This site uses cookies from Google to deliver its services, to personalize ads and to analyze traffic. Information about your use of this site is shared with Google. By using this site, you agree to its use of cookies. Learn More

Tazkiyatul Madaniyah

TAZKIYATUL MADANIYAH

ORIENTASI DAN ISLAMISASI PERADABAN

Armahedi Mahzar (c) 2000

Dalam era globalisasi multisektoral yg menggebu-gebu sekarang ini, dgn dampaknya berupa krisis multidimensional yg berkepanjangan dewasa ini, sudah tiba waktunya untk tak berpikir sektoral saja, apakah itu politik, ekonomi ataupun budaya. Soalnya apa yg kita digembar-gemborkan sebagai globalisasi itu tak lain dari westernisasi global yg terselubung. Memang tak semua yg berasal dari Barat buruk. Namun, ada baiknya jika kita mengenal peradaban Islam secara lebih mendasar, agar kita dpt menyaring aspek-aspek peradaban mana saja dari peradaban Barat yg harus diambil, dimodifikasi dan ditolak. Dengan perkataan lain, perlukah kita melakukan orientasi dan islamisasi peradaban? Jika perlu, bagaimanakah caranya? Untuk dpt menjawab pertanyaan itu marilah kita memeriksa terlebih dahulu apa peradaban itu sebenarnya.


PERADABAN DAN KEBUDAYAAN :
KERANCUAN, PERSAMAAN DAN PERBEDAAN

Banyak sekali pengertian peradaban / civilization diajukan orang. Antara “peradaban” dan “kebudayaan” / culture sering dirancukan orang. Kerancuan itu terjadi baik di rumpun budaya Melayu-Indonesia maupun di rumpun budaya Arab-Parsi di Timur Tengah. Mengapa sampai terjadi demikian? Sebabnya adlh karena di dunia Barat sendiri kedua konsep itu sering dikacaukan orang, sedangkan dlm sumber primer Islam, yaitu Quran dan Sunnah, konsep peradaban dlm pengertiannya yg sekarang belumlah ada, walaupun kata ‘adab yg dlm bahasa Indonesia merupakan akar kata dari “peradaban” memang ada.
Tapi dlm bahasa Arab modern sendiri kata civilization sering diterjemahkan menjadi kata 'madaniyyah' (Muhammad Abduh) / 'tamaddun' (Abdul Jabar Beg) dan 'umran' (Ziauddin Sardar). Kata madaniyyah digunakan oleh cendekiawan Mesir Farid Wajdi untk bukunya yg berjudul "Al-Madaniyyah wa al-Islam" (1899). Kata ni jg digunakan oleh Muhammad Abduh dlm bukunya yg diterbitkan pd tahun 1910 berjudul "Al-Islam wa al-Nashraniyyah ma'al Ilmi wa al- Madaniyyah". Padahal, kata madaniyyah sendiri pertama kalinya digunakan oleh filsuf Islam Abu Nashr al-Farabi (meninggal 339 H) dlm bukunya tentang ilmu politik yaitu "al-Siyyasah al-Madaniyyah" dlm pengerian kehidupan kota / urban.
Perubahan ma'nawi kata madaniyyah itu jg dialami oleh kata 'hadharah'. Pada mulanya kata 'hadharah' digunakan untk pengertian kehidupan menetap oleh bapak ilmu sosiologi dari Tunisia, Ibn Khaldun, di abad XIV. Pada abad XX kata ni digunakan untk penngertian civilization oleh penulis-penulis Arab seperti Kurd Ali ( "Al-Islam wa al-Hadharah al-Arabiyyah"), dan Prof Jamaluddin Surur ("Tarikh al Hadharah al-Islamiyyah fi l-Syarq").
Sementara itu penulis Arab lainnya lebih suka menggunakan 'tamaddun' untk menterjemahkan kata peradaban. Misalnya Jurji Zaidan menulis buku Ta'rikh al-Tamaddun al-Islami (Sejarah Peradaban Islam). Kata itu menjadi populer di kawasan Melayu yaitu Malaysia dan Indonesia. Tetapi di kawasan Indo-Pakistan, para penulis di sana menggunakannya untk pengertian kebudayaan / kultur, bukan untk peradaban.
Pendapat ni senafas dgn pemikir muslim dari Libanon, 'Effat al-Sharqawi, yg menulis:
"Kebudayaan (hadharah), menurut kami adlh khazanah historis yg terefleksikan dlm kredo dan nilai, yg menggariskan bagi tujuan ideal dan makna rohaniah yg dalam, yg jauh dari kontradiksi-kontradiksi ruang dan waktu. Sedang peradaban (madaniyah) adlh khazanah pengetahuan terapan yg dimaksudkan untk mengangkat dan meninggikan manusia dari peringatan penyerahan diri terhadap kondisi-kondisi alam di sekelilingnya". (Filsafat Kebudayaan Islam , Pustaka 1983 hal. 6 )
Begitu jg pemikir brilian Ikhwanul Muslimin Sa'id Hawwa berpendapat sama ketika dia berkata :
".... madaniah (peradaban) suatu bangsa berarti aspek material yg ada pd bangsa ini. .... tsaqafah (kebudayaan suatu bangsa berarti aspek lain dari kehidupan bangsa itu sendiri .... hadharah suatu bangsa berarti gabungan tsaqafah dan madaniahnya." (Agar Kita Tidak Dilindas Zaman, Pustaka Mantiq, Jakarta 1989, hal 95).


