gbne.blogspot.com - Kadang-kadang saya merasa sangat terisolasi. Saya hidup di dunia saya sendiri, dan hal ni seperti berada di pengasingan. Saya tak tahu apakah orang masih ingin tahu apa yg sebenarnya saya pikirkan. (Vltchek, 2006: xxv)
Pasca pembantaian besar-besaran terhadap orang-orang (yang dituduh) simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI), situasi politik di Indonesia berubah drastis. Bukan itu saja, ditinjau dari aspek kemanusiaan, Indonesia mundur berpuluh tahun, / bahkan ratusan? Entah, yg pasti kondisi sosial-politik di Indonesia tak mengalami perbaikan. Meskipun di permukaan, mata kita disilaukan oleh ingar-bingar pembangunan di semua sektor. Soeharto, yg muncul sebagai bapak baru pd Oktober 1965, sangat berbeda dgn bapak presiden yg pertama. Jika Sukarno dikenal dgn suara bariton lewat pidatonya dlm bahasa Indonesia, Soeharto diperkenalkan sebagai smiling general. (Shiraishi, 2009: 34) Artinya, Soeharto lebih menguasai mata kita ketimbang Sukarno yg hanya meminta rakyatnya untk mendengar. Padahal, bagi sebagian besar dari kita kebenaran lebih didekatkan ke mata ketimbang telinga. Aduh!
Pasca kemerdekaan, harus diakui bahwa transisi dari Orde Lama ke Orde Baru adlh peristiwa politik terbesar di Indonesia. Sebelum itu sebetulnya ada agresi militer Belanda, tapi toh tak begitu berbahaya, meski riuh juga. Sebabnya, saat itu negeri kita sudah punya satu pegangan yg memastikan serangan dari luar bisa digagalkan. Jelas, pegangan termaksud ialah persatuan dan kesatuan yg dipupuk founding father kita. Pada saat transisi Orde Lama menuju Orde Baru, tentu saja jauh lebih membahayakan. Persatuan dan kesatuan bangsa, yg efektif sebagai tameng dari serangan pihak luar, justru yg pertama dirobohkan. Kalangan komunis yg sedang mapan saat itu, sebab kedekatan PKI dgn Sukarno, dijadikan objek serangan. Sebagai satu dari tiga kubu besar di Orde Lama, kaum nasionalis tak bisa begitu saja mengalahkan komunis. Maka mereka pakai kaum agamis sebagai senjata bantuan, dgn doktrin bahwa komunis mendakwahkan ateisme. Dua lawan satu, sudah jelas siapa yg kalah.
Tetap saja, meski terpaksa, perubahan kondisi sosial-politik adlh niscaya. Kita mesti menerima perubahan itu dlm kemakluman, kecuali kejahatannya. Sejarah sama sekali tak dpt diubah, lantaran keterlanjurannya. Anggap saja proses pendewasaan bangsa, proses yg berdarah-darah. Mulai Orde Lama yg hanya berkutat pd soal pembangunan karakter bangsa, darah-darah ditumpahkan untk mengalihkan orientasi pembangunan. Tatkala Orde Baru, banyak orang yg dihilangkan secara misterius, guna mengeliminasi penghambat agenda pembangunan. Agaknya, orang-orang hilang itu tak akan dipulangkan, kecuali berpulang ke sisi Tuhan. Proses reformasi yg sukses melengserkan Soeharto nantinya pun mesti menempuh jalan kerusuhan, bakal ada aksi demonstrasi besar-besaran di berbagai kota. Astaga!
Mereka yg Tak Masuk Hitungan Konon, Indonesia adlh negara demokrasi, tapi mengapa peristiwa melanggar kemanusiaan di masa lalu bisa terjadi? Seperti yg kita tahu, demokrasi berarti rakyat berkuasa, yg berasal dari kata Yunani: demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan). (Budiardjo, 2010: 105) Tapi, Jacques Ranciere mendakwa bahwa pd mulanya konsep politik sendiri adlh konsep yg bermasalah dan bertentangan dgn dirinya sendiri, persis karena sewaktu demos didefinisikan, ada pihak yg sengaja tak dihitung sebagai bagian darinya. (Hardiman, 2011: 37) Artinya, demos hanya mengacu pd rakyat yg dihitung, bukannya keseluruhan rakyat. Dalam konteks Indonesia, maka pihak yg sengaja tak dihitung sebagai bagian sudah cukup jelas. Komunisme, terkhusus PKI, ialah korban nyata dari kekejian ini. Lucunya, orang-orang yg bukan anggota PKI dan bahkan mereka yg sama sekali tak tahu-menahu soal komunisme, tapi dituduh. Tanpa proses persidangan, orang-orang tertuduh itu langsung dibuang ke Pulau Buru. Di antara mereka, ada sosok yg pd nantinya kita kenal sebagai sastrawan terbesar negeri ini, Pramoedya Ananta Toer.
