Kompas, 7 Juli 2015
Muktamar ke-47 Muhammadiyah (1) - Kiprah Pencerah di Segala Zaman
Oleh Anita Yossihara
Dikisahkan, murid-murid KH Ahmad Dahlan merasa bosan karena sang guru terus-menerus mengajarkan Al Quran Surat Al Maun secara berulang-ulang. Para murid itu pun bertanya, mengapa Dahlan tak beranjak mengajarkan surat lain. Dahlan pun balik bertanya, apakah murid-muridnya itu sudah mengamalkan Surat Al Maun?
Para murid menjawab, mereka sudah mengamalkan, bahkan sudah menjadikan Al Maun sebagai bacaan di tiap shalat.
Jawaban para murid itu tak membuat Dahlan berhenti mengajarkan Surat Al Maun. Pria bernama kecil Muhammad Darwis itu malah meminta para murid untk mendalami dan mengamalkan surat yg berisi seruan untk tak mengabaikan kaum marjinal tersebut.
Kisah itu menunjukkan bagaimana Dahlan, yg mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah pd 1912, menyampaikan pentingnya kesalehan sosial. Bahwa ilmu agama harus diamalkan, direalisasikan dlm gerakan praksis.
Sari pati Surat Al Maun itu pulalah yg menjadi salah satu rujukan Muhammadiyah untk menjadi gerakan pembaruan (tajdid), seperti ditegaskan dlm Anggaran Dasar Persyarikatan Muhammadiyah.
Seperti dipaparkan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nasir dlm Pengajian Ramadhan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 20 Juni lalu, teologi Al Maun melahirkan transformasi Islam untk mengubah kehidupan yg bercorak membebaskan, memberdayakan, dan memajukan.
Pernyataan Haedar itu tak berlebihan. Sejak berdiri pd 18 November 1912, Muhammadiyah tak hanya berkiprah di bidang agama, tetapi jg fokus mengembangkan pendidikan, pelayanan kesehatan, dan sosial.
Muhammadiyah hadir untk menjawab tantangan zaman kala itu. Di bidang keagamaan, masih banyak ditemui ritual keagamaan yg kurang sesuai dgn Al Quran dan Hadis (perkataan, perbuatan, serta perilaku Nabi Muhammad SAW). Seperti sebut saja takhayul, bidah (mengada-ada dlm beribadah), dan khurafat (animisme dan dinamisme).

Di bidang sosial, rakyat Indonesia di bawah pemerintahan Hindia-Belanda umumnya masih miskin dan terbelakang. Mereka jg sulit mengakses pendidikan dan layanan kesehatan.
Buka klinik pengobatan
Untuk membuka akses kesehatan bagi masyarakat, Muhammadiyah mendirikan Pertolongan Kesengsaraan Oemat (kini disingkat PKU). Persyarikatan berlambang matahari bersinar itu pun membangun Rumah Miskin sebagai wadah perjuangan penanggulangan kemiskinan. Tak ketinggalan, panti asuhan anak didirikan untk membantu kehidupan anak yatim.
Bahkan, dlm pendidikan, Dahlan sudah lebih dulu mendirikan sekolah Islam modern bernama Sekolah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah. Sekolah yg mengadopsi sistem pendidikan Hindia-Belanda itu dibentuk pd 1911. Tak seperti umumnya sekolah Islam kala itu, sekolah yg didirikan Dahlan sudah modern, diadakan di dlm ruang kelas, lengkap dgn meja, kursi, dan papan tulis.
Modernisasi jg terlihat dari kesadaran persyarikatan tentang pentingnya media massa sebagai ajang dakwah amar makruf nahi mungkar (mengajak berbuat baik dan memerangi kemungkaran). Tiga tahun setelah berdiri, Muhammadiyah menerbitkan majalah bernama Soewara Moehammadijah (sekarang Suara Muhammadiyah).
Apa yg dirintis Dahlan pd awal berdiri Muhammadiyah terus berkembang hingga melintasi satu abad usia persyarikatan. Saat ini, Muhammadiyah memiliki lebih dari 12.000 sekolah Muhammadiyah, dari taman kanak-kanak, sekolah dasar, hingga sekolah lanjutan. Tak hanya itu, Muhammadiyah jg mendirikan lebih dari 172 perguruan tinggi di seluruh Indonesia.