HAKEKAT DINUL ISLAM:
SUPER-PARADIGMA PERADABAN

Oleh karena kerancuan konseptual itu penulis menjajukan sebuah stratifikasi kebudayaan lapis empat sebagai berikut:
Ringkasnya , kebudayaan itu dpt dianggap sebagi suatu sistem integral yg terdiri dari empat buah subsistem yaitu: 1. Subsistem teknikal / tata sarana ( kebudayaan bendawi)2. Subsistem institusional / tata lembaga (pola perilaku yg nampak)3. Subsistem ideasional / tata cita (pola tersirat bagian luar)4. Subsistem valuasional / tata nilai (pola perilaku tersirat bagian dalam). (Integralisme : sebuah rekonstruksi Filsafat Islam, Penerbit Pustaka 1983, hal 86)
Dan selanjutnya kita dpt memandang peradaban sebagai kebudayaan yg lebih kompleks dan lebih luas wilayahnya. Dengan susunan terstratifikasi seperti ini, kita bisa memandang ummat sebagai tubuh dari peradaban dan teknologi sebagai pakaiannya. Tetapi kita jg menggabungkan ummat dgn lingkungan hidupnya, yg alami maupun buatan sebagai tubuh peradaban yg disebut sebagai madinah Dengan sudut pandangan ni susunan eksistensial peradaban selengkapnya dpt diuraikan sebagai berikut :
1. Komponen pertama peradaban adlh madinah sebagai aspek ekoteknologis peradaban, yaitu ummah beserta lingkungan hidupnya, meliputi subsistem-subsistem populasi, pemukiman, teknologi dan ekologi. Komponen ni jg sering disebut sebagai madaniyah yg merupakan bentuk material suatu peradaban. 2. Komponen kedua adlh tamaddun sebagai aspek sosiologis berupa proses interaksi sosial antar anggota ummat yg meliputi subsistem-subsistem politik (siyasah), ekonomi , sosial, seni budaya dan lain sebagainya. Komponen ni jg sering disebut sebagai hadharah yg merupakan struktur sosial suatu peradaban. 3. Sedangkan komponen ketiga adlh hikmat sebagai aspek ideologis yaitu sistem informasi, pengetahuan dan gagasan untk menata tamaddun meliputi subsistem-subsistem ideologi (maktab), filsafat (hikmah), ilmu pengetahuan (ulum), teologi (kalam), mitologi dan lain sebagainya. Komponen ni sering disebut tsaqafah yg merupakan kerangka intelektual suatu peradaban.4. Akhirnya, komponen keempat adlh Din sebagai aspek aksiologis yaitu sistem nilai, keyakinan yg mengarahkan dan membingkai hikmat, meliputi subsistem-subsistem yuridis, etis, estetis dan lain sebagainya. Komponen Din ni merupakan landasan fundamental suatu peradaban. Dinul Islam meliputi Aqidah, Syari’ah dan Thariqah.
Dinul Islam sendiri bukanlah suatu sistem nilai yg terbentuk secara evolusioner dari konsensus-konsensus sosial antar manusia, akan tetapi merupakan wahyu Ilahi transendental, Quranul Karim, yg merupakan sumber luhur nilai-nilai Aqidah, Syari’ah dan Thariqah. Aqidah merupakan sistem kepercayaan merupakan bingkai bagi pemahaman dan landasan bagi syari’ah. Syari’ah sendiri merupakan sistem nilai dasar bagi pengamalan sosial yg terintegrasi dgn dengan pengabdian vertikal seorang muslim. Sedangkan Thariqah adlh metoda untk menimbulkan motivasi vertikal bagi pengamalan sosial secara terpadu.
Ringkasnya, struktur peradaban Islam dpt dilukiskan seperti pd Tabel 1 berikut ini
Tabel 1
Fundamental Peradaban Islam
Komponen peradaban
Peradaban
Islam
Elemen
Peradaban
Aspek Ekotekologis
(Bentuk material)
Ummah, Madinah, Alat
(=Madaniyah)
Penduduk, Pemukiman,
Ekologi, Teknologi
Aspek Sosiologis
(Struktur sosial)
Tamaddun
(=Hadharah)
Sosial, Ekonomi,
Politik dll
Aspek Ideologis
(Kerangka intelektual)
Hikmat, ‘Ilm, Maktab
(=Tsaqafah)
Filsafat, Ilmu, Seni,
Ideologi dll
Aspek Aksiologis
(Landasan fundamental)
Aqidah, Syari’ah, Thariqah
(=Din)
Nilai, Prinsip, Norma
(Agama,Etika,Estetika dll)
Esensi Teleologis
(Substansi spiritual)
Quran,
Sunnah
Sumber
Nilai


