
"Harusnya kau menerima tawaran beasiswa itu Sasuke… Kau pasti akan jadi orang hebat seperti Sai-niisan," aku mengalihkan pembicaraan.
"Beasiswa?" dia berpikir sebentar. "Oh… saya sudah melupakan hal itu. Lagipula, saya kan harus menjaga anda."
"Aku menghalangi masa depanmu ya?" aku masih tak menatap matanya, memainkan pensil yg ada di tanganku.
"Eh…? Ti… tak kok, Tuan Muda. Saya… saya hanya ingin melaksanakan tugas yg diberikan pd saya dgn sebaik-baiknya."
Betul kan? Aku hanya jadi beban untuknya.
"Sudahlah…" aku mengambil bukuku yg ada di tangannya. "Kau lanjutkan saja mengerjakan tugasmu. Aku tak mau mengganggumu. Lagipula nanti malam Sai-niisan akan pulang. Aku bisa bertanya padanya." Aku beranjak dari dudukku, namun Sasuke mencengkeram tangan kananku.
"Kenapa…?" ujarnya. Aku melihat ke dlm matanya. Ada kilatan terluka di sana.
"Apa maksudmu?" aku berusaha melepaskan cengkeraman tangannya yg mulai membuat pergelangan tanganku terasa sakit.
"Kenapa… selalu Sai…?"
Aku semakin bingung dibuatnya. "Aku tak mengerti apa yg kau katakan," tanganku mulai memerah akibat cengkeraman tangannya. "Sasuke… sakit…" tapi sepertinya dia tak mendengarkanku.
Lalu tiba-tiba, dia menarik tanganku dan mendorongku ke lantai hingga kepalaku sedikit terasa sakit karena membentur lantai. Kini kedua tangannya mencengkeram kedua tanganku. Dia berada di atasku. Matanya lurus menatapku. Aku tak bisa membaca matanya. Terlalu banyak ekspresi di sana. Marah, sedih, kecewa, dan berbagai macam ekspresi yg belum pernah diperlihatkannya selama ini.
"Tak bisakah sehari saja kau berhenti berpikir tentang Sai?"
Aku tak mengerti apa yg dibicarakannya dan jg tak berani menjawabnya. Tatapan matanya membuatku takut.
"Tak bisakah sehari saja kau berhenti membicarakan Sai?" napas Sasuke semakin memburu. Aku bisa merasakan napasnya yg panas di wajahku.
"Tak bisakah…" dia berhenti sebentar, "…aku menggantikan tempatnya?"
"Eh…?" hanya itu yg bisa kukatakan. Aku benar-benar bingung dibuatnya.
Lalu seperti kelakuannya yg tiba-tiba tadi, seperti itulah dia melepaskan pegangan tanganku dan bangkit berdiri kemudian membalikkan badannya sehingga aku hanya bisa melihat punggungnya. Aku duduk perlahan-lahan dan memandang punggung Sasuke yg sepertinya sedang berusaha mengatur nafasnya.
"Sa… Sasuke…?" aku memanggilnya takut-takut.
Sasuke tak mengindahkan panggilanku.
Aku berdiri dan menghampirinya. Aku berusaha memegang pundaknya. "Sasuke, apa yang…"
Dia menepiskan tanganku dan membuatku terkejut. "Aku…" dia berusaha mencari kata-kata yg tepat. "Ma… maaf…" hanya kata itu yg bisa ditemukannya dari sekian banyak perbendaharaan kata yg dimilikinya. Kemudian dia pergi begitu saja dan meninggalkanku sendirian.
Apa sih yg salahdengannya?
#
#
Sasuke berjalan tak tentu arah. Dia tak tahu ke mana tujuannya. Hanya mengikuti ke mana kakinya melangkah. Akhirnya dia sampai di halaman samping yg merupakan tempat favoritnya dan Naruto untuk membaca buku.
Naruto membaca buku? Ya, itu adalah fakta yg baru diketahui Sasuke setelah beberapa lama dia tinggal di rumah ini. Tadinya dia berpikir bahwa ruang perpustakaan yg ada di lantai satu rumah ni adalah milik Minato-sama. Tapi setelah beberapa kali dia menangkap basah Naruto yg sedang membaca buku, barulah dia tahu bahwa sebagian besar koleksi buku di perpustakaan itu adalah milik Naruto. Suatu kebiasaan yg tak sesuai dgn kepribadiannya.
Sasuke berjalan mendekati satu-satunya pohon yg ada di tempat itu. Kemudian dia duduk di ayunan kayu yg sudah terlihat usang namun masih kuat untuk menahan berat tubuhnya. Ayunan kayu ni sedikit kependekan untuknya yg jelas-jelas memiliki tinggi lebih dari 170 cm. Tentu saja, ayunan ni dibuat oleh Sai untuk Naruto yg waktu itu masih berumur 6 tahun.
Haah… Sasuke menarik napas panjang. Sai lagi…
Dada Sasuke terasa sakit kalau mendengar Naruto mengucapkan nama itu. Sai-niisan… bahkan ketika orangnya sedang tak ada, paling tak sehari sekali dia akan mendengar Naruto mengucapkannya. Apalagi kalau Sai ada di rumah. Sepertinya, tiap saat dia melihat Naruto, pasti ada Sai di sampingnya. Dan satu-satunya yg bisa memanggil Naruto dgn namanya saja, bukan Tuan Muda ataupun Naruto-sama, tanpa tatapan sinis dari pelayan yg lain hanyalah Sai. Bahkan Bibi Yumiko yg bekerja sebagai pengasuh Naruto sejak kecil pun tetap memanggilnya dgn Tuan Muda. Memang Sasuke memanggil nama Naruto dgn namanya sendiri di sekolah, tapi itu agar tak ada yg tahu tentang pekerjaan Sasuke sebagai bodyguard Naruto.
Wajar saja, Naruto sudah mengenal Sai sejak dia masih berusia 3 tahun. Sedangkan Sasuke, baru 6 tahun kemudian mengenal Naruto. Ketika pertama kali datang ke rumah ini, saat itu Sai sedang melanjutkan sekolahnya di Suna High School yg memiliki sistem asrama sehingga Sasuke baru bertemu dengannya empat tahun kemudian ketika Sai lulus dan kembali ke Uzumaki's mansion ini. Dan Sasuke merasa, ada sesuatu yg berubah pd Naruto sejak saat itu.
Setiap kali Sasuke bertanya, Naruto selalu bilang bahwa dia menganggap Sai seperti kakaknya sendiri. Sasuke berusaha mempercayainya, namun dia tahu ada sesuatu yg disembunyikan Naruto darinya.
Sikap Sai pd Naruto sangat baik. Dia lebih sering tertawa ketika bersama Sai. Sedangkan ketika bersama Sasuke? Sasuke mengggelengkan kepalanya mengingat apa yg baru saja terjadi. Apa yg dilakukannya? Dia sendiri tak sadar ketika tubuhnya melakukan tindakan lebih dulu daripada akal sehatnya. Ketika menyadari apa yg dilakukannya, dia melihat mata Naruto yg menatapnya dgn ketakutan. Dasar Sasuke bodoh. Ada apa denganmu?
"Ah… Sasuke-kun…" suara lembut seorang wanita yg usianya sudah lebih dari separuh abad menyadarkannya dari lamunannya. Rambut pirang panjangnya yg diikat di belakang tertiup angin. Mata hijaunya menatap Sasuke dgn lembut.
"Yumiko-san…" Sasuke menatapnya. Dia berjalan menuju ke arahnya.
Ketika sudah sampai di depan pemuda berambut hitam itu, dia tersenyum. "Sedang apa kau di sini?"
Sasuke hanya menggeleng lemah. "Tidak sedang apa-apa."
"Tadi Tuan Muda mencarimu. Kelihatannya dia sedikit khawatir."
"Aa…" hanya kalimat itu yg berhasil meluncur dari mulutnya. Dia mengalihkan pandangannya pd rumput di bawah kakinya.
Kemudian wanita itu meletakkan tangannya di pundak Sasuke. "Kau bertengkar dengannya?"
Sasuke tak menjawab.
"Yah… itu hakmu jika tak mau menceritakannya padaku," wanita tua itu mengelus kepala Sasuke. "Aku masuk dulu ya. Udaranya mulai dingin."
Ketika wanita itu berbalik, Sasuke menemukan suaranya. "Apa bibi pikir… Tuan Muda benci padaku?"
Yumiko sedikit terkejut dgn pertanyaan itu, tapi segera dia kembali tersenyum menenangkan pemuda di hadapannya.
"Kupikir tidak, Sasuke-kun. Tuan Muda tak akan begitu baiknya pd orang yg dibencinya," sekarang, bola mata hijau bertemu dgn bola mata hitam. "Malah kupikir, dia menyayangimu…"
Sasuke terlihat tak percaya. Dia menggeleng lagi. "Tuan Muda hanya menyayangi Sai…"
Wanita itu tertawa kecil. "Jadi itu masalahnya…" dia berhenti sebentar. "Tuan Muda menyayangi kalian berdua… Kau dan Sai… masing-masing dgn cara yg berbeda…"
Sasuke berusaha mencerna perkataan itu. "Tadi aku melakukan hal yg sangat bodoh. Dia pasti menganggapku aneh…"
Lagi-lagi, wanita itu mengelus kepala Sasuke. "Itu berarti kau masih harus mengenal Tuan Muda dgn lebih baik lagi. Dia tak akan marah hanya karena sebuah hal bodoh, apalagi pd orang yg disayanginya. Kalaupun iya, besok pagi pasti dia sudah lupa dan tak akan mengungkitnya lagi…"
Dalam hati, Sasuke tersenyum. Dia memang tak pernah melihat Naruto marah, apalagi sampai membenci orang lain. Dia merasa sedikit lega sekarang.
"Terimakasih, Yumiko-san…" dia tersenyum kecil.
Wanita itu tertawa lagi dan berkata, "Ternyata betul kata Tuan Muda. Kau terlihat lebih tampan ketika tersenyum, Sasuke-kun…"
Sasuke merasa wajahnya sedikit memanas. Ternyata Naruto menceritakan hal yg seperti itu pd orang lain.
Dan senyum itu lalu menghilang seketika saat sebuah sedan BMW silver memasuki gerbang depan.
Jumat pagi.
Hari itu kalender di meja belajarnya menunjukkan tanggal 10 Oktober. Dia tersenyum kecil. Akhirnya, hari ni tiba juga… pikirnya.
Sasuke bangkit dari ranjangnya, kemudian membenahinya. Setelahnya, dia menuju kamar mandi untuk membersihkan dirinya.
"Ohayou, Sasuke!" sebuah suara ceria yg khas menyapanya ketika dia berjalan menuruni tangga. Dilihatnya pemuda berambut pirang itu sedang merebahkan kepalanya di pangkuan Sai sambil mengelus-elus seekor kucing anggora berbulu putih di atas perutnya.
"Ohayou, Naruto-sama…" ujarnya tanpa mempedulikan Sai yg sedang tersenyum kepadanya sambil menggumamkan selamat pagi. "Selamat ulang tahun…" Dilihatnya tangan pemuda itu sedang bermain-main dgn rambut Naruto. Naruto hanya terkikik kecil merasakan sentuhan tangan Sai. Shit! Umpatnya dlm hati.
"Anda belum siap-siap untuk berangkat sekolah, Tuan Muda?" tanyanya ketika menyadari bahwa Naruto masih menenakan piyama orange yg bergambar Kyuubi di baggian dada.
"Um…" Naruto bangkit dari posisi tidurnya dan duduk sambil tetap mengelus-elus kucing kesayangannya. "Aku baru berpikir bahwa mungkin aku bisa mengambil libur sehari. Toh hari ulang tahunku ni cuma setahun sekali…"
Sasuke mengangkat alisnya. "Maksud anda… bolos?"
"Well…" Naruto terlihat salah tingkah, "… mungkin?"
Sasuke menggelengkan kepalanya. "Tidak ada alasan untuk tak masuk sekolah hanya karena…"
"Hanya hari ini, kurasa tak apa-apa, Sasuke-kun. Minato-sama pasti akan mengijinkannya…" potong Sai. Senyum khasnya masih tergantung di bibirnya.
"Anda terlalu memanjakannya, Sai-san…" ujar Sasuke sembari memberikan penekanan pd kata –san. Dia tak pernah suka jika harus berbicara dgn Mr. Smile itu.