Persyarikatan jg memiliki lebih dari 457 rumah sakit, ratusan balai pengobatan, dan panti asuhan. Untuk mendorong kegiatan perekonomian, Muhammadiyah mendirikan bank perkreditan rakyat serta pendampingan terhadap usaha mikro, kecil, dan menengah.
Islam berkemajuan Sejak awal berdiri, Muhammadiyah jg sudah memosisikan diri sebagai gerakan Islam berkemajuan. Hal itu salah satunya terlihat dlm statuta pertama Muhammadiyah yg menyatakan persyarikatan itu didirikan untk memajukan agama beserta anggotanya.
Haedar membenarkan bahwa sejak awal Muhammadiyah menjadikan tajdid (pembaruan), reformis, dan modernis sebagai ideologi. Ideologi itu akan tetap dijadikan landasan berpikir dan bertindak bagi Muhammadiyah.
Tokoh intelektual Muhammadiyah, Achmad Jainuri, dlm Pengajian Ramadhan di UMY menjelaskan, ada tiga aspek penting dlm wawasan Islam berkemajuan. Pertama, filsafat keterbukaan, toleransi, dan pluralitas, di mana Muhammadiyah memahami keanekaragaman dlm konteks budaya.
Aspek kedua, memaknai ibadah dlm konteks kehidupan sosial yg sangat luas. Artinya, Muhammadiyah memandang ibadah bukan hanya sebagai ibadah yg jika sudah dilaksanakan maka gugurlah kewajiban seorang Muslim. Lebih dari itu, ibadah ditarik dlm konteks tanggung jawab sosial.
"Misalnya puasa, itu tak dimaknai sebagai kewajiban saja. Puasa dimaknai sebagai ibadah untk membentuk identitas diri menjadi orang yg sabar dan bisa menahan diri," kata Jainuri.
Aspek ketiga, lanjut Jainuri, adlh filsafat praksis. Muhammadiyah lebih mengutamakan amal dibandingkan pendekatan teologis. Hal itu terlihat dari tindakan Dahlan yg mengutamakan pembentukan berbagai amal usaha dibandingkan memperdebatkan masalah ketuhanan.
Komitmen untk melakukan gerakan pencerahan (tanwir) kembali dikukuhkan Muhammadiyah saat memasuki abad kedua usia persyarikatan. Muhammadiyah memaknai pencerahan sebagai gerakan praksis Islam yg berkemajuan untk membebaskan, memberdayakan, dan memajukan kehidupan.
Muhammadiyah memosisikan Islam sebagai jawaban atas berbagai persoalan dan tantangan zaman, terutama persoalan-persoalan yg menyangkut kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, dan lainnya.
Dalam pemikiran abad kedua Muhammadiyah dipaparkan bahwa persyarikatan meyakini Islam tak hanya mengandung ajaran berupa perintah dan larangan, tetapi jg petunjuk untk keselamatan hidup umat manusia di dunia dan akhirat.
Kiprah Muhammadiyah sebagai gerakan pencerah sudah diakui para pemimpin bangsa dan kalangan intelektual, baik dari dlm maupun luar negeri. Dengan berbagai amal usaha yg didirikan, Muhammadiyah hadir di tempat-tempat di mana negara tak hadir.
Hal itu pula yg mendasari banyak kalangan menaruh asa besar pd Muhammadiyah, tak terkecuali Soekarno, presiden pertama Indonesia. Saat memberikan sambutan dlm muktamar setengah abad Muhammadiyah di Jakarta, 1962, Soekarno meminta masyarakat Indonesia, khususnya anggota Muhammadiyah, lebih banyak menyumbangkan tenaga, usaha, dan pikiran untk mengabdi pd Tuhan, tanah air, dan bangsa.
Kini, setelah lebih dari 50 tahun berlalu, bangsa Indonesia mengalami krisis multidimensi. Saat-saat seperti inilah sumbangan tenaga, usaha, dan pikiran Muhammadiyah sangat dibutuhkan. Gerakan pencerahan untk Indonesia berkemajuan yg dijadikan tema Muktamar Ke-47 Muhammadiyah diharapkan tak sebatas retorika. Banyak harapan Muhammadiyah bisa menjadi pencerah di segala zaman.