HIKMATUL WAHDATIYAH :
PARADIGMA KEILMUAN ISLAM

Jika diperhatikan dgn seksama, maka akan tampak bahwa kedudukan kerangka intelektual suatu peradaban terletak tepat ditengah bentuk material dan substansi spiritual peradaban, dan jg tepat di antara struktur sosial dan landasan fundamental peradaban. Sesungguhnyalah, pemilihan kerangka intelektual yg tepat itu sangat penting, sebab tanpa kerangka yg tepat kita akan cenderung terperangkap oleh materialisme kapitalistik dan sosialisme sekuler di satu pihak, serta fundamentalisme religius dan spiritualisme mistik di lain pihak.

Islam jelas tak akan terperangkap pd bentuk-bentuk ekstremitas parsial tersebut, oleh karena Imam Al-Ghazali telah menunjukkan dgn gamblang bahwa terdapat empat aspek non-material manusia yaitu ruh, qalb, ‘aql dan nafs sebagai pelengkap aspek material manusia yaitu jism alias tubuh fisik. Para mutashawif dan ahli hikmat sesudah beliau kemudian meletakkan kelima komponen individu itu dlm suatu hirarki yg lebih halus dan kompleks. Namun, bagi penyusunan kerangka paradigma epistemologis untk sains modern yg islami, hirarki integralitas individu seperti yg ditampilkan pd kolom pertama tabel 2 berikut ni agaknya cukuplah memadai.