"Yah… absen sehari tak akan membuatnya dikeluarkan dari sekolah, Sasuke-kun…" jawabnya masih dgn tersenyum, tapi Sasuke bisa mendengar bahwa pemuda di hadapannya itu memberikan penekanan pd kata –kun, membalasnya.
"Tapi jika dia terus menerus dibiarkan melakukan hal-hal yg ingin dilakukannya tanpa mendengarkan perkataan orang lain, itu hanya akan membuatnya semakin egois dan manja."
"Well, mengingat yg kita bicarakan ni adalah pewaris tunggal dari Uzumaki Corporation, sepertinya wajar saja."
"Kalau sifatnya yg seperti itu tak dihilangkan, nantinya dia sendiri yg akan sudah jika harus terjun dlm masyarakat."
"Kupikir tak perlu mengkhawatirkan hal yg seperti itu. Melihat statusnya, dia pasti akan dihormati."
"Tetap tak baik membiarkannya seperti itu…"
"Tapi tak ada alasan khusus bagimu untuk melarangnya…"
"Menurut saya…"
"Cukup!"
Kedua pemuda berambut hitam itu mengalihkan pandangannya pd pemilik mata biru yg kini sudah berdiri dgn kesal. Sampai-sampai kucing yg tadi di pangkuannya meloncat dgn kaget dan pergi entah ke mana.
"Ini masih pagi dan kalian berdua sudah membuatku sakit kepala," katanya sambil berjalan menuju ke tangga.
"Anda mau ke mana, Tuan Muda?" Sasuke yg pertama kali tersadar.
"Ke kamar. Kau menyuruhku untuk sekolah kan?" katanya sambil terus berjalan menaiki tangga. "Aku mau mandi…" dia berpikir sebentar kemudian melanjutkan, "… dan bilang pd Kakashi untuk menyiapkan ramen untuk mengembalikan mood-ku yg hilang gara-gara kalian." Akhirnya Naruto hilang dari pandangan mereka berdua.
Sasuke menyeringai senang sambil menatap pemilik bola mata hitam yg balik menatapnya, kali ni sudah kehilangan senyum kebanggannya itu. Aku menang! Teriaknya dlm hati.
#
#
NARUTO'S POV
"Anda masih marah pd saya karena memaksa anda untuk sekolah, Tuan Muda?" tanya Sasuke yg berjalan di sampingku. Akhirnya, aku mengikuti keinginannya agar tak 'meliburkan diri'.
"Menurutmu?" Aku tak mengalihkan pandanganku padanya. Mataku mencari-cari pemuda beralis tebal yg biasanya sudah duduk manis menungguku di tempat parkir. Tapi aku sama sekali tak bisa menemukannya. Baguslah. Mungkin dia sudah berhenti mengerecokiku dgn 'semangat muda'-nya.
"Ah…" Aku mencuri pandang ke arah Sasuke dari sudut mataku. Ekspresi bersalah terpancar dari wajahnya. Well, aku menikmatinya. Jarang-jarang bisa melihat seorang Uchiha seperti itu. Tentunya aku sudah melupakan masalah tadi pagi itu. Mungkin dia benar, hanya karena ni hari ulang tahunku, bukan berarti aku bisa melakukan apapun yg aku mau.
"Tapi kan saya sudah minta maaf…" katanya, alih-alih memandangku, dia malah mengalihkan pandangannya pd sepatunya. "Tuan Mu…"
"Naruto," ralatku cepat. "Ini sudah hampir sampai di kelasku, Sasuke. Aku tak mau kedapatan dipanggil seperti itu oleh seorang senpai, terlebih lagi seorang Uchiha-senpai."
"Maaf…" ucapnya dgn penuh penyesalan
Hmph… aku berusaha menahan tawaku sambil terus berjalan ke kelasku, kelas 2-3 yg ada di lantai 2. Aku berpapasan dgn beberapa siswa yg mengucapkan 'ohayou' padaku dan Sasuke kemudian membalas salam mereka –dalam kasus Sasuke, dia hanya mengangguk pd mereka-. Juga dgn beberapa gadis yg cekikikan sendiri ketika kami lewati. Telingaku sempat menangkap beberapa potong kata yg mereka ucapkan.
"Uchiha-senpai…"
"Keren…"
"Seperti biasanya…"
"Andaikan dia mau sekali saja pergi denganku…"
"Sepertinya, kau punya banyak fans ya, Sasuke?" kataku menggodanya. Tentu saja, Sasuke yg tampan dan pintar termasuk dlm daftar 10-cowok-penerima-cokelat-valentine-terbanyak tiap tahun. Mungkin, hanya sedikit –atau tak ada sama sekali- cewek-cewek yg tak melirikkan matanya pd Sasuke ketika berpapasan dengannya.
"Cewek-cewek bodoh…" gumam Sasuke, namun masih cukup keras untuk ditangkap oleh telingaku.
"Hahaha… kau benar-benar jahat Sasuke…" Kali ini, aku berhenti melangkah dan memandangnya. Kami sudah sampai di depan kelasku. Beberapa teman sekelasku mengucapkan salam / hanya sekedar menepuk pundakku. "Kalau mereka sampai dengar, aku tak ragu kalau mereka langsung bunuh diri…"
"Siapa peduli? Yang penting, kau akhirnya tertawa juga, Naruto. Itu artinya kau tak marah padaku kan?" katanya sambil tersenyum padaku.
Blush… Aku bisa merasakan wajahku memerah. Akhir-akhir ini, semenjak Sai-niisan di rumah terus, dia jarang sekali tersenyum. Yah, bukan berarti sebelumnya dia sering tersenyum. Hanya saja, dia jadi agak sedikit aneh.
"Terserah kaulah, teme…" Dan dgn itu, aku masuk ke dlm kelasku, sementara Sasuke melanjutkan berjalan menuju kelasnya sendiri yg ada di lantai 4.
"Naruto!"
Aku mengalihkan pandanganku pd suara yg sudah amat kukenal itu. Seorang pemuda beralis tebal berjalan mendekatiku yg sedang menaruh tas di meja.
"Selamat ulang tahun, Naruto!" ujar Lee sambil memasang pose nice guy-nya.
Aku memandangnya dgn tercengang. Aku sadar, Lee memang sedikit 'unik'. Tapi… sejak kapan ada orang yg memberi selamat dgn cara seperti itu?
"Eh… iya… Terimakasih, Lee…"
"Dan… aku jg punya kado untukmu…" Lee berjalan ke kursi di sebelahku –mengingat kami memang duduk sebangku- dan mengambil sesuatu dari bagian depan ransel hijaunya. Sebuah kotak persegi panjang dgn bungkus berwarna hijau dgn hiasan polkadot kuning kini ada di tangannya. Dia menyerahkannya padaku.
"Waw… Thanks Lee…" kataku sambil memeluk hadiah itu. "Kau benar-benar teman yg baik." Aku berusaha membuka hadiah itu, tapi tangan Lee menahanku.
"Jangan…" dia menggelengkan kepalanya. "Nanti saja dibukanya. Aku masih punya hadiah yg lainnya untukmu."
"Eh…?" Aku menatapnya dgn bingung. Hadiah lainnya?
"Harusnya mereka datang sebentar la… Ah, itu mereka!"
Dengan masih penuh keheranan, aku memperhatikan ke mana jari Lee menunjuk.
Di depan pintu, terlihat beberapa orang anak yg amat familiar di mataku. Satu persatu mereka memasuki kelas dan menuju ke arahku.
"Yo, Naruto!" seorang pemuda yg berada di barisan paling depan menyapaku.
"Kiba!" Dia menghampiriku dan kami ber-highfive. Hal yg sudah lama tak kami lakukan karena berbeda kelas –ketika kelas 1, aku dan Kiba ada di kelas yg sama-.
"Hei… kau tak tambah tinggi jg ya?" katanya sambil menepuk-nepuk kepalaku. Tinggiku memang tak lebih dari hidungnya. Padahal, ketika kelas 1 kami hanya berbeda beberapa senti.
"Brengsek…" aku menyingkirkan tangannya dari kepalaku. "Kau saja yg pertumbuhannya terlalu cepat, tahu!"
"Na… Naruto-kun…" suara seorang gadis yg terbata-bata membuatku melihat ke belakang Kiba. Dia terlihat kecil jika ada di dekat Kiba karena tingginya yg tak lebih dari bahu Kiba.
"Hinata-chan!"
Gadis berambut biru itu tersenyum. "Se… Selamat ulang tahun…"
Sebelum aku sempat berkata apa-apa, seorang gadis bermata hijau memandangku dan tersenyum. "Selamat ulang tahun, Naruto-kun…"
"Sakura-chan!" aku tersenyum lebar dan menghampiri gadis berambut merah muda itu yg masih berdiri di dekat pintu, karena sudah tak ada lagi ruang di sekitar mejaku –disebabkan oleh Chouji yg tiba-tiba muncul dan segera memenuhi semua tempat-.
"Kau sombong sekali Naruto-kun, tak pernah main ke kelasku lagi…" ujarnya dgn nada bercanda.
"Haha… Habisnya, kelasmu kan ada di lantai 4. Dan lagi, kau kan sudah jadi kakak kelasku sekarang…" kataku. Yah, gadis di hadapanku ni memang tak kalah jeniusnya dari Sasuke. Ketika SMP, dia mengambil kelas aksel sehingga sekarang dia sudah duduk di kelas 3. Ngomong-ngomong soal kelas 3… "Mana Sasuke?"
"Hm…" dia memandang sebentar ke luar pintu. "Tadi aku sudah bilang padanya kalau aku akan ke kelasmu. Tapi tadi sepertinya ada beberapa anak cewek yg mengerubunginya tadi…"
"Oh… yeah… dasar orang terkenal…"
"Oh ayolah Naruto-kun… kau baru saja bertemu dengannya. Masa sudah kangen lagi sih?" katanya dgn nada menggodaku.
Aku merasakan pipiku menghangat mendengarnya. Sakura adalah satu dari sedikit orang yg tahu bahwa Sasuke adalah bodyguardku. Tentu saja. Kami berteman sejak kecil. Ayahnya adalah pegawai di kantor ayahku. Dan ak
Sang kakak menggenggam tangan adiknya erat –walaupun sangat kentara si adik berusaha melepaskan pegangan tangannya– sambil terus memberikan petuah yg sejak berangkat tadi selalu diulangnya berkali-kali, hingga membuat si adik bosan mendengarnya.
"Dengar Sasuke, aku tak mau kau membuat masalah kali ini. Jadilah anak baik untuk hari ni dan seterusnya karena kau sudah kuanggap cukup dewasa untuk mengambil pekerjaan ini," ujar pria yg lebih tinggi.
Sang adik hanya menjawab dgn malas, "Hn."
"Dan ingat, jika kau sampai mengacaukan pekerjaanmu, maka aku yg akan kena imbasnya. Juga nama besar Uchiha yg kita sandang selama ni akan kehilangan wibawanya. Kau jangan pernah sampai melalaikan tugas apapun yg diberikan padamu.."
Aniki suka sekali bicara sih? Aku yg mendengarnya dari tadi saja sampai bosan.. Sasuke sudah tak lagi memberi perhatian pd apa yg diutarakan oleh kakaknya. Dia sudah hafal dgn wejangan yg selalu diberikan sejak dia masih berumur 5 tahun. Lebih tepatnya setelah orang tua mereka meninggal dunia.
Uchiha Sasuke. Usianya baru saja memasuki hitungan 10 tahun. Walaupun begitu, mulai hari ni dia akan menjalani pekerjaan barunya. Bodyguard.
Yap. Keluarga Uchiha adalah penghasil bodyguard-bodyguard terbaik yg dimiliki oleh Konoha. Mereka sudah dididik sejak usia belia untuk menjadi bodyguard yg handal kemudian menjalani pekerjaanya ketika sudah dianggap memiliki kemampuan yg cukup. Dan Sasuke adalah satu diantaranya. Walaupun masih 10 tahun, dia adalah salah satu yg terbaik.
Dan mulai hari ini, hidupnya akan sama sekali berbeda..
XxXxX
"Kita sampai.." Itachi menghentikan langkahnya kemudian mengalihkan pandangan pd adiknya. "Mulai hari ini, inilah rumah barumu.."
Sasuke melepaskan pegangan tangannya dan memandangi bangunan di depannya. Walaupun masih berada di luar gerbang, dia bisa mengetahui seberapa kaya orang yg tinggal di rumah itu.