Versi cetak artikel ni terbit di harian Kompas edisi 7 Juli 2015, di halaman 5 dgn judul "Kiprah Pencerah di Segala Zaman".
http://print.kompas.com/baca/2015/07/07/Kiprah-Pencerah-di-Segala-Zaman
Muktamar ke-47 Muhammadiyah (1) - Kiprah Pencerah di Segala Zaman
Oleh Anita Yossihara
Dikisahkan, murid-murid KH Ahmad Dahlan merasa bosan karena sang guru terus-menerus mengajarkan Al Quran Surat Al Maun secara berulang-ulang. Para murid itu pun bertanya, mengapa Dahlan tak beranjak mengajarkan surat lain. Dahlan pun balik bertanya, apakah murid-muridnya itu sudah mengamalkan Surat Al Maun?
Para murid menjawab, mereka sudah mengamalkan, bahkan sudah menjadikan Al Maun sebagai bacaan di tiap shalat.
Jawaban para murid itu tak membuat Dahlan berhenti mengajarkan Surat Al Maun. Pria bernama kecil Muhammad Darwis itu malah meminta para murid untk mendalami dan mengamalkan surat yg berisi seruan untk tak mengabaikan kaum marjinal tersebut.
Kisah itu menunjukkan bagaimana Dahlan, yg mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah pd 1912, menyampaikan pentingnya kesalehan sosial. Bahwa ilmu agama harus diamalkan, direalisasikan dlm gerakan praksis.
Sari pati Surat Al Maun itu pulalah yg menjadi salah satu rujukan Muhammadiyah untk menjadi gerakan pembaruan (tajdid), seperti ditegaskan dlm Anggaran Dasar Persyarikatan Muhammadiyah.
Seperti dipaparkan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nasir dlm Pengajian Ramadhan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 20 Juni lalu, teologi Al Maun melahirkan transformasi Islam untk mengubah kehidupan yg bercorak membebaskan, memberdayakan, dan memajukan.
Pernyataan Haedar itu tak berlebihan. Sejak berdiri pd 18 November 1912, Muhammadiyah tak hanya berkiprah di bidang agama, tetapi jg fokus mengembangkan pendidikan, pelayanan kesehatan, dan sosial.
Muhammadiyah hadir untk menjawab tantangan zaman kala itu. Di bidang keagamaan, masih banyak ditemui ritual keagamaan yg kurang sesuai dgn Al Quran dan Hadis (perkataan, perbuatan, serta perilaku Nabi Muhammad SAW). Seperti sebut saja takhayul, bidah (mengada-ada dlm beribadah), dan khurafat (animisme dan dinamisme).

Di bidang sosial, rakyat Indonesia di bawah pemerintahan Hindia-Belanda umumnya masih miskin dan terbelakang. Mereka jg sulit mengakses pendidikan dan layanan kesehatan.
Buka klinik pengobatan
Untuk membuka akses kesehatan bagi masyarakat, Muhammadiyah mendirikan Pertolongan Kesengsaraan Oemat (kini disingkat PKU). Persyarikatan berlambang matahari bersinar itu pun membangun Rumah Miskin sebagai wadah perjuangan penanggulangan kemiskinan. Tak ketinggalan, panti asuhan anak didirikan untk membantu kehidupan anak yatim.
Bahkan, dlm pendidikan, Dahlan sudah lebih dulu mendirikan sekolah Islam modern bernama Sekolah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah. Sekolah yg mengadopsi sistem pendidikan Hindia-Belanda itu dibentuk pd 1911. Tak seperti umumnya sekolah Islam kala itu, sekolah yg didirikan Dahlan sudah modern, diadakan di dlm ruang kelas, lengkap dgn meja, kursi, dan papan tulis.
Modernisasi jg terlihat dari kesadaran persyarikatan tentang pentingnya media massa sebagai ajang dakwah amar makruf nahi mungkar (mengajak berbuat baik dan memerangi kemungkaran). Tiga tahun setelah berdiri, Muhammadiyah menerbitkan majalah bernama Soewara Moehammadijah (sekarang Suara Muhammadiyah).
Apa yg dirintis Dahlan pd awal berdiri Muhammadiyah terus berkembang hingga melintasi satu abad usia persyarikatan. Saat ini, Muhammadiyah memiliki lebih dari 12.000 sekolah Muhammadiyah, dari taman kanak-kanak, sekolah dasar, hingga sekolah lanjutan. Tak hanya itu, Muhammadiyah jg mendirikan lebih dari 172 perguruan tinggi di seluruh Indonesia.
Persyarikatan jg memiliki lebih dari 457 rumah sakit, ratusan balai pengobatan, dan panti asuhan. Untuk mendorong kegiatan perekonomian, Muhammadiyah mendirikan bank perkreditan rakyat serta pendampingan terhadap usaha mikro, kecil, dan menengah.