Tabel 2
Struktur Paradigma Keilmuan Islami
Insan
Kalam
Fiqh
Tasauf
Ilmu
Hikmat
Ruh
Dzatullah
Quran
Haqiqah
(Transendentalitas)
Illat thammah
Qalb
Sifatullah
Sunnah
Ma’rifah
Universalitas
Illat gha’iyah
‘Aql
Amrullah
Ijtihad
Thariqah
Rasionalitas
Illat surriyah
Nafs
Sunnatullah
Ijma’
Syari’ah
Operasionalitas
Illat fa’iliyah
Jism
Khalqillah
Urf
Aqidah
Obyektivitas
Illat maddiyah

Perlu diperhatikan bahwa struktur lima strata kepribadian insan, jika dibaca dari bawah ke atas, sejajar dgn struktur lima strata peradaban Islam pd Tabel 1 dibaca dari atas kebawah. Maksudnya jism individu bersesuaian dgn aspek material peradaban, sedangkan ruh individu bersesuaian dgn aspek spiritual peradaban. Selanjutnya nafs, ‘aql dan qalb individu bersesuaian dgn aspek-aspek sosial, intelektual dan moral peradaban. Dengan demikian, kesepaduan peradaban Islam dan individu-individu penggeraknya merupakan suatu keniscayaan yg tak terbantahkan.

Dengan mengidentifikasi kesejajaran kelima strata individu dan peradaban itu dgn lima strata konsep Allah dlm Kalam, lima sumber hukum dlm Fiqh dan lima jalan pengabdian dlm Tashawuf, maka kita melihat kesepaduan individu dan ulumuddin sebagai bagian integral dari peradaban Islam. Yang perlu ditekankan ialah kenyataan bahwa keempat strata terendah hirarki psikologi, sosiologi dan ideologi tradisisional itu bahkan jg bersesuaian dgn empat strata struktur epistemologi sains modern, yaitu: obyektivitas, operasionalitas / empirisitas, rasionalitas dan universalitas sains modern. Dari kesejajaran parsial ini, kita dpt melihat keunggulan sekaligus kelemahan sains modern.

Dengan memasukkan unsur transendentalitas ke dlm sains modern yg kita peroleh dari barat itu sebagai ulumuddunya dan menyepadukannya dgn ulumuddin, maka kita memperoleh ulumul islamiyah. Ulumul Islamiyah ni sebenarnya sepadu jg dgn Hikmatul Islamiyah melalui konsep stratifikasi illat / kausalitas yg diajarkan oleh Hikmatul Masya’iyyah yg merupakan islamisasi dari filsafat helenisme. Maratibul Illat / hirarki kausalitas membentuk jenjang dari Illat Maddiyah (Causa Materialis) ke Illat Thammah (Causa Prima), melaui Illat Fa’iliyah (Causa Eficiens), Illat Suriyyah (Causa Formalis) dan Illat Gha’iyah (Causa Finalis).
Dengan menyepadukan kembali ilmu kealaman, ilmu keagamaan dan filsafat, melalui kesepaduan maratibul ‘ulum, dlm ‘ulumul islamiyah, dan maratibul wujud, dlm hikmatul islamiyah, kita tiba pd filsafat Wahdatul Ulum / Hikmatul Wahdatiyah yg merupakan aspek terpenting Hikmatul Islamiyah. Hikmatul Wahdatiyah / filsafat kesepaduan tradisi Islam di masa lalu telah menjadi paradigma epistemologis dua kurun kebangkitan peradaban Islam: kurun ‘arabi dan kurun ‘ajami. Kini ketika dunia memasuki milenium tiga dgn segala keanekaragam, percepatan dan ketidakpastian perubahan di masa depan, sudah tiba waktunya cendekiawan muslim kurun ‘alami menyumbangkan paradigma ilmu yg sepadu bagi dunia keilmuan modern sebagai penganti paradigma sains modern yg dualistik parsial yg melahirkan kegalauan fraktal peradaban Barat posmodern dewasa ini.