Gerbang yg tinggi menjulang dgn ukiran-ukiran yg belum pernah dilihatnya sama sekali. Kemudian tembok pagar yg membatasi rumah, hampir setinggi 3 meter, seakan tak mengijinkan orang-orang yg tak berkepentingan untuk sekedar memandangi rumah mewah yg berada di balik tembok itu. Belum lagi ditambah 2 orang penjaga –yang seperti ingin menelan hidup-hidup siapa pun yg berani mendekati daerah penjagaannya– yg mondar mandir di depan gerbang dgn pakaian hitam-hitam.
"Kau terkejut, Sasuke?" tanya Itachi dgn seringaian khasnya.
Sasuke tersadar dari lamunannya kemudian menggeleng kuat-kuat. "Enak saja! Rumah seperti ni sih, aku jg sering melihatnya," bantahnya. Itachi hanya mengangkat bahu melihat kelakuan adik semata wayangnya.
"Baiklah.. kau tunggu dulu sebentar di sini. Aku harus melapor lebih dulu ke bagian keamanan." Itachi berjalan menuju dua orang penjaga-berpakaian-mafia itu. "Dan jangan buat masalah!" tambahnya tanpa membalikkan badan.
SASUKE'S POV
Ya ya ya. Jangan buat masalah.
Haaah.. Aku menarik napas panjang dan mendengus. Kenapa hari ni aku dianggap seperti pembuat onar, sih? Tentu saja aku tak akan dgn bodohnya melempari barang-barang yg bisa kujangkau / pun tanpa peringatan langsung menendang majikan baruku, kan? Tanpa diperingatkan pun, aku sudah tahu bahwa aku harus menimbulkan kesan yg baik di hari pertamaku ini.
Kemudian aku mulai berjalan menelusuri pagar tembok yg membentang itu. Benar-benar rumah yg besar! Aku bahkan hampir tak bisa melihat ujung dari tembok ini. Ketika akhirnya mendapatkan ujung dari tembok itu, aku berbelok. Ternyata di akhir tembok ni ada sebuah gang kecil yg hampir tak terlihat. Kemudian aku melanjutkan menelusuri gang itu, melupakan perintah Itachi untuk menunggunya di tempat tadi.
'Srek.. srek..'
Eh? Suara apa itu? Aku melihat ke sekelilingku, meyakinkan diri sendiri bahwa aku hanya tertipu oleh telingaku.
'Srek.. srek..'
Tuh kan! Bukan aku yg salah dengar! Memang ada suara kok! Aku kembali memandang sekelilingku, kali ni dgn lebih seksama. Gang yg sepi, tak ada orang lain yg melintas. Bahkan kucing-kucing liar yg akhir-akhir ni jumlahnya meledak pun tak kelihatan satu pun.
Lalu.. tadi suara apa dong?
'Srek.. srek..'
Untuk yg ketiga kalinya suara itu terdengar. Aku mulai barpikir yg macam-macam. Jangan-jangan.. nggak, nggak mungkin! pikirku sambil menggelengkan kepala kuat-kuat. Yang namanya hantu itu hanya dongeng untuk menghukum anak-anak nakal saja, kan?
'Srek.. srek..'
Kali ni aku sungguh ketakutan.
"Woy!"
Tuan hantu, maafkan aku jika mengganggumu!
"Woy! Minggir!"
Aku akan pergi jika itu yg Anda mau! Aku menutup wajahku dgn tanganku. Lututku mulai gemetaran.
"Woy! Pantat Ayam, minggir!"
Twitch. Aku menaikkan alisku. Sialan benar ada hantu yg memanggilku seperti itu.
Bluk
Kali ni sepasang sepatu jatuh tepat di depanku. Kemudian aku menyadari kebodohanku dan melihat ke atas. Seorang anak laki-laki sedang bergelantungan di atas tembok pembatas.
"Minggir kau, Teme!"
Kemudian, dlm sepersekian detik, anak laki-laki itu melepaskan pegangannya. Dan tanpa sempat menghindar, dgn sukses dia membuatku terjungkal dan jatuh terduduk di atasku.
BRRUKK
"Argh! Turun dariku, Dobe!" teriakku padanya sambil mendorong tubuhnya dari badanku. Dia segera bangkit dan berjalan menghampiri sepatu yg tadi dijatuhkannya. Aku pun segera berdiri dan menepuk-nepuk pantatku untuk menghilangkan kotoran yg menempel akibat terjatuh tadi –sekaligus merasakan pantatku yg sedikit nyeri karena menahan berat tubuhnya barusan-.
Ketika memandang ke depan lagi, kulihat anak itu sedang memandangku.
"Kamu nggak papa?" tanyanya dgn pandangan yg terlihat menyesal.
Aku hanya memandangnya balik dan menjawab singkat, "Hn."
Pandangannya sedikit berubah menjadi lebih lega. "Baguslah kalau begitu.." Lalu dia berbalik dan mulai berjalan menjauhiku.
Aku sedikit kesal dibuatnya.
"Hei! Tunggu dulu!" Anak itu berbalik lagi dan memandangku dgn heran.
"Kenapa sih? Tadi kamu bilang nggak papa." Dia berjalan ke arahku. "Aku lagi buru-buru nih.. kalau nggak penting, aku pergi aja.." Dia berbalik lagi, tapi aku menangkap tangannya. Sekarang aku benar-benar kesal!
"Pergi tanpa minta maaf setelah membuat kesalahan itu pengecut tahu! Terus, kau panggil apa tadi? Pantat ayam? Kau tak pernah diajari tatakrama apa?" teriakku di depan wajahnya. Dia mundur selangkah. Matanya lurus menatapku. Ada sedikit kilatan terluka di sana.
"Bukan salahku! Tadi aku sudah memperingatkan kamu untuk minggir, tapi kamu malah berdiri di sana seperti orang bodoh! Jangan-jangan kau kira aku hantu lagi? Benar kan?" katanya sambil tertawa mengejek. "Baka.."
Uh.. anak ini.. "Enak saja! Lagipula, hanya orang bodoh yg naik-naik pagar setinggi itu," kataku sambil menunjuk ke tempat dia bergelantungan tadi. "Sedang apa kau di atas tadi?"
Dia mendengus. "Bukan urusanmu, Teme!"
"Kau bilang apa, Dobe?"
"Teme!"
"Dobe!"
"Teme!"
"Dobe!"
"Tuan muda Naruto!" Terdengar suara dari balik tembok.
"…"
"Huwa! Iruka pasti sudah sadar aku kabur!" Anak laki-laki itu kelihatan panik.
"Ayo cepat! Harus pergi dari sini sebelum mereka menemukan aku." Dia berbalik dan mulai berlari. Dan tanpa sadar, aku yg masih memegang tangannya berlari mengikutinya.
"Eh..?"
END SASUKE'S POV
XxXxX
"Terus.. kenapa kau ada di sini?" tanya anak laki-laki berambut pirang kepada anak laki-laki di hadapannya. Tangannya disilangkan di depan dada. Kaki kanannya menghentak-hentak di lantai sedangkan kaki kirinya menahan berat tubuhnya.
"Eh..?"
"Aku tanya, kenapa kau ada di sini? Membuntuti aku?" Si rambut pirang menunggu jawaban dgn tak sabar.
"Yah.. aku jg nggak tahu kenapa.. habisnya, tadi kamu narik tanganku sih.." jawab si rambut hitam asal.
"Hhuff.. alasan konyol.." Si pirang membalikkan badannya kemudian duduk di atas sebuah sofa tua yg ada di samping jendela.
Kemudian selama beberapa saat, keheningan menguasai angkasa. Hanya terdengar suara hujan yg mulai jatuh sebutir demi sebutir.
Akhirnya si pirang kembali buka suara. "Kau mau terus berdiri di situ sampai kapan?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangannya dari jendela. "Duduklah.. kelihatannya hujannya tak akan cepat berhenti.."
Si rambut hitam mengeluarkan seringaian khasnya kemudian berjalan mendekati si rambut pirang. "Ternyata mulutmu itu bisa jg mengatakan hal-hal yg enak didengar," ujarnya sambil duduk di samping anak laki-laki yg lebih pendek darinya itu.
Lagi-lagi, dia mendengus. "Terserah kau sajalah, Teme. Aku sedang tak ada minat untuk bertengkar denganmu."
Hening lagi. Hujan di luar jendela sudah semakin deras.
"Namikaze Uzumaki Naruto." Si rambut pirang menjulurkan tangannya kepada si rambut hitam dgn pandangan yg masih tertuju ke jendela.
"Eh…?" Si rambut hitam menatapnya dgn bingung.
"Namaku, Teme," Naruto akhirnya mengalihkan pandangan pd anak laki-laki di sampingnya.
"Oh.."
"Lalu.."
"Lalu apa?"
"Namamu, Te.. ah, sudahlah.. lupakan saja.."
"Uchiha Sasuke." Sasuke tersenyum kecil –kecil, tapi senyuman, bukan seringaian / senyuman dibuat-buat yg biasa ditunjukkannya-.
Naruto tersenyum melihatnya. "Ternyata kau tahu caranya tersenyum ya? Kukira semua Uchiha tak punya ekspresi.."
"Hn.."
"Kau tahu? Kau lebih tampan ketika tersenyum tahu.."
Seketika itu juga, wajah Sasuke memanas. Dia berusaha mengalihkan pandangan pd apa pun selain mata biru Naruto yg terus menatapnya.
"Hmph.." Naruto berusaha menahan tawa, tapi rupanya tak berhasil. "Hahaha.. kau lucu, Sasuke. Wajahmu merah!"
"Berhenti mengerjaiku, Dobe!"
SASUKE'S POV
"Berhenti mengerjaiku, Dobe!"
Aku kembali mengalihkan pandanganku. Sial! Seorang Uchiha seharusnya tak boleh memerah seperti ini!
"Kau tahu ni tempat apa?" Aku berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Oh.. yah.. tentu saja.." Dia kelihatan tak suka dgn pertanyaan ini. "Gedung ni adalah gedung bekas apartemen. Sudah hampir 5 tahun tak digunakan. Aku.. suka bermain di sini. Tenang. Dan jika aku di sini, tak akan ada yg bisa menemukanku.."
Hei, ni hanya penglihatanku yg salah / memang anak superhiperaktif ni sedang berusahah menahan tangis.
"Ah.. anggap saja aku tak pernah bertanya.."
Hanya dlm sedetik, dia kembali ke 'asalnya'.
"Oh ya, Teme.."
"Hentikan memanggilku teme, Dobe!"
"Sasuke.." ralatnya. ".. kau tahu, tempat ni adalah tempat yg paling tepat untuk melihat pemandangan Konoha pd malam hari.. sayangnya, sekarang sedang hujan.. dan lagi.."
CTAARR
Suara petir di luar sungguh memekakkan telinga. Dari jendela, terlihat berkas cahaya kekuningan di langit. Aku mengalihkan pandangan pd Naruto.
"Tadi kau mau bilang apa, Naru.." Aku terkejut ketika melihatnya. Naruto menutup matanya, menutup telinga dgn tangannya, dan menekukkan kaki ke dadanya.
"Kamu nggak apa-apa?" Oh, pintar Sasuke. Hanya dgn melihatnya, kau jelas tahu kan kalau ada apa-apa dengannya.
".. petir.. tadi.. petir…" Hanya itu yg bisa ditangkap oleh telingaku.
CTAARR
"Hiks.. hiks.." Kali ini, Naruto mulai menangis.
Berpikir, Sasuke.. otak jeniusmu harusnya bisa digunakan untuk saat-saat seperti ini. Hanya menenangkan anak kecil yg sedang menangis, apa susahnya sih?
Oke, hanya satu cara ni yg bisa kupikirkan.
Aku mengangkat tanganku kemudian melingkarkannya di sekeliling tubuh Naruto. Aku merasa tubuh Naruto sedikit berjengit dgn kelakuanku, namun kemudian dia menjadi lebih tenang. Setelah itu, aku mulai mengusap kepalanya.
"Ssstt.. tenanglah Naruto.."
".. petir.. benci.."
"Ya.. aku tahu.." Aku melihat ke arahnya. Tangisnya sudah mulai mereda. "Aku akan terus menemanimu sampai petirnya pergi.. jadi jangan menangis lagi.."
Aku merasakan anggukan kecil dari kepalanya. "Janji, kan?"
"Tentu saja! Seorang Uchiha tak akan pernah melangar janji." Aku menepuk kepalanya pelan.