Menilik kategorisasi politik ala Ranciere, maka demokrasi di Indonesia bercorak parapolitik. Dalam parapolitik, politik dipandang sebagai persoalan estetika: politik adlh percakapan dan penampilan / pemunculan dlm ruang publik/polis. Di titik ini, parapolitik boleh dikatakan bentuk depolitisasi politik karena konflik dlm politik diterima tetapi untk segera direformulasikan ke dlm bentuk-bentuk baru yg lebih lembek seperti kompetisi dlm konsensus dan representatif. Politik direduksi menjadi sekadar arena kompetisi meraih kekuasaan, dan tentu saja menyingkirkan mereka yg berada di kubu lain. Dengan catatan, kita tak bisa serta-merta mengklaim praktik politik model ni dijalankan dgn adil di Indonesia. Bila adil, mestinya tak ada larangan bagi komunisme, berbagai ideologi mesti diberi kesempatan yg sama untk berkompetisi di kancah politik. Begitu.
Pram Sebagai Yang Politis Menyebut Pram, nama sapaan Pramoedya Ananta Toer, sebagai tokoh komunis adlh salah kaprah. Tapi tak dipungkiri, Pram sering diposisikan bersanding dgn kaum komunis, khususnya PKI. Argumen yg paling logis adlh sama-sama korban, sebab untk ideologi, Pram sendiri menyebut dirinya Pramis. Seturut Ranciere, Pram bolehlah disebut salah satu wujud yg politis. Untuk mendefinisikan yg politis, kiranya perlu menilik uraian Ranciere, there is politics when there is a part of those who have no part, a part or party of the poor. Politics does not happen just because the poor oppose the rich. It is the other way around: politics (that is, the interruption of the simple effects of domination by the rich) causes the poor to exist as an entity. Politics exist when the natural order of domination is interrupted by the institution of a part of those have no part. (Ranciere, 1998: 11)
Yang politis / politics adlh kulminasi dari gerak, keberanian, subjektivitas bersama-sama dgn kolektivitas dan universalitas yg mengarah ke kebaruan. (Mohamad, 2011: 52) Itu artinya, yg politis adlh upaya menginterupsi tatanan rigid yg terhias kompetisi banal dgn cara penyodoran kembali kehadiran mereka yg tak dihitung dlm politik. Kehadiran yg politis menjadi ihwal penting, sebab menurut Ranciere, kelas yg paling radikal bukanlah kelas yg mengusung cita-cita pembalikan total seluruh tatanan masyarakat, melainkan justru kelas yg berada dlm situasi / posisi migrasi, kelas yg berada dlm wilayah perbatasan, yakni mereka yg memiliki ideal yg melampaui batasan-batasan materialnya. (Hardiman, 2011: 40) Secara umum, Pram memenuhi kualifikasi sebagai yg politis ini. Pertama, ia merupakan bagian dari mereka yg tak dihitung. Kedua, ia mampu melampaui batasan-batasan materialnya, sebab ideal yg ada di kepala Pram begitu luar biasa. Baca saja tulisannya!
Lantas, apa kendala yg dihadapi Pram sebagai yg politis? Apakah tangan penguasa sanggup mengebirinya? Sebenarnya tidak. Pram memilih media yg tepat untk mempraktikkan perannya sebagai yg politis, yakni menulis. Pram pun pernah berujar, menulis adlh bekerja untk keabadian. Mana mungkin tangan kuasa yg fana sanggup membungkam keabadian? Mustahil. Tulisan-tulisan Pram memberi akses baginya untk berdakwah melampaui batasan-batasan materialnya. Kendati di periode Buru ia tak bebas menulis, dan pasca bebas dari sana pun (statusnya tahanan rumah) ia malah dililit kemiskinan, toh itu bukan penghalang. Sayangnya, akses tersebut hanya memberi Pram kesempatan untk bicara keluar, tapi tak menjamin orang-orang masuk ke dlm pikiran Pram. Sebabnya, untk mendapatkan buku Pram, susah minta ampun. Kalaupun ketemu, tentu saja harganya mahal, tentu ni menyebabkan mereka yg tak dihitung merebak kembali. Tak semua orang berkesempatan membaca Pram, sekalipun mereka butuh.