Islam berkemajuan Sejak awal berdiri, Muhammadiyah jg sudah memosisikan diri sebagai gerakan Islam berkemajuan. Hal itu salah satunya terlihat dlm statuta pertama Muhammadiyah yg menyatakan persyarikatan itu didirikan untk memajukan agama beserta anggotanya.
Haedar membenarkan bahwa sejak awal Muhammadiyah menjadikan tajdid (pembaruan), reformis, dan modernis sebagai ideologi. Ideologi itu akan tetap dijadikan landasan berpikir dan bertindak bagi Muhammadiyah.
Tokoh intelektual Muhammadiyah, Achmad Jainuri, dlm Pengajian Ramadhan di UMY menjelaskan, ada tiga aspek penting dlm wawasan Islam berkemajuan. Pertama, filsafat keterbukaan, toleransi, dan pluralitas, di mana Muhammadiyah memahami keanekaragaman dlm konteks budaya.
Aspek kedua, memaknai ibadah dlm konteks kehidupan sosial yg sangat luas. Artinya, Muhammadiyah memandang ibadah bukan hanya sebagai ibadah yg jika sudah dilaksanakan maka gugurlah kewajiban seorang Muslim. Lebih dari itu, ibadah ditarik dlm konteks tanggung jawab sosial.
"Misalnya puasa, itu tak dimaknai sebagai kewajiban saja. Puasa dimaknai sebagai ibadah untk membentuk identitas diri menjadi orang yg sabar dan bisa menahan diri," kata Jainuri.
Aspek ketiga, lanjut Jainuri, adlh filsafat praksis. Muhammadiyah lebih mengutamakan amal dibandingkan pendekatan teologis. Hal itu terlihat dari tindakan Dahlan yg mengutamakan pembentukan berbagai amal usaha dibandingkan memperdebatkan masalah ketuhanan.
Komitmen untk melakukan gerakan pencerahan (tanwir) kembali dikukuhkan Muhammadiyah saat memasuki abad kedua usia persyarikatan. Muhammadiyah memaknai pencerahan sebagai gerakan praksis Islam yg berkemajuan untk membebaskan, memberdayakan, dan memajukan kehidupan.
Muhammadiyah memosisikan Islam sebagai jawaban atas berbagai persoalan dan tantangan zaman, terutama persoalan-persoalan yg menyangkut kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, dan lainnya.
Dalam pemikiran abad kedua Muhammadiyah dipaparkan bahwa persyarikatan meyakini Islam tak hanya mengandung ajaran berupa perintah dan larangan, tetapi jg petunjuk untk keselamatan hidup umat manusia di dunia dan akhirat.
Kiprah Muhammadiyah sebagai gerakan pencerah sudah diakui para pemimpin bangsa dan kalangan intelektual, baik dari dlm maupun luar negeri. Dengan berbagai amal usaha yg didirikan, Muhammadiyah hadir di tempat-tempat di mana negara tak hadir.
Hal itu pula yg mendasari banyak kalangan menaruh asa besar pd Muhammadiyah, tak terkecuali Soekarno, presiden pertama Indonesia. Saat memberikan sambutan dlm muktamar setengah abad Muhammadiyah di Jakarta, 1962, Soekarno meminta masyarakat Indonesia, khususnya anggota Muhammadiyah, lebih banyak menyumbangkan tenaga, usaha, dan pikiran untk mengabdi pd Tuhan, tanah air, dan bangsa.
Kini, setelah lebih dari 50 tahun berlalu, bangsa Indonesia mengalami krisis multidimensi. Saat-saat seperti inilah sumbangan tenaga, usaha, dan pikiran Muhammadiyah sangat dibutuhkan. Gerakan pencerahan untk Indonesia berkemajuan yg dijadikan tema Muktamar Ke-47 Muhammadiyah diharapkan tak sebatas retorika. Banyak harapan Muhammadiyah bisa menjadi pencerah di segala zaman.
Versi cetak artikel ni terbit di harian Kompas edisi 7 Juli 2015, di halaman 5 dgn judul "Kiprah Pencerah di Segala Zaman".
http://print.kompas.com/baca/2015/07/07/Kiprah-Pencerah-di-Segala-Zaman
source : http://muhammadiyahstudies.blogspot.com, http://merdeka.com, http://okezone.com
0 Response to "Kiprah Pencerah di Segala Zaman"
Posting Komentar