Setelah beberapa menit, tangisnya berhenti, aku merasakan tarikan nafas yg teratur darinya. Ternyata dia tertidur.
Kemudian aku membetulkan posisi tidurnya. Meluruskan badannya di atas sofa dan meletakkan kepalanya di atas pangktanku.
Aku memandangi wajahnya yg sedang tertidur..
.. manis..
Kau bilang apa barusan Sasuke? Manis? Nggak.. nggak.. seorang Uchiha tak boleh mengatakan kata-kata gombal seperti itu, apalagi pd orang yg baru sehari dikenalnya.
Tapi, kata hati tak pernah bisa berbohong kan?
END OF SASUKE'S POV
XxXxX
Hmph..
Sasuke membuka matanya perlahan-lahan. Setelah Naruto tertidur, ternyata Sasuke pun tak bisa menahan kantuknya.
Sasuke memandangi pemilik mata biru yg masih tertidur di pangkuannya. Dalam hati, ia tersenyum. Naruto.. entah kenapa, anak itu menarik perhatiannya. Dalam satu waktu, dia bisa begitu kuat, mandiri, tak tersentuh, dan angkuh. Tapi ternyata orang seperti itupun masih mempunyai sisi lemah yg disimpannya rapat-rapat.
Setelah puas memandangi Naruto yg tertidur, Sasuke melirik jam tangannya. Pukul 7! Bagus! Jadi sudah hampir 5 jam dia menghilang bersama Naruto. Itachi pasti akan memarahinya habis-habisan.
Tak tega membangunkan Naruto yg masih tertidur pulas, Sasuke menggendongnya di punggungnya. Karena Sasuke tak tahu Naruto tinggal di mana, maka dia memutuskan untuk membawanya menemui Itachi. Lagipula, tadi dia tiba-tiba muncul dari pagar tembok rumah majikan barunya, mungkin mereka tahu tentang anak ini.
Dengan hati-hati, Sasuke berjalan melewati jalan yg tadi siang dilewatinya bersama Naruto. Beruntung hujan sudah berhenti satu jam yg lalu, sehingga jalanan pun sudah tak terlalu licin.
Sekitar 30 menit kemudian –dengan sedikit nyasar karena ternyata dia salah jalan- akhirnya Sasuke bisa melihat tembok tinggi yg sempat membuatnya terkagum-kagum.
Semakin dekat, dia bisa mendengar keributan yg sedang terjadi di sekitar rumah itu. Beberapa orang membawa walkie talkie sibuk berjalan ke sana ke mari. Ada yg membawa senter, beberapa lagi membawa obor. Dan dia bisa mendengar potongan-potongan pembicaraan dari beberapa orang yg sibuk lalu lalang itu.
"Sudah di cari di semua tempat?"
"Tentu saja sudah! Di kolong meja, kolong tempat tidur, lemari, dapur, selokan, sumur, bahkan kuburan Cina yg ada di ujung jalan jg sudah!"
"Bodoh! Tempat-tempat yg seperti itu tak mungkin ada!"
"Cari lagi semuanya!"
"Sebelum ketemu, tak ada yg boleh istirahat!"
Sasuke benar-benar bingung dgn keadaan yg seperti ini. Mereka semua sedang mencari apa sih? Sudahlah, yg penting aku harus cepat mencari aniki.
Sasuke mulai mendekati kerumunan itu. Belum sempat sampai di sana, dia mendengar namanya di panggil.
"UCHIHA SASUKE!"
Sasuke mengenali suara itu. Orang yg dicarinya saat ini, tapi jg orang yg akan membuat hidupnya berakhir saat ni juga. Dia berbalik, melihat siluet yg amat dikenalnya. Itachi.
"Jelaskan!" Hanya satu kata itu yg terucap dari bibir kakaknya. Tapi dia tahu, jawaban yg diberikannya harus bisa memuaskan hati kakaknya itu. "Eh.. itu.. ano.. aku.. duh.. tadi.." Sejujurnya, Sasuke sama sekali tak tahu apa yg akan dikatakannya.
"Gunakan perbendaharaan katamu, Uchiha Sasuke!" perintah kakaknya lagi. Kemudian, dia sepertinya beru tersadar akan sosok yg ada di punggung Sasuke. "Dan siapa yg kamu bawa itu?"
"I.. ini.." Sasuke berpikir sebentar "Ini.. Naruto.. anak yg kutemui tadi siang.. dan.."
"Jangan beralasan terus, Sasuke. Dan siapa itu Naru.." Dia sepertinya sadar akan sesuatu. "Kau bilang Naruto?" Sasuke mengangguk. "Maksudmu, Tuan Muda Naruto?"
Kali ini, Sasuke yg dibuat bingung. Tuan Muda katanya?
"Ada apa Itachi-san?" tiba-tiba seorang lelaki berkuncir dgn bekas luka yg memanjang di hidungnya, datang menghampiri mereka. "Apa Anda sudah menemukan Tuan Muda?"
Itachi tak mengatakan apa-apa. Dia hanya menunjuk ke arah Sasuke.
"Oh, ni adikmu ya? Salam ke.." Pria itu menghentikan kalimatnya ketika melihat sosok yg digendong Sasuke membuka matanya dan memandangnya.
"Aku pulang, Iruka.. hehehe.." ujarnya dgn menambahkan cengiran di sudut bibirnya.
Lelaki yg dipanggil Iruka itu terdiam sejenak, sebelum akhirnya berteriak sekuat tenaga, " UZUMAKI NARUTO! TIDAK ADA RAMEN SELAMA SEMINGGU!"
Dan Sasuke menarik tangannya saat itu jg untuk menutup telinganya yg menyebabkan Naruto dgn sukses meluncur ke tanah.
Ruang kerja Namikaze Minato.
"Jadi.. dia bodyguardku yg baru?" tanya Naruto pd orang-orang dewasa yg mengelilinginya. Di ruangan kerja yg lumayan besar itu saat ni berisikan Naruto, Sasuke dan kakaknya, Itachi, Iruka, dan –tentu saja sang pemilik ruangan kerja itu sendiri- Namikaze Minato. Mereka semua –kecuali Iruka yg dgn setia berdiri di samping majikannya- duduk mengelilingi sebuah meja kayu berornamen di ruangan itu.
Itachilah yg pertama kali angkat bicara. "Betul sekali, Tuan Muda.. Dia adalah adik saya satu-satunya," ujarnya sambil menatap adiknya yg sedari tadi masih salah tingkah. "Sepertinya Anda sudah bertemu dengannya tanpa sengaja tadi siang. Saya harap Anda bisa menerimanya dgn baik."
"Ya ya ya.. Menerimanya dgn baik setelah setelah dia mengata-ngataiku tadi siang?" tanya Naruto dgn suara yg terkesan bosan.
Mereka semua –minus Sasuke- memandang Sasuke dgn pandangan bertanya. Itachi malah menatap adiknya dgn pandangan yg seolah-olah mengatakan apa-kubilang-tadi-jangan-buat-masalah. Yang ditatap semakin salah tingkah.
"Ma.. maafkan saya, Tuan Muda.. Saya.. Saya tak tahu kalau Anda adalah majikan saya yg baru.." ujarnya terbata-bata, tanpa mengalihkan pandangannya dari lantai.
"Pandang lawan bicaramu, Uchiha.." desis Naruto.
Sasuke tersentak mendengarnya. Dia merasa sangat heran, anak laki-laki periang yg tadi siang dikenalnya sekarang sudah tergantikan dgn seseorang yg –menurutnya- berbeda.
Perlahan-lahan, Sasuke mengangkat kepalanya hanya untuk mendapati bahwa Naruto tengah memandangi dirinya dgn tatapan jahil dan cengiran di sudut bibirnya, yg segera berubah menjadi tawa .
"Hahaha!" Kembali, orang-orang di ruangan itu mengalihkan pandangannya, tapi kali ni kepada Naruto.
"Hmph.." Naruto berusaha menghentikan tawanya dgn sekuat tenaga. "Mukamu yg ketakutan seperti itu sungguh lucu sekali!"
Sasuke, yg sepertinya lupa dgn siapa dia sedang berbicara, merasa kesal dibodohi seperti itu. "Jangan main-main denganku, Dobe!" ujarnya sambil berdiri dan dan menggebrak meja yg ada di hadapannya.
Seketika itu juga, keheningan tiba-tiba datang menjelma. Sasuke yg sadar akan kesalahannya, kembali duduk dgn kepala yg menunduk dalam-dalam. "Go.. gomen.."
Kemudian, Naruto berdiri dgn tiba-tiba dan berjalan menuju ke arah pintu keluar. Iruka yg pertama-tama mengambil tindakan.
"Tu.. Tuan Muda mau ke mana?" tanyanya sambil menghampiri Naruto yg sudah mencapai ambang pintu.
Naruto berbalik dan berkata, "Mau ke kamar. Pembicaraan ni sudah selesai, kan?"
Sasuke merasa kedudukannya terancam, ditambah lagi pandangan kakaknya yg serasa menusuk tulang dan terus menyalahkannya, segera berdiri dan berjalan ke arah Naruto.
"Ma.. maafkan saya, Tuan Muda! Saya tadi.. kehilangan kendali.." Dibungkukkannya badannya dalam-dalam. "Saya.. saya janji, hal seperti itu tak akan terulang lagi.. Tolong beri saya kesempatan lagi.."
"Iruka.. bawa dia pergi.."
"Eh? Ta.. tapi Tuan Muda.." Iruka berusaha membela Sasuke yg masih membungkukkan badannya.
Itachi yg merasa kasihan pd adiknya turut berdiri dan menghampiri Naruto kemudian ikut membungkukkan badannya. "Maafkan adik saya yg bodoh ini, Tuan Muda.. Sepertinya saya kurang keras dlm mendidiknya.."
"Kubilang bawa dia pergi Iruka.. Ini perintah.."
"Tuan.."
"Sudahlah Iruka.. kalau itu memang kemauan Naruto, turuti saja.." Akhirnya Minato pun buka suara, masih duduk di tempatnya. "Kita bisa mencari bodyguard lain lagi besok.."
Naruto mendengus mendengarnya. "Siapa yg bilang harus cari bodyguard lain? Aku hanya bilang untuk membawanya pergi.. bukan minta dicarikan bodyguard baru. Untuk apa?"
"Tapi tadi.." Iruka berusaha mencerna perkataan majikannya itu.
"Aku menyuruhmu untuk membawanya pergi.. ke kamarnya.."
Sasuke tersentak mendengarnya. Diangkatnya kepalanya untuk memandang Naruto. "Jadi.. saya tak dipecat?"
"Aku tak ingat pernah bilang begitu.. Hitung-hitung balas budi karena melibatkanmu dlm masalah seperti ini.."
Sasuke sungguh tak percaya akan apa yg didengarnya. Anak laki-laki di hadapannya ni sungguh tak bisa ditebak.
"Te.. terima kasih Tuan Muda.. Terima kasih banyak.." ujar Sasuke yg diikuti oleh kakaknya.
"Ya ya ya.. terserah.." kata Naruto sambil melangkah ke luar ruangan. Kemudian, dia berbalik lagi. "Dan aku mau ramen untuk makan malamku, Iruka.. Tolong bawakan ke kamarku.."
Tanpa disangka, Iruka tersenyum jahil. "Wah, maafkan saya Tuan Muda.. tapi tak ada ramen selama seminggu sebagai hukuman karena Tuan Muda kabur dari rumah dan membuat semua orang khawatir.. Sepertinya saya sudah mengatakan hal itu pd Tuan Muda.."
Naruto terkejut mendengarnya. Mulutnya sedikit terbuka.
"Mari Sasuke-kun, akan saya tunjukkan kamar anda.." kata Iruka tanpa mempedulikan Naruto yg membatu di depan pintu. Sasuke mengikutinya tanpa banyak bicara. Terlalu takut untuk mengeluarkan suara melihat Naruto yg sepertinya sudah siap untuk meledak.
Setelah beberapa langkah, mereka bisa mendengar suara menggelegar yg untuk kedua kalinya mengagetkan seisi rumah itu.
"UMINO IRUKA! DILARANG PACARAN DENGAN KAKASHI SELAMA SEMINGGU!"
Dan dgn teriakan itu, wajah Iruka berubah menjadi merah padam, Sasuke dan Itachi terbatuk-batuk, dan Minato terjungkal dari kursinya.