Secara tak langsung, Pram meresahkan situasi yg membingkai usia senjanya ini. Dalam percakapan dgn Andre Vltchek dan Rossie Indira, Pram mengaku bahwa ia sangat terisolasi, hidup di dunianya sendiri, tak ubahnya pengasingan. Pram telah jauh tercerabut dari karyanya. Dewasa ini, karya-karya Pram hanya berarti barang mahal ketimbang sebagai instrumen perjuangan yg politis. Orang-orang berburu, berebut, melelang semahal-mahalnya, tanpa mempertimbangkan bahwa di luar sana banyak yg butuh membaca Pram, tapi belum punya kesempatan. Konteks primordial Pram pun melandasi keresahannya, ia kecewa tatkala melihat anak-cucunya lebih akrab dgn televisi ketimbang buku. Pengasingan bertahun-tahun lamanya ternyata berpengaruh besar terhadap kultur di Indonesia, bahkan dlm lingkup kecil: keluarga Pram. Tentu lantaran Pram tak bisa mendampingi tumbuh-kembang anak-cucunya, tak mampulah ia menanamkan kultur yg baik.
Di luar keluarganya, sungguh Pram punya kesempatan besar untk membangun kultur yg baik di negeri ini. Lewat buku-bukunya, Pram mendakwahkan keberanian sebagai yg politis bagi kita semua. Tapi tunggu dulu, mengapa Pram masih resah? Saya tak tahu apakah orang masih ingin tahu apa yg sebenarnya saya pikirkan, ujarnya. Apa karena buku-buku yg susah payah ia tulis dgn keringat dan darah, hari ni justru jadi barang mewah? Entah, hanya Tuhan dan orang-orang tertentu saja yg tahu. Bahkan mungkin Pram sendiri tak tahu.
REFERENSI: Vltchek, Andre & Rossie Indira. 2006. Saya Terbakar Amarah Sendirian!. Jakarta: KPG Shiraishi, Saya Sasaki. 2009. Pahlawan-Pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dlm Politik. Jakarta: Nalar Budiardjo, Miriam. 2010. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Hardiman, F. Budi, dkk. 2011. Empat Esai Etika Politik. Jakarta: Salihara Ranciere, Jacques. 1998. Disagreement. Minneapolis: University of Minnesota Press Mohamad, Goenawan, dkk. 2011. Demokrasi dan Kekecewaan. Jakarta: Democracy Project
CATATAN: Tulisanku ni hampir kalah (alias cuma Juara 3) dlm sayembara esai Peringatan Haul Pramoedya Ananta Toer yg diselenggarakan Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta (KMSI FBS UNY).
Pasca pembantaian besar-besaran terhadap orang-orang (yang dituduh) simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI), situasi politik di Indonesia berubah drastis. Bukan itu saja, ditinjau dari aspek kemanusiaan, Indonesia mundur berpuluh tahun, / bahkan ratusan? Entah, yg pasti kondisi sosial-politik di Indonesia tak mengalami perbaikan. Meskipun di permukaan, mata kita disilaukan oleh ingar-bingar pembangunan di semua sektor. Soeharto, yg muncul sebagai bapak baru pd Oktober 1965, sangat berbeda dgn bapak presiden yg pertama. Jika Sukarno dikenal dgn suara bariton lewat pidatonya dlm bahasa Indonesia, Soeharto diperkenalkan sebagai smiling general. (Shiraishi, 2009: 34) Artinya, Soeharto lebih menguasai mata kita ketimbang Sukarno yg hanya meminta rakyatnya untk mendengar. Padahal, bagi sebagian besar dari kita kebenaran lebih didekatkan ke mata ketimbang telinga. Aduh!