ULIL ALBAB:
PEMBANGKIT PERADABAN ISLAM MASA DEPAN

Siapakah cendekiawan muslim yg akan mempersembahkan kunci rahasia penyelesai kemelut fragmentasi posmodern di awal milenium ini? Dialah para ulil albab yg deskripsinya telah diuraikan dgn jelas oleh Allah subhana wata’ala dlm Al-Quranul Karim seperti berikut:
Adakah (sama dgn lainnya) orang yg berbakti pd Allah pd waktu malam, seraya sujud dan berdiri, lagi takut akan (siksa) akhirat dan mengharapkan rahmat Rabbinya? Katakanlah apakah sama orang-orang berilmu dgn orang-orang yg tak berilmu. Sesungguhnya tidaklah ingat kecuali ulil-albab (Quran Suci, Az-Zumar 39:9)
Dari uraian itu jelas dpt kita uraikan adanya tiga aspek kepribadian yg harus dikembangkan oleh seorang ulul albab. Ketiga aspek kepribadian itu tercermin dlm tiga sikap hidup sebagai seorang ‘abid, seorang ‘alim dan seorang ‘arif .

Seorang ‘abid senantiasa melayani sesama makhluk hidup dlm pengabdian / ibadahnya kepada Sang Pencipta. Seorang ‘alim meningkatkan pelayanan kemanusiaan para ‘abid dgn cara mencari cara-cara baru yg lebih murah, mudah dan ramah lingkungan melalui penelitian mengenai ayat-ayat Allah yg ada di cakrawala / ‘afaq alam fisik. Sedangkan orang-orang ‘arif selalu membaca ayat-ayat yg tertulis di dlm diri-diri mereka / anfus dengan maksud untk mengalahkan hawa nafsu yg kini telah meluar tubuh melalui perkembangan teknologi yg didorong oleh mekanisme ekonomi pasar bebas global.

Tabel 3
Sikap, peran, sarana dan metoda ulil albab
Sikap
Peran
Albab
Din
‘arif
Waliyullah
Qalb
(Spiritual Intelligence)
Thariqah
‘alim
Khalifatullah
‘Aql
(Intelectual Intelligence)
Aqidah
‘abid
Abdullah
Nafs
(Emotional Intelligence)
Syari’ah


Seorang ulul ‘albab adlh seorang yg sekaligus ‘abid, ‘alim dan ‘arif. Sebagai seorang ‘abid, dia berperan sebagai abdullah yg segala perilaku dan tindakannya disesuaikan dgn Syari’ah yg mengendalikan nafs-nya. Begitu pula, sebagai seorang ‘alim, dia berperan sebagai khalifatullah fil ardh yg mengembangkan kreativitasnya dlm bingkai aqidah yg mengendalikan ‘aql-nya. Akhirnya, sebagai seorang ‘arif dia berperan sebagai waliyullah yg menjelajahi kedalaman dirinya dgn metoda thariqah yang membersihkan qalb-nya sehingga dpt memantulkan cahaya Kebenaran dan Kebijaksanaan dlm kehidupannya sehari-hari. Dalam bahasa yg populer sekarang, seorang ulul albab harus mengembangkan Intelligence Quotient, Emotional Quotient dan Spiritual Quotient secara selaras, seimbang dan sepadu sehingga hubungannya secara vertikal, horisontal dan internal dgn Allah subhana wata’ala dpt berlangsung secara optimal. Dalam bahasa religius keislaman, seorang ulul albab adlh seorang muslim, mu’min dan muhsin yang seutuhnya sehingga dia mencapai taraf seorang muttaqin sejati yg menjalankan Dinul Islam secara kaafah.

ARKANUL ISLAM:
INTI STRATEGIS TAZKIYATUL MADANIYAH
Dinul Islam harus diimplementasikan dlm sebuah proses pengamalan Islam. Dalam tataran individu hal itu dilakukan dgn melaksanakan Arkanul Islam. Rukun Islam yg lima itu tak hanya mempunyai dimensi vertikal sebagai kegiatan ibadah dlm rangka membina pribadi muslim yg kaafah, tetapi jg dimensi horisontal sebagai kerangka dasar bagi kegiatan mu’amalah membangun peradaban Islam.