XxXxX
NARUTO'S POV
Aku memandang anak laki-laki di sebelahku. Tatapannya lurus menatap jalan di depannya. Langkahnya tegap, berjalan tanpa ragu. Kemudian, sepertinya dia merasa aku memperhatikannya karena dia mengalihkan pandangannya padaku.
"Ada apa, Tuan Muda?" tanyanya.
Ugh.. aku tak suka panggilannya padaku itu. Seakan membuat perbedaan status antara aku dan dia semakin jelas.
"Tidak ada apa-apa kok.." jawabku sambil mengalihkan pandanganku.
Kami kembali melanjutkan perjalanan dlm diam. Jam pelajaran pertama akan dimulai 30 menit lagi, dan kami akan sampai di sekolah dlm waktu 10 menit. Masih banyak waktu..
Hei, kalian mungkin berpikir, kenapa aku, sang pewaris tunggal Namikaze Corporation yg sangat sukses itu pergi sekolah dgn jalan kaki? Ya, jawabannya mudah. Aku hanya ingin menjadi anak biasa seperti yg lainnya. Aneh kan?
Mungkin untuk kalian, pergi ke sekolah dgn berjalan kaki, tertawa bersama teman-teman adalah hal yg sangat biasa, bahkan terkadang membosankan. Tapi untukku, itu adalah hal yg amat kuimpikan.
Biasanya, aku melihat anak-anak seumuranku bergembira hanya dari kaca mobil yg kutumpangi. Pulang sekolah pun aku tak bisa bermain bersama dgn yg lainnya. Ayah mengharuskanku untuk langsung pulang begitu bel sekolah berbunyi. Ini menyebabkanku tak punya banyak teman. Begitu pula dgn bodyguard-bodyguard yg ayah sewa. Selama ini, tak ada yg betah dgn kelakuanku. Aku sering kabur begitu mereka lengah. Dan seringkali aku sengaja membuat masalah agar mereka cepat-cepat mengundurkan diri / malah dipecat. Bukannya aku punya dendam pribadi dgn mereka. Hanya saja, coba kau rasakan bagaimana diawasi selama 24 jam oleh seseorang. Jujur saja, tak enak!
Tapi sekarang, ayah mengijinkanku untuk pergi dgn berjalan kaki. Yippi! Senang sekali aku rasanya. Terima kasih kepada Sasuke yg sudah berhasil membantuku untuk membujuk ayah.
Ah.. Sasuke.. Aku kembali menatap anak laki-laki berambut hitam itu. Wajahnya tanpa ekspresi, seperti biasa. Walaupun aku tahu, dia jg memiliki berbagai macam akspresi yg tak pernah diperlihatkannya pd siapa pun. Apalagi senyumnya. Meski aku baru sekali melihatnya, tapi itu cukup untuk membuatku tetap mengingatnya.
Dan baru sekali ni aku merasa nyaman berada di dekat bodyguardku. Selama ni aku selalu berusaha untuk sejauh mungkin dari mereka. Tapi di dekat Sasuke terasa sangat.. berbeda. Hangat. Nyaman. Seperti waktu dia memelukku di hari pertama kami bertemu. Aku masih bisa samar-samar merasakan kehangatan tangannya yg melingkar di tubuhku.
Tiba-tiba, aku teringat akan sesuatu..
"Sasuke.." Dia mengalihkan pandangannya padaku.
"Hn?" katanya singkat.
"Tolong jangan panggil aku Tuan Muda di sekolah ya? Sepertinya sedikit.. memalukan.. Lagipula, mulai hari ni kau akan jadi kakak kelasku,kau kelas 4, sedangkan aku kelas 3, jadi paling tidak, kau bisa panggil namaku.."
Dia terlihat ragu. "Baiklah, Tuan Mu.."
"Naruto," potongku, "dan jangan tambahkan embel-embel apapun di belakangnya."
"Baiklah.. Naruto.."
Aku tersenyum mendengarnya.
"Ah.. dan terima kasih ya.." tambahku ketika gerbang Konoha Elementary School sudah terlihat di depan mata.
"Untuk?" Mata hitamnya menatap bingung.
Senyumku bertambah lebar. "Untuk menjadi orang pertama yg bersedia berteman denganku.."
Sasuke menghentikan langkahnya, tapi aku terus berjalan menuju gerbang dgn mantap meninggalkan Sasuke yg entah sedang memikirkan apa.
END OF NARUTO'S POV
SASUKE'S POV
"Untuk menjadi orang pertama yg bersedia menjadi temanku.."
Kata-kata itu dgn sukses membuat wajahku menjadi matang. Bukan hanya itu. Dia tersenyum padaku. Padaku! Bukan pd orang lain.
Argh! Ada apa denganku. Sejak bertemu dgn Naruto, sepertinya aku terlalu banyak mengeluarkan ekspresi. Tapi, aku tak keberatan jika yg melihat semua itu adalah Naruto. Jauh di dlm hati, aku ingin agar dia mengetahui diriku lebih banyak lagi, sebagaimana aku ingin tahu segala hal tentang dirinya.
Dan sejak saat ini, aku, Uchiha Sasuke, bersumpah akan selalu menjaga agar senyuman itu akan terus ada di wajahnya.
I'm promise.
###############################################################################################
8 tahun kemudian
"Tuan Muda…" pemuda berambut hitam itu mendekati ranjang bernuansa orange di depannya. Sebenarnya bukan hanya ranjang itu saja yg berwarna orange, tapi sebagian besar warna yg mendominasi kamar yg cukup luas itu pun berwarna serupa.
"Tuan Muda… kalau anda tak cepat-cepat bangun, anda akan ketinggalan upacara pembukaan…" katanya sambil berusaha menarik selimut yg menyembunyikan tubuh seorang pemuda pirang di dalamnya.
"… ma… nit…" hanya kata-kata itu yg berhasil meluncur dari bibir pemuda yg kini berusaha menyembunyikan kepalanya di bawah bantal.
Walaupun tak mendengar dgn jelas apa yg diucapkan pemuda yg lebih muda darinya itu, dia mengerti bahwa maksud dari kalimat itu adalah lima menit, yg bisa diartikan jg sebagai 'biarkan-aku-tidur'. Pengalaman membangunkan pemuda itu selama 8 tahun membuatnya hapal dgn kelakuan-kelakuannya dan trik-trik yg ampuh untuk membuatnya terbangun.
"Yah… kalau begitu, aku harus bilang pd Kakashi-san bahwa Tuan Muda tak minat untuk sarapan," dia menghentikan ucapannya sebentar, "padahal ramen hari ni sepertinya spesial… sayang sekali…"
Dan dlm hitungan detik, pemuda berambut pirang itu menendang selimutnya dan loncat dari tempat tidurnya kemudian menuju pintu keluar tanpa menyadari bahwa dia tak mengenakan apapun selain boxer berwarna –lagi-lagi – orange cerah yg melekat di tubuhnya.
Tapi bergerak secepat apapun, pemuda berambut hitam itu berhasil menangkap bahunya dan mengarahkannya ke kamar mandi yg ada di dlm kamar itu. "Tidak sebelum anda mandi, Tuan Muda…"
"Oh… Ayolah Sasuke… kamar mandi tak akan ke mana-mana… aku masih bisa mandi sehabis makan…" pemuda pirang itu merajuk, mengeluarkan tatapan khasnya yg bisa membuat semua orang menuruti permintaannya, puppy eyes no jutsu andalannya. Semuanya, kecuali Sasuke sepertinya.
"Dan anda masih tetap bisa makan ramen setelah anda mandi…" kata Sasuke. "Dan Tuan Muda… saya bukan lagi anak kecil yg mudah tertipu oleh tatapan Tuan itu…" lanjutnya sambil menyeringai.
"Ugh… kamu nggak asik ah!" Naruto menutup pintu kamar mandi dgn membantingnya. Sasuke hanya bisa menarik napas panjang.
Delapan tahun sudah berlalu sejak saat itu. Naruto tetap menjadi seorang Tuan Muda Manja yg kekanak-kanakkan, dan Sasuke tetap menjalankan tugasnya dgn baik dgn menghindarkan Naruto dari hal-hal yg membahayakan dirinya dan orang lain. Tak ada yg berubah…
…betulkah begitu?…
Mungkin tidak. Hanya saja, Sasuke tak ingin mengakui kehadiran desir-desir halus yg melanda hatinya ketika melihat Naruto tersenyum. Yang membuatnya tiap saat ingin selalu berada di dekatnya. Bahagia ketika melihatnya tertawa dan memeluknya ketika sedang bersedih. Dia tahu, ada perasaan lain selain kepada majikan dan bawahan. Perasaan yg lain, yg tak pernah dirasakannya pd orang lain. Perasaan yg tak bisa di dekripsikan oleh otak jeniusnya. Perasaan yg ia tak tahu namanya…
"Cklek.."
Sasuke menghentikan lamunannya ketika mendengar suara pintu yg dibuka.
Naruto keluar dari kamar mandi hanya dgn selembar handuk yg melilit di pinggangnya. Entah kenapa, Sasuke berharap ada angin yg menerbangkan handuk itu dan membuat apa yg berusaha ditutupi oleh selembar kain tersebut terekspos di depan matanya –oh… you're such a naughty boy, Sasuke…-
Naruto memandang Sasuke dgn tatapan bertanya-tanya. "Ne, teme, kenapa kau melihatku seperti itu?" dia mengalihkan pandangannya kemudian berjalan menuju lemari pakaiannya untuk mengambil seragam sekolahnya. Sasuke masih tak merespon.
Setelah menutup kembali pintu lemarinya, dia melangkah ke arah Sasuke sambil sebelah tangannya masih memegang bajunya yg serupa dgn yg Sasuke pakai sekarang.
Kemudian dgn tersenyum jahil, dia berbisik di telinga kiri Sasuke, "Apa kau mau membantuku berganti baju, Sa-su-ke?"
Sasuke bergidik ketika merasakan napas hangat Naruto menerpa telinganya. Rambut pirang Naruto yg basah menyentuh pipinya, membuatnya bisa mencium harum jeruk yg menguar dari tubuhnya. Dia menyentuh pundak Naruto dan mendorongnya menjauh.
"A… aku tunggu di bawah…" kata Sasuke dgn gugupnya. Wajahnya sudah sewarna dgn makanan kesukaannya, tomat.
Ketika sampai di luar kamar dia masih bisa mendengar suara tawa Naruto dan kata-katanya, "Kita satu sama sekarang, Sasuke!"
Sialan! Rutuk Sasuke dlm hati.
#
#
SASUKE'S POV
"Ayo cepat sedikit Sasuke! Kita bisa terlambat nanti!"
Aku hanya melirik pemuda pirang di sampingku sambil terus berkonsentrasi pd jalanan di depanku.
"Berhenti mengeluh, Tuan Muda. Anda sendiri yg membuat kita terlambat seperti ini."
"Argh! Makanya biarkan aku yg menyetir! Aku pasti bisa lebih cepat darimu!"
"Anda belum punya SIM, Tuan…"
"Bulan depan aku sudah 17 tahun!"
"Kalau begitu, tunggulah sampai bulan depan," kataku tenang. Delapan tahun hidup satu atap dengannya membuatku maklum akan sikapnya yg suka seenaknya sendiri.
"Teme jelek!" Naruto merajuk. Pipinya digembungkan dan kedua tangannya disilangkan di depan dadanya.
"Anda tak pernah bisa dewasa, Tuan Muda…" desisku.
"Apa peduliku!" dia mengalihkan pandangannya keluar jendela. "Kalau tahu begini sih, lebih baik aku berangkat dgn Sai-niisan saja…"
CKKKITT…
Tanpa sengaja, aku menginjak rem dan sukses membuat jidat Naruto berciuman dgn dashboard hingga mengeluarkan bunyi 'dukk' kecil.
"APA MAKSUDMU, TEME!" ujarnya sambil menggosok-gosok dahinya yg sekarang berwarna merah muda. "Bahkan tanpa SIM pun, aku bisa mengemudi lebih baik daripada kau…"
"Go… gomen… hanya saja…" aku bingung mencari kata-kata. "Saya memang sering mendengar anda memanggil Sai dgn sebutan 'aniki', tapi baru kali ni saya mendengar anda memanggilnya dgn sebutan… er… Sai-niisan." Aku kembali menyalakan mesin dan menjalankan mobil.
Naruto terdiam sebentar sebelum menjawab, "Bukan urusanmu, Teme…"
Aku tersenyum kecil, "Jawaban yg sudah diduga…"
Ingatanku melayang pd seorang pemuda yg mungkin kalau kau lihat secara sekilas terlihat seperti… aku. Mata dan rambut hitam yg mirip sepertiku.
Tapi jika kau perhatikan dgn seksama, maka akan ada perbedaan yg mencolok dari kami berdua. Wajahku yg selalu tanpa ekspresi dan terkesan kaku, sedangkan Sai adalah seorang yg tak pernah kehilangan senyum dari wajahnya. Tak pernah ada ekspresi lain yg ditunjukkannya pd orang-orang di sekitarnya, sehingga dia terkesan tak punya masalah. Padahal, jauh di dlm hatiku, aku yakin senyum yg digunakannya adalah topeng untuk menyembunyikan segala macam perasaan yg berkecamuk dlm hatinya.
Sai Mizuno. Usianya baru 22 tahun. Pemuda jenius yg menarik perhatian banyak orang. Lulus cum laude dari Konoha University pd usia 20 tahun. Sekarang dia adalah tangan kanan yg sangat dipercayai oleh Namikaze Minato. Tentu saja, selain karena prestasinya, Minato-sama pun sudah mengenalnya dgn sangat baik.
Dia adalah anak angkat dari tukang kebun keluarga Uzumaki, Akira Mizuno. Dia dibawa ke Uzumaki's mansion pd usia 8 tahun –usia Naruto saat itu masih 3 tahun-. Minato-sama yg menyadari kejeniusannya, akhirnya menyekolahkannya hingga perguruan tinggi untuk membantu pekerjaannya dan Naruto kelak. Dan entah kenapa aku merasa, Sai itu sedikit… berbahaya. Maka dari itu, walaupun kami tinggal bersama-sama selama delapan tahun ini, aku sangat jarang berbicara dengannya. Tapi kebalikan dari diriku, Naruto amat menyayangi Sai… sebagai KAKAK! Ingat, sebagai KAKAK! Tidak lebih dan tak kurang! Karena kalau lebih dari itu, aku rasa aku tak akan bisa memaafkan diriku sendiri.
Aku kembali memfokuskan pandangan dan pikiranku pd jalanan ketika aku melihat gerbang sekolah kami, Konoha High School. Banyak siswa yg sudah datang, bergerombol dgn teman-temannya sambil bertukar cerita sewaktu liburan ataupun hanya sekedar menanyakan kabar. Pertanyaan basa-basi. Beberapa anak berdiri sendiri-sendiri, menjauh dari kerumunan, mencoba beradaptasi dgn lingkungan yg asing baginya. Anak baru.
Setelah mendapatkan tempat kosong untuk parkir, aku dgn hati-hati memarkirkan mobil yg masih mulus itu. Tentu saja, tergores sedikit saja, maka Minato-sama akan menggantinya sesegera mungkin. Dasar orang kaya.
"Welcome back to school…" desis Naruto.
"Anda kelihatan tak senang, Tuan Mu…" belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, seorang pemuda memanggil Naruto.
"Hey, Naruto!" pemuda beralis tebal itu merangkul pundak Naruto. "Sudah siap untuk memulai tahun ajaran baru ni dgn semangat jiwa mudamu?" Naruto diam, kentara sekali dia tak suka diperlakukan seperti itu.
"Bagus…!" rupanya diamnya Naruto dianggap sebagai tanda setuju oleh pemuda itu. "Kalau begitu, ayo kita tularkan semangat masa muda ni kepada yg lainnya…" dia menarik tangan Naruto menuju gedung bertingkat 4 berwarna hijau-kuning di hadapannya. "Ah… dan selamat pagi, Sasuke-senpai…" ujarnya sebelum membawa 'kabur' Naruto ke dlm kerumunan orang-orang.
Aku hanya tertawa kecil melihat sedikit adegan yg yang sudah jadi santapan sehari-hari ini. Ada rasa senang yg menyelusup ke dlm hatiku. Karena akhirnya, Naruto memiliki teman-teman yg menerima dirinya apa adanya, tulus, dan tak pernah mempermasalahkan statusnya.
Ah… dan satu hal lagi. Di sekolah ni –sepertinya- tak ada yg tahu tentang hubunganku dan Naruto sebagai majikan dan bawahan. Yang mereka semua tahu adalah bahwa aku sepupu jauh Naruto yg tinggal bersama dengannya karena orang tuaku sudah meninggal. Sebagian benar, dan sebagian lagi… bohong. Yah… terkadang ada baiknya sebuah kenyataan harus disembunyikan bukan?
#
#
NARUTO'S POV
Minggu yg buruk untuk memulai tahun ajaran baru. Lee, yg sepertinya sudah hafal dgn jadwalku datang ke sekolah, sekarang selalu menungguku di tempat parkir dan kemudian 'menculikku' untuk menyebarkan apa yg disebutnya sebagai 'semangat masa muda'. Dan dlm pembagian kelas –sepertinya Tuhan sedang membenciku- aku harus sekelas, bahkan sebangku, dgn dia! Haah… menyebalkan. Bukannya aku tak suka pd Lee, dia cukup menyenangkan kok. Hanya saja… yah, tahu sendirilah bagaimana sifatnya.
Dan sudah hampir seminggu ini, Ayah dan Sai-niisan tak pulang. Mereka bilang ada urusan bisnis di Suna. Jadi, di rumah sebesar ni hanya di huni oleh aku, Sasuke, Kakashi, Iruka, bibi Yumiko, dan beberapa pembantu yg lain jg penjaga-penjaga yg bahkan aku tak hapal namanya. Tapi beberapa dari mereka tak tinggal di rumah ini. Hanya bekerja dari pagi hingga sore hari, kemudian pulang ke rumah masing-masing ketika malam hari.
Kakashi, 30 tahun, adalah koki di rumah ini. Walaupun sifat mesumnya itu sangat menyebalkan, tapi harus kuakui masakannya adalah yg nomor satu. Sedangkan Iruka, 28 tahun, adalah kepala pelayan di sini. Tugasnya mengomandoi pelayan-pelayan lainnya agar melakukan tugas masing-masing dgn benar. Orangnya sangat menyenangkan. Dia memperlakukanku seperti anaknya sendiri. Oh, dan aku sudah tahu sejak lama kalau mereka berdua itu punya semacam… er… hubungan khusus. Pernah suatu malam aku terbangun di tengah malam karena lapar dan mendapati mereka berdua sedang… berciuman. Lebih tepatnya sih, Kakashi yg 'menyerang' Iruka. Nafsu makanku hilang seketika.
Bibi Yumiko, usianya sudah 57 tahun, tapi fisiknya masih sangat baik. Dia adalah pengasuhku. Sebelumnya, dia adalah pengasuh ayahku. Wanita yg sangat bijak. Sebenarnya Ayah sudah menyuruhnya untuk pensiun saja, tapi dia berkata bahwa dia tak akan melepas tanggung jawabnya hingga aku dewasa. Yah… bukan salahku kalau sikapku kekanak-kanakkan kan?
Dan terakhir, tentu saja aku dan Sasuke, penghuni rumah yg paling setia. Ayah jarang memperbolehkanku untuk pergi keluar selain untuk sekolah. Ayah menjadi begitu overprotektif padaku sejak kematian ibu yg bisa dibilang cukup… tragis. Dan tak pernah menyenangkan untuk mengungkit-ungkit hal itu lagi. Ah, dan itu merupakan salah satu penyebab aku sangat benci –lebih tepatnya takut– pd petir.
Karena dari itulah, dulu aku suka sekali kabur dari rumah dan pergi ke apartement Himawari, apartement bobrok yg sekarang sudah hampir 15 tahun tak digunakan. Tempat yg menenangkan dan menyimpan banyak kenangan. Tempat aku 'membawa lari' Sasuke di hari pertama kami bertemu. Tapi sejak ada Sasuke, kebiasaan itu hilang sama sekali.
Sekarang aku merasa lebih tenang dgn bersamanya. Jadi, tak ada alasan untuk mencari ketenangan di tempat lain. Sasuke yg tak pernah banyak bicara, tapi itulah yg aku suka darinya…
Seperti saat ini, kami duduk berhadap-hadapan di meja makan. Sedari tadi dia tak mengeluarkan sepatah katapun. Sepertinya, dia adalah penganut aliran dilarang-bicara-di-meja-makan.
"Terimakasih atas makanannya…" ujarnya sambil membereskan piringnya. Sasuke tak pernah menyisakan makanan, walaupun itu adalah masakan uji coba milik Kakashi.
"Cepat sekali makanmu…"
"Tidak ada alasan untuk makan berlama-lama kan? Cukup kunyah dan telan. Selesai…" katanya sambil membawa piringnya ke dapur. Ugh… dasar menyebalkan…
"Dan tak ada alasan untuk makan cepat-cepat! Makan itu harus sambil dinikmati tahu!" teriakku padanya. Aku cepat-cepat menyelesaikan makanku dan membereskan bekasnya. Beberapa butir nasi terjatuh di meja. Huh, aku memang tak pernah bisa rapi.
Sasuke sudah muncul lagi di ruang makan. "Saya akan mengerjakan tugas di kamar. Anda bisa ke sana jika membutuhkan saya," katanya sambil menaiki tangga ke lantai dua.
Aku membawa piringku ke dapur. Sebenarnya, dgn meninggalkannya di meja makan pun pasti akan ada pelayan yg membereskannya. Hanya saja, aku tak suka kalau Sasuke terus-terusan menganggapku sebagai Tuan Muda yg Manja.
Setelah menaruhnya di dapur, aku pun menyusul Sasuke ke lantai 2. Kamarku tepat ada di depan tangga. Kamar di sebelahku adalah milik Sasuke. Pintunya tertutup. Dasar anak rajin. Ini masih hari Minggu, dan aku tahu bahwa tugas yg dimaksudnya adalah tugas yg akan dikumpulkan hari Jumat yg akan datang.
Aku masuk ke kamarku sendiri yg bernuansa orange. Sebuah meja kayu persegi berdiri dgn kokoh di tengah ruangan dgn delapan buah bantal duduk – tentu saja berwarna orange - di sekelilingnya. Sebuah TV layar datar menempati lemari yg berisi pajangan rubah berekor sembilan / yg biasa disebut Kyuubi, tokoh utama dari serial kesukaanku, berada di seberang ruangan sehingga terlihat jelas jika duduk di tengah ruangan tersebut. Ranjang di sudut ruangan pun tak ketinggalan memamerkan wajah besar Kyuubi yg sedang beraksi. Lemari pakaian yg berada di sudut lainnya pun jika dibuka akan menampilkan sederet pakaian berwarna orange yg mendominasi lemari tersebut. Begitupun dgn meja belajar yg ada di sampingnya, tak kalah memperlihatkan sederet barang-barang berwarna orange. Cat yg menghiasi kamar ataupun karpet yg terhampar di sepanjang ruangan pun bekerja sama menambah nuansa orange di kamar ini. Aku benar-benar menyukai warna orange!
Aku berjalan menuju ranjangku kemudian membaringkan tubuhku dan menatap langit-langit. Haah… aku menarik napas panjang. Membosankan. Tidak ada yg menarik. Aku teringat akan pr fisika yg harus dikumpulkan besok dan bangkit menuju meja belajar kemudian mengambil pr yg di maksud. Aku duduk memandangi prku selama beberapa menit, sebelum akhirnya mendesah panjang. Aku tak mengerti sama sekali. Untuk apa susah-susah menghitung kecepatan rata-rata dari mobil yg sedang melaju? Kalau sedang macet bagaimana? Atau tiba-tiba mobilnya mogok? Aku mendengus. Kemudian berdiri sambil membawa prku ke kamar Sasuke.
"Tok… tok… tok…"
"Masuk," aku mendengarnya berkata.
Aku membuka pintu pelan-pelan dan melihat nuansa yg amat berbeda dari kamarku. Kamar Sasuke lebih sederhana dgn dominasi warna biru tua di seluruh ruangan. Sebenarnya Ayah menawarkan pd Sasuke agar kamarnya diisi barang-barang seperti milikku. Tapi Sasuke tak suka segala sesuatu yg berlebih-lebihan, dia lebih menyukai yg sederhana.
"Ada apa Tuan muda?" dia mengangkat wajahnya dari tugas yg sedang dikerjakannya. Bukunya penuh dgn gambar molekul-molekul yg membingungkan. Kimia, aku menyimpulkan.
Aku mengangkat buku tugasku dan menambahkan cengiran di sudut bibirku. "Fisika."