Tasyahud, yaitu rukun pertama, tak lain dari komitmen individu untk mengabdi pd Allah Yang Maha Esa, yaitu Tauhid, dan komitmen individu untk melaksanakan Dinul Islam yg disampaikan oleh Rasulullah Muhammad dgn cara meneladaninya sehingga dpt melakukan transformasi religio-kultural lingkungannya sebagai rahmatan lil alamiin. Sebagai penebar rahmat bagi seluruh bangsa, pribadi muslim menyampaikan pesan salam (kedamaian) melalui aslama (penyerahan diri total) pd Allah yg Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Esensi tasyahud ni adlh Tazkiyatun-Nafsi, penyucian diri adlh pasrah pd Kasih Sayang Ilahi menyalurkan Kasih-SayangNya pd segala CiptaanNya. Dalam konteks islamisasi peradaban, tahap ni berarti melakukan reorientasi dan rekonseptualisasi semua pemikiran, pemahaman dan pengamalan pribadi kita menjadi islami.

Shalat lima waktu, sebagai rukun kedua, tak lain dari komitmen individu untk melaksanakan pengabdian secara berkelompok. Pembentukan jama’ah shalat di keluarga dan di masjid secara tertib waktu adlh sarana dari pembentukan molekul-molekul peradaban jika kita menggunakan metafor ilmu kimia. Jika kita menggunakan metafor komputer. Pembentukan jama’ah yang harmonis adlh sinkronisasi banyak prosesor sehingga dpt berfungsi secara kooperatif dlm bentuk modul-modul multi-prosesor meta-komputer peradaban.Jadi esensi shalat secara mu’amalah adlh Tazkiyatul Jama’ati. Dalam konteks islamisasi peradaban, ni berarti melakukan studi dan aksi kelompok dlm islamisasi salah satu cabang peradaban tertentu sesuai dgn bidang studi dan bidang kerja masing-masing.

Shaum, sebagai rukun Islam ketiga, tak lain dari pembentukan solidaritas sosial berbagai kelompok itu sehingga muncul kerjasma tolong menolong antara kelompok yg lebih mampu pd yg kurang mampu. Dalam metafor kimia ni berarti memanfaatkan kelebihan dan kekurangan masing-masing molekul untk membentuk reaksi kimia kompleks jalin-menjalin yg menata-diri (self-organized) menjadi sel-sel biokimia. Dalam hal peradaban reaksi kimiawi itu berupa berbagai masyarakat / institusi sosial dgn fungsi berbeda-beda. Jadi shaum pd dasarnya adlh Tazkiyatul Ijtima’i / penyucian masyarakat. Dalam konteks islamisasi peradaban, ni berarti melakukan kerja sama antar kelompok studi dan aksi islamisasi cabang peradaban yg sama membentuk suatu masyarakat keilmuan dan kebudayaan Islam.

Zakat, sebagai rukun Islam keempat, tak lain dari pembersihan harta seorang muslim dari apa yg bukan haknya. Untuk pelaksanaan zakat ni diperlukan lembaga sentral yg bisa menangani ketidakseimbangan pendapatan dari berbagai masyarakat dan kelembagaannya sehingga terjadi keseimbangan. Dalam metafor biologis, peradaban memerlukan satu organ yg memonitor dan mengoptimalkan kinerja organ-organ lainnya. Dalam hal peradaban Islam, pemerintahan merupakan instintusi sosial yg diperlukan untk itu. Penggabungan berbagai institusi sosial dlm suatu sistem negara merupakan proses Tazkiyatul-Ummati. Dalam konteks islamisasi peradaban, ni berarti berbagai masyarakat keilmuan dan kebudayaan Islam yg berbeda terintegrasi membentuk suatu dewan budaya keagamaan Islam yg terpusat dlm skala kebangsaan.