Sasuke hanya mengangguk. Dia tahu, aku paling benci pd pelajaran fisika.
Aku menarik sebuah bantal duduk dan mengambil tempat di sampingnya. Aku menyodorkan buku tugasku ke hadapannya segera setelah dia membereskan buku-bukunya.
Dia membacanya sebentar, kemudian mulai menjelaskannya padaku. Entah aku yg terlalu bodoh / memang dia yg terlalu jenius, tapi aku sama sekali tak mengerti apa yg diucapkannya.
"Er… Sasuke…" aku menginterupsinya.
"Ya?" dia menatapku.
"Bisa kau ulangi lagi yg tadi?" tanyaku. "Tapi kali ni gunakan bahasa manusia ya?"
Dia mengernyitkan dahinya. "Maksud anda?"
Aku menarik napas panjang. "Aku sama sekali tak mengerti apa yg kau katakan dari tadi. Kau menjelaskan padaku seolah-olah aku ni memiliki otak yg sama denganmu," aku menopang daguku dgn tangan kananku. "Aku bukan jenius sepertimu, Sasuke…"
"Tapi itu tadi hanya penjelasan dasar saja kok. Lagipula, yg tadi saya jelaskan itu sudah pernah ada di pelajaran kelas satu. Harusnya anda masih mengingatnya…" matanya masih menatapku. Pandangannya seperti menginterogasiku. "Anda tertidur lagi saat guru menjelaskan?"
Aku mengalihkan pandanganku. Aku tak suka ketika dia melihatku dgn tatapan seperti itu. Dia seperti bisa membaca apa yg kupikirkan.
"Aku memang bodoh kok…" tatapanku kini memandang ke luar jendela. "Bukan jenius yg selalu jadi juara umum tiap tahun…" Ya, Sasuke langganan juara umum sejak dia masih SMP. Sebetulnya, ada yg menawarinya beasiswa untuk melanjutkan sekolahnya di sekolah Suna High School yg terkenal dgn siswanya yg cerdas karena nilai-nilainya yg selalu sempurna. Sai-niisan pun sekolah di tempat itu. Tapi dia memutuskan untuk meneruskan sekolahnya di Konoha High School karena tuntutan pekerjaannya, menjagaku. Tiba-tiba, aku merasa bersalah padanya.
"Harusnya kau menerima tawaran beasiswa itu Sasuke… Kau pasti akan jadi orang hebat seperti Sai-niisan," aku mengalihkan pembicaraan.
"Beasiswa?" dia berpikir sebentar. "Oh… saya sudah melupakan hal itu. Lagipula, saya kan harus menjaga anda."
"Aku menghalangi masa depanmu ya?" aku masih tak menatap matanya, memainkan pensil yg ada di tanganku.
"Eh…? Ti… tak kok, Tuan Muda. Saya… saya hanya ingin melaksanakan tugas yg diberikan pd saya dgn sebaik-baiknya."
Betul kan? Aku hanya jadi beban untuknya.
"Sudahlah…" aku mengambil bukuku yg ada di tangannya. "Kau lanjutkan saja mengerjakan tugasmu. Aku tak mau mengganggumu. Lagipula nanti malam Sai-niisan akan pulang. Aku bisa bertanya padanya." Aku beranjak dari dudukku, namun Sasuke mencengkeram tangan kananku.
"Kenapa…?" ujarnya. Aku melihat ke dlm matanya. Ada kilatan terluka di sana.
"Apa maksudmu?" aku berusaha melepaskan cengkeraman tangannya yg mulai membuat pergelangan tanganku terasa sakit.
"Kenapa… selalu Sai…?"
Aku semakin bingung dibuatnya. "Aku tak mengerti apa yg kau katakan," tanganku mulai memerah akibat cengkeraman tangannya. "Sasuke… sakit…" tapi sepertinya dia tak mendengarkanku.
Lalu tiba-tiba, dia menarik tanganku dan mendorongku ke lantai hingga kepalaku sedikit terasa sakit karena membentur lantai. Kini kedua tangannya mencengkeram kedua tanganku. Dia berada di atasku. Matanya lurus menatapku. Aku tak bisa membaca matanya. Terlalu banyak ekspresi di sana. Marah, sedih, kecewa, dan berbagai macam ekspresi yg belum pernah diperlihatkannya selama ini.
"Tak bisakah sehari saja kau berhenti berpikir tentang Sai?"
Aku tak mengerti apa yg dibicarakannya dan jg tak berani menjawabnya. Tatapan matanya membuatku takut.
"Tak bisakah sehari saja kau berhenti membicarakan Sai?" napas Sasuke semakin memburu. Aku bisa merasakan napasnya yg panas di wajahku.
"Tak bisakah…" dia berhenti sebentar, "…aku menggantikan tempatnya?"
"Eh…?" hanya itu yg bisa kukatakan. Aku benar-benar bingung dibuatnya.
Lalu seperti kelakuannya yg tiba-tiba tadi, seperti itulah dia melepaskan pegangan tanganku dan bangkit berdiri kemudian membalikkan badannya sehingga aku hanya bisa melihat punggungnya. Aku duduk perlahan-lahan dan memandang punggung Sasuke yg sepertinya sedang berusaha mengatur nafasnya.
"Sa… Sasuke…?" aku memanggilnya takut-takut.
Sasuke tak mengindahkan panggilanku.
Aku berdiri dan menghampirinya. Aku berusaha memegang pundaknya. "Sasuke, apa yang…"
Dia menepiskan tanganku dan membuatku terkejut. "Aku…" dia berusaha mencari kata-kata yg tepat. "Ma… maaf…" hanya kata itu yg bisa ditemukannya dari sekian banyak perbendaharaan kata yg dimilikinya. Kemudian dia pergi begitu saja dan meninggalkanku sendirian.
Apa sih yg salahdengannya?
#
#
Sasuke berjalan tak tentu arah. Dia tak tahu ke mana tujuannya. Hanya mengikuti ke mana kakinya melangkah. Akhirnya dia sampai di halaman samping yg merupakan tempat favoritnya dan Naruto untuk membaca buku.
Naruto membaca buku? Ya, itu adalah fakta yg baru diketahui Sasuke setelah beberapa lama dia tinggal di rumah ini. Tadinya dia berpikir bahwa ruang perpustakaan yg ada di lantai satu rumah ni adalah milik Minato-sama. Tapi setelah beberapa kali dia menangkap basah Naruto yg sedang membaca buku, barulah dia tahu bahwa sebagian besar koleksi buku di perpustakaan itu adalah milik Naruto. Suatu kebiasaan yg tak sesuai dgn kepribadiannya.
Sasuke berjalan mendekati satu-satunya pohon yg ada di tempat itu. Kemudian dia duduk di ayunan kayu yg sudah terlihat usang namun masih kuat untuk menahan berat tubuhnya. Ayunan kayu ni sedikit kependekan untuknya yg jelas-jelas memiliki tinggi lebih dari 170 cm. Tentu saja, ayunan ni dibuat oleh Sai untuk Naruto yg waktu itu masih berumur 6 tahun.
Haah… Sasuke menarik napas panjang. Sai lagi…
Dada Sasuke terasa sakit kalau mendengar Naruto mengucapkan nama itu. Sai-niisan… bahkan ketika orangnya sedang tak ada, paling tak sehari sekali dia akan mendengar Naruto mengucapkannya. Apalagi kalau Sai ada di rumah. Sepertinya, tiap saat dia melihat Naruto, pasti ada Sai di sampingnya. Dan satu-satunya yg bisa memanggil Naruto dgn namanya saja, bukan Tuan Muda ataupun Naruto-sama, tanpa tatapan sinis dari pelayan yg lain hanyalah Sai. Bahkan Bibi Yumiko yg bekerja sebagai pengasuh Naruto sejak kecil pun tetap memanggilnya dgn Tuan Muda. Memang Sasuke memanggil nama Naruto dgn namanya sendiri di sekolah, tapi itu agar tak ada yg tahu tentang pekerjaan Sasuke sebagai bodyguard Naruto.
Wajar saja, Naruto sudah mengenal Sai sejak dia masih berusia 3 tahun. Sedangkan Sasuke, baru 6 tahun kemudian mengenal Naruto. Ketika pertama kali datang ke rumah ini, saat itu Sai sedang melanjutkan sekolahnya di Suna High School yg memiliki sistem asrama sehingga Sasuke baru bertemu dengannya empat tahun kemudian ketika Sai lulus dan kembali ke Uzumaki's mansion ini. Dan Sasuke merasa, ada sesuatu yg berubah pd Naruto sejak saat itu.
Setiap kali Sasuke bertanya, Naruto selalu bilang bahwa dia menganggap Sai seperti kakaknya sendiri. Sasuke berusaha mempercayainya, namun dia tahu ada sesuatu yg disembunyikan Naruto darinya.
Sikap Sai pd Naruto sangat baik. Dia lebih sering tertawa ketika bersama Sai. Sedangkan ketika bersama Sasuke? Sasuke mengggelengkan kepalanya mengingat apa yg baru saja terjadi. Apa yg dilakukannya? Dia sendiri tak sadar ketika tubuhnya melakukan tindakan lebih dulu daripada akal sehatnya. Ketika menyadari apa yg dilakukannya, dia melihat mata Naruto yg menatapnya dgn ketakutan. Dasar Sasuke bodoh. Ada apa denganmu?
"Ah… Sasuke-kun…" suara lembut seorang wanita yg usianya sudah lebih dari separuh abad menyadarkannya dari lamunannya. Rambut pirang panjangnya yg diikat di belakang tertiup angin. Mata hijaunya menatap Sasuke dgn lembut.
"Yumiko-san…" Sasuke menatapnya. Dia berjalan menuju ke arahnya.
Ketika sudah sampai di depan pemuda berambut hitam itu, dia tersenyum. "Sedang apa kau di sini?"
Sasuke hanya menggeleng lemah. "Tidak sedang apa-apa."
"Tadi Tuan Muda mencarimu. Kelihatannya dia sedikit khawatir."
"Aa…" hanya kalimat itu yg berhasil meluncur dari mulutnya. Dia mengalihkan pandangannya pd rumput di bawah kakinya.
Kemudian wanita itu meletakkan tangannya di pundak Sasuke. "Kau bertengkar dengannya?"
Sasuke tak menjawab.
"Yah… itu hakmu jika tak mau menceritakannya padaku," wanita tua itu mengelus kepala Sasuke. "Aku masuk dulu ya. Udaranya mulai dingin."
Ketika wanita itu berbalik, Sasuke menemukan suaranya. "Apa bibi pikir… Tuan Muda benci padaku?"
Yumiko sedikit terkejut dgn pertanyaan itu, tapi segera dia kembali tersenyum menenangkan pemuda di hadapannya.
"Kupikir tidak, Sasuke-kun. Tuan Muda tak akan begitu baiknya pd orang yg dibencinya," sekarang, bola mata hijau bertemu dgn bola mata hitam. "Malah kupikir, dia menyayangimu…"
Sasuke terlihat tak percaya. Dia menggeleng lagi. "Tuan Muda hanya menyayangi Sai…"
Wanita itu tertawa kecil. "Jadi itu masalahnya…" dia berhenti sebentar. "Tuan Muda menyayangi kalian berdua… Kau dan Sai… masing-masing dgn cara yg berbeda…"
Sasuke berusaha mencerna perkataan itu. "Tadi aku melakukan hal yg sangat bodoh. Dia pasti menganggapku aneh…"
Lagi-lagi, wanita itu mengelus kepala Sasuke. "Itu berarti kau masih harus mengenal Tuan Muda dgn lebih baik lagi. Dia tak akan marah hanya karena sebuah hal bodoh, apalagi pd orang yg disayanginya. Kalaupun iya, besok pagi pasti dia sudah lupa dan tak akan mengungkitnya lagi…"
Dalam hati, Sasuke tersenyum. Dia memang tak pernah melihat Naruto marah, apalagi sampai membenci orang lain. Dia merasa sedikit lega sekarang.
"Terimakasih, Yumiko-san…" dia tersenyum kecil.
Wanita itu tertawa lagi dan berkata, "Ternyata betul kata Tuan Muda. Kau terlihat lebih tampan ketika tersenyum, Sasuke-kun…"
Sasuke merasa wajahnya sedikit memanas. Ternyata Naruto menceritakan hal yg seperti itu pd orang lain.
Dan senyum itu lalu menghilang seketika saat sebuah sedan BMW silver memasuki gerbang depan.
Jumat pagi.
Hari itu kalender di meja belajarnya menunjukkan tanggal 10 Oktober. Dia tersenyum kecil. Akhirnya, hari ni tiba juga… pikirnya.
Sasuke bangkit dari ranjangnya, kemudian membenahinya. Setelahnya, dia menuju kamar mandi untuk membersihkan dirinya.
"Ohayou, Sasuke!" sebuah suara ceria yg khas menyapanya ketika dia berjalan menuruni tangga. Dilihatnya pemuda berambut pirang itu sedang merebahkan kepalanya di pangkuan Sai sambil mengelus-elus seekor kucing anggora berbulu putih di atas perutnya.
"Ohayou, Naruto-sama…" ujarnya tanpa mempedulikan Sai yg sedang tersenyum kepadanya sambil menggumamkan selamat pagi. "Selamat ulang tahun…" Dilihatnya tangan pemuda itu sedang bermain-main dgn rambut Naruto. Naruto hanya terkikik kecil merasakan sentuhan tangan Sai. Shit! Umpatnya dlm hati.
"Anda belum siap-siap untuk berangkat sekolah, Tuan Muda?" tanyanya ketika menyadari bahwa Naruto masih menenakan piyama orange yg bergambar Kyuubi di baggian dada.
"Um…" Naruto bangkit dari posisi tidurnya dan duduk sambil tetap mengelus-elus kucing kesayangannya. "Aku baru berpikir bahwa mungkin aku bisa mengambil libur sehari. Toh hari ulang tahunku ni cuma setahun sekali…"
Sasuke mengangkat alisnya. "Maksud anda… bolos?"
"Well…" Naruto terlihat salah tingkah, "… mungkin?"
Sasuke menggelengkan kepalanya. "Tidak ada alasan untuk tak masuk sekolah hanya karena…"
"Hanya hari ini, kurasa tak apa-apa, Sasuke-kun. Minato-sama pasti akan mengijinkannya…" potong Sai. Senyum khasnya masih tergantung di bibirnya.
"Anda terlalu memanjakannya, Sai-san…" ujar Sasuke sembari memberikan penekanan pd kata –san. Dia tak pernah suka jika harus berbicara dgn Mr. Smile itu.
"Yah… absen sehari tak akan membuatnya dikeluarkan dari sekolah, Sasuke-kun…" jawabnya masih dgn tersenyum, tapi Sasuke bisa mendengar bahwa pemuda di hadapannya itu memberikan penekanan pd kata –kun, membalasnya.
"Tapi jika dia terus menerus dibiarkan melakukan hal-hal yg ingin dilakukannya tanpa mendengarkan perkataan orang lain, itu hanya akan membuatnya semakin egois dan manja."
"Well, mengingat yg kita bicarakan ni adalah pewaris tunggal dari Uzumaki Corporation, sepertinya wajar saja."
"Kalau sifatnya yg seperti itu tak dihilangkan, nantinya dia sendiri yg akan sudah jika harus terjun dlm masyarakat."
"Kupikir tak perlu mengkhawatirkan hal yg seperti itu. Melihat statusnya, dia pasti akan dihormati."
"Tetap tak baik membiarkannya seperti itu…"
"Tapi tak ada alasan khusus bagimu untuk melarangnya…"
"Menurut saya…"
"Cukup!"
Kedua pemuda berambut hitam itu mengalihkan pandangannya pd pemilik mata biru yg kini sudah berdiri dgn kesal. Sampai-sampai kucing yg tadi di pangkuannya meloncat dgn kaget dan pergi entah ke mana.
"Ini masih pagi dan kalian berdua sudah membuatku sakit kepala," katanya sambil berjalan menuju ke tangga.
"Anda mau ke mana, Tuan Muda?" Sasuke yg pertama kali tersadar.
"Ke kamar. Kau menyuruhku untuk sekolah kan?" katanya sambil terus berjalan menaiki tangga. "Aku mau mandi…" dia berpikir sebentar kemudian melanjutkan, "… dan bilang pd Kakashi untuk menyiapkan ramen untuk mengembalikan mood-ku yg hilang gara-gara kalian." Akhirnya Naruto hilang dari pandangan mereka berdua.
Sasuke menyeringai senang sambil menatap pemilik bola mata hitam yg balik menatapnya, kali ni sudah kehilangan senyum kebanggannya itu. Aku menang! Teriaknya dlm hati.
#
#
NARUTO'S POV
"Anda masih marah pd saya karena memaksa anda untuk sekolah, Tuan Muda?" tanya Sasuke yg berjalan di sampingku. Akhirnya, aku mengikuti keinginannya agar tak 'meliburkan diri'.
"Menurutmu?" Aku tak mengalihkan pandanganku padanya. Mataku mencari-cari pemuda beralis tebal yg biasanya sudah duduk manis menungguku di tempat parkir. Tapi aku sama sekali tak bisa menemukannya. Baguslah. Mungkin dia sudah berhenti mengerecokiku dgn 'semangat muda'-nya.
"Ah…" Aku mencuri pandang ke arah Sasuke dari sudut mataku. Ekspresi bersalah terpancar dari wajahnya. Well, aku menikmatinya. Jarang-jarang bisa melihat seorang Uchiha seperti itu. Tentunya aku sudah melupakan masalah tadi pagi itu. Mungkin dia benar, hanya karena ni hari ulang tahunku, bukan berarti aku bisa melakukan apapun yg aku mau.
"Tapi kan saya sudah minta maaf…" katanya, alih-alih memandangku, dia malah mengalihkan pandangannya pd sepatunya. "Tuan Mu…"
"Naruto," ralatku cepat. "Ini sudah hampir sampai di kelasku, Sasuke. Aku tak mau kedapatan dipanggil seperti itu oleh seorang senpai, terlebih lagi seorang Uchiha-senpai."
"Maaf…" ucapnya dgn penuh penyesalan
Hmph… aku berusaha menahan tawaku sambil terus berjalan ke kelasku, kelas 2-3 yg ada di lantai 2. Aku berpapasan dgn beberapa siswa yg mengucapkan 'ohayou' padaku dan Sasuke kemudian membalas salam mereka –dalam kasus Sasuke, dia hanya mengangguk pd mereka-. Juga dgn beberapa gadis yg cekikikan sendiri ketika kami lewati. Telingaku sempat menangkap beberapa potong kata yg mereka ucapkan.
"Uchiha-senpai…"
"Keren…"
"Seperti biasanya…"
"Andaikan dia mau sekali saja pergi denganku…"
"Sepertinya, kau punya banyak fans ya, Sasuke?" kataku menggodanya. Tentu saja, Sasuke yg tampan dan pintar termasuk dlm daftar 10-cowok-penerima-cokelat-valentine-terbanyak tiap tahun. Mungkin, hanya sedikit –atau tak ada sama sekali- cewek-cewek yg tak melirikkan matanya pd Sasuke ketika berpapasan dengannya.
"Cewek-cewek bodoh…" gumam Sasuke, namun masih cukup keras untuk ditangkap oleh telingaku.
"Hahaha… kau benar-benar jahat Sasuke…" Kali ini, aku berhenti melangkah dan memandangnya. Kami sudah sampai di depan kelasku. Beberapa teman sekelasku mengucapkan salam / hanya sekedar menepuk pundakku. "Kalau mereka sampai dengar, aku tak ragu kalau mereka langsung bunuh diri…"
"Siapa peduli? Yang penting, kau akhirnya tertawa juga, Naruto. Itu artinya kau tak marah padaku kan?" katanya sambil tersenyum padaku.
Blush… Aku bisa merasakan wajahku memerah. Akhir-akhir ini, semenjak Sai-niisan di rumah terus, dia jarang sekali tersenyum. Yah, bukan berarti sebelumnya dia sering tersenyum. Hanya saja, dia jadi agak sedikit aneh.
"Terserah kaulah, teme…" Dan dgn itu, aku masuk ke dlm kelasku, sementara Sasuke melanjutkan berjalan menuju kelasnya sendiri yg ada di lantai 4.
"Naruto!"
Aku mengalihkan pandanganku pd suara yg sudah amat kukenal itu. Seorang pemuda beralis tebal berjalan mendekatiku yg sedang menaruh tas di meja.
"Selamat ulang tahun, Naruto!" ujar Lee sambil memasang pose nice guy-nya.
Aku memandangnya dgn tercengang. Aku sadar, Lee memang sedikit 'unik'. Tapi… sejak kapan ada orang yg memberi selamat dgn cara seperti itu?
"Eh… iya… Terimakasih, Lee…"
"Dan… aku jg punya kado untukmu…" Lee berjalan ke kursi di sebelahku –mengingat kami memang duduk sebangku- dan mengambil sesuatu dari bagian depan ransel hijaunya. Sebuah kotak persegi panjang dgn bungkus berwarna hijau dgn hiasan polkadot kuning kini ada di tangannya. Dia menyerahkannya padaku.
"Waw… Thanks Lee…" kataku sambil memeluk hadiah itu. "Kau benar-benar teman yg baik." Aku berusaha membuka hadiah itu, tapi tangan Lee menahanku.
"Jangan…" dia menggelengkan kepalanya. "Nanti saja dibukanya. Aku masih punya hadiah yg lainnya untukmu."
"Eh…?" Aku menatapnya dgn bingung. Hadiah lainnya?
"Harusnya mereka datang sebentar la… Ah, itu mereka!"
Dengan masih penuh keheranan, aku memperhatikan ke mana jari Lee menunjuk.
Di depan pintu, terlihat beberapa orang anak yg amat familiar di mataku. Satu persatu mereka memasuki kelas dan menuju ke arahku.
"Yo, Naruto!" seorang pemuda yg berada di barisan paling depan menyapaku.
"Kiba!" Dia menghampiriku dan kami ber-highfive. Hal yg sudah lama tak kami lakukan karena berbeda kelas –ketika kelas 1, aku dan Kiba ada di kelas yg sama-.
"Hei… kau tak tambah tinggi jg ya?" katanya sambil menepuk-nepuk kepalaku. Tinggiku memang tak lebih dari hidungnya. Padahal, ketika kelas 1 kami hanya berbeda beberapa senti.
"Brengsek…" aku menyingkirkan tangannya dari kepalaku. "Kau saja yg pertumbuhannya terlalu cepat, tahu!"
"Na… Naruto-kun…" suara seorang gadis yg terbata-bata membuatku melihat ke belakang Kiba. Dia terlihat kecil jika ada di dekat Kiba karena tingginya yg tak lebih dari bahu Kiba.
"Hinata-chan!"
Gadis berambut biru itu tersenyum. "Se… Selamat ulang tahun…"
Sebelum aku sempat berkata apa-apa, seorang gadis bermata hijau memandangku dan tersenyum. "Selamat ulang tahun, Naruto-kun…"
"Sakura-chan!" aku tersenyum lebar dan menghampiri gadis berambut merah muda itu yg masih berdiri di dekat pintu, karena sudah tak ada lagi ruang di sekitar mejaku –disebabkan oleh Chouji yg tiba-tiba muncul dan segera memenuhi semua tempat-.
"Kau sombong sekali Naruto-kun, tak pernah main ke kelasku lagi…" ujarnya dgn nada bercanda.
"Haha… Habisnya, kelasmu kan ada di lantai 4. Dan lagi, kau kan sudah jadi kakak kelasku sekarang…" kataku. Yah, gadis di hadapanku ni memang tak kalah jeniusnya dari Sasuke. Ketika SMP, dia mengambil kelas aksel sehingga sekarang dia sudah duduk di kelas 3. Ngomong-ngomong soal kelas 3… "Mana Sasuke?"
"Hm…" dia memandang sebentar ke luar pintu. "Tadi aku sudah bilang padanya kalau aku akan ke kelasmu. Tapi tadi sepertinya ada beberapa anak cewek yg mengerubunginya tadi…"
"Oh… yeah… dasar orang terkenal…"
"Oh ayolah Naruto-kun… kau baru saja bertemu dengannya. Masa sudah kangen lagi sih?" katanya dgn nada menggodaku.
Aku merasakan pipiku menghangat mendengarnya. Sakura adalah satu dari sedikit orang yg tahu bahwa Sasuke adalah bodyguardku. Tentu saja. Kami berteman sejak kecil. Ayahnya adalah pegawai di kantor ayahku. Dan ak
source : http://tundhu-mediasystem.blogspot.com, http://twitter.com, http://cnn.com
0 Response to "NaruHinaSasu : My BodyGuard #67998"
Posting Komentar