Hajj adlh rukun kelima yg tak lain dari pelepaskan kotak-kotak kenegaraan, kebangsaan dan stratifikasi sosial melebur dlm suatu upacara suji mengelilingi Ka’bah dan lain sebagainya bersatu dgn jama’ah dari berbagai negara dan bangsa. Dalam metafor komputer, ni setara dgn peleburan satu sistem dgn sistem-sistem lainnya dlm suatu meta-sistem jaringan komputer yg tak tergantung pd sistem operasi masing-masing komputer melalui satu protokol komunikasi antar-sistem yg sama. Peleburan komputer-komputer dlm satu meta-komputer bernama internet adlh analog bagi peleburan negara-negara melalui warganya dlm suatu peradaban global. Jika hajj adlh puncak ibadah individual yg melambangkan pembangkitan peradaban Islam / Tazkiyatul Manadiyati. Dalam konteks islamisasi peradaban, ni berarti bahwa berbagai dewan budaya keagamaam Islam bangsa-bangsa sedunia menjalin jaringan informasi, komunikasi dan kooperasi sebagai sistem saraf dan organ kebangkitan peradaban Islam di masa-depan .

Tabel 4
Rukun Islam sebagai
Inti Strategi Islamisasi Peradaban
Rukun
Syahadah
Shalat
Shaum
Zakat
Hajj
Hakekat
Mu’amalah
Tazikyatul
Nafsi
Tazkiyatul
Jama’ati
Tazkiyatul
Ijtima’i
Tazkiyatul
Ummati
Tazkiyatul
Madaniyati


PENUTUP


Dengan demikian, kesimpulannya, Arkanul Islam dpt dipandang sebagai inti strategis untk Tazkiyatul Madaniyati, / islamisasi peradaban, yg bersifat mu’amalah sebagai pelengkap fungsi ubudiah-nya. Dalam hal ni tazkiyatul madaniyati dpt dilihat sebagai perluasan tazkiyatul nafsi yg biasa dilakukan oleh kaum sufi. Hal ni perlu dilakukan oleh karena tubuh-luar manusia yg kini, dlm tahap perkembangan teknologi informasi, telah terintegrasi sangat ketat membentuk sebuah super-organism dgn organ-organ sosial dan teknologis. Jika Tazkiyatul Nafsi adlh perjuangan melawan logika organ-organ endo-somatik manusia alias naluri biologis, maka Tazkiyatul Madaniyati adlh perjuangan melawan logika organ ekso-somatik manusia alias dorongan/tarikan tekno-ekonomis dlm bentuk berbagai pesona konsumtivisme materialistik yg dibujukkan lewat media telekomunikasi massa global.

Menjadikan tempat kerja kita sebagai medan Tazkiyatul Madaniyati adlh bentuk perjuangan yg sangat berat. Perjuangan itu menjadi bertambah berat jika lingkungan teknologis itu telah menjadi lebih cerdas bahkan melebihi kecerdasan manusia. Akan tetapi, dgn mengasah qalbu kita untk dpt menjalankan Dinul Islam sebagai sistem operasi super-cerdas ilahiah, maka, insya Allah, perjuangan itu dpt dimenangkan oleh kaum muslimin. Dengan demikian sebuah peradaban Islam yg kuat dan damai akan dpt menjadi teladan bagi peradaban-peradaban lainnya.

Pembangunan peradaban Islam adlh misi kita dunia sebagai kelanjutan implementasi program komputasi evolusiner kosmik yg terstruktur secara hirarki fraktal. Proses evolusi semesta adlh implementasi dari program Kun Fayakun Sang Maha Pencipta. Proses evolusi semesta ni berlangsung secara bertahap dari evolusi kosmologis, geologis, biologis, psikologis, sosiologis dan teknologis. Kini kita tiba pd satu fase di mana ke empat tahap terakhir evolusi semesta itu bergulung menjadi satu sebagai ujian bagi manusia untk mengatasi problematika yg ditimbulkannya. Kaum muslimin dgn modal Dinul Islam tertantang untk berjuang membuktikan keunggulan peradaban Islam sebagai alternatif pemecahan masalah. Semoga perjuangan kita mendapat ridha Allah subhana wa ta’ala. Amin ya Rabbal alamin.

Bandung, 21 September 2000
Islamic Studies of Economics Group
Universitas Padjadjaran Bandung

source : http://integralist.blogspot.com, http://reddit.com, http://google.com

0 Response to "Tazkiyatul Madaniyah"

Posting Komentar

Contact

Nama

Email *

Pesan *