Pasca kemerdekaan, harus diakui bahwa transisi dari Orde Lama ke Orde Baru adlh peristiwa politik terbesar di Indonesia. Sebelum itu sebetulnya ada agresi militer Belanda, tapi toh tak begitu berbahaya, meski riuh juga. Sebabnya, saat itu negeri kita sudah punya satu pegangan yg memastikan serangan dari luar bisa digagalkan. Jelas, pegangan termaksud ialah persatuan dan kesatuan yg dipupuk founding father kita. Pada saat transisi Orde Lama menuju Orde Baru, tentu saja jauh lebih membahayakan. Persatuan dan kesatuan bangsa, yg efektif sebagai tameng dari serangan pihak luar, justru yg pertama dirobohkan. Kalangan komunis yg sedang mapan saat itu, sebab kedekatan PKI dgn Sukarno, dijadikan objek serangan. Sebagai satu dari tiga kubu besar di Orde Lama, kaum nasionalis tak bisa begitu saja mengalahkan komunis. Maka mereka pakai kaum agamis sebagai senjata bantuan, dgn doktrin bahwa komunis mendakwahkan ateisme. Dua lawan satu, sudah jelas siapa yg kalah.
Tetap saja, meski terpaksa, perubahan kondisi sosial-politik adlh niscaya. Kita mesti menerima perubahan itu dlm kemakluman, kecuali kejahatannya. Sejarah sama sekali tak dpt diubah, lantaran keterlanjurannya. Anggap saja proses pendewasaan bangsa, proses yg berdarah-darah. Mulai Orde Lama yg hanya berkutat pd soal pembangunan karakter bangsa, darah-darah ditumpahkan untk mengalihkan orientasi pembangunan. Tatkala Orde Baru, banyak orang yg dihilangkan secara misterius, guna mengeliminasi penghambat agenda pembangunan. Agaknya, orang-orang hilang itu tak akan dipulangkan, kecuali berpulang ke sisi Tuhan. Proses reformasi yg sukses melengserkan Soeharto nantinya pun mesti menempuh jalan kerusuhan, bakal ada aksi demonstrasi besar-besaran di berbagai kota. Astaga!
Mereka yg Tak Masuk Hitungan Konon, Indonesia adlh negara demokrasi, tapi mengapa peristiwa melanggar kemanusiaan di masa lalu bisa terjadi? Seperti yg kita tahu, demokrasi berarti rakyat berkuasa, yg berasal dari kata Yunani: demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan). (Budiardjo, 2010: 105) Tapi, Jacques Ranciere mendakwa bahwa pd mulanya konsep politik sendiri adlh konsep yg bermasalah dan bertentangan dgn dirinya sendiri, persis karena sewaktu demos didefinisikan, ada pihak yg sengaja tak dihitung sebagai bagian darinya. (Hardiman, 2011: 37) Artinya, demos hanya mengacu pd rakyat yg dihitung, bukannya keseluruhan rakyat. Dalam konteks Indonesia, maka pihak yg sengaja tak dihitung sebagai bagian sudah cukup jelas. Komunisme, terkhusus PKI, ialah korban nyata dari kekejian ini. Lucunya, orang-orang yg bukan anggota PKI dan bahkan mereka yg sama sekali tak tahu-menahu soal komunisme, tapi dituduh. Tanpa proses persidangan, orang-orang tertuduh itu langsung dibuang ke Pulau Buru. Di antara mereka, ada sosok yg pd nantinya kita kenal sebagai sastrawan terbesar negeri ini, Pramoedya Ananta Toer.
Menilik kategorisasi politik ala Ranciere, maka demokrasi di Indonesia bercorak parapolitik. Dalam parapolitik, politik dipandang sebagai persoalan estetika: politik adlh percakapan dan penampilan / pemunculan dlm ruang publik/polis. Di titik ini, parapolitik boleh dikatakan bentuk depolitisasi politik karena konflik dlm politik diterima tetapi untk segera direformulasikan ke dlm bentuk-bentuk baru yg lebih lembek seperti kompetisi dlm konsensus dan representatif. Politik direduksi menjadi sekadar arena kompetisi meraih kekuasaan, dan tentu saja menyingkirkan mereka yg berada di kubu lain. Dengan catatan, kita tak bisa serta-merta mengklaim praktik politik model ni dijalankan dgn adil di Indonesia. Bila adil, mestinya tak ada larangan bagi komunisme, berbagai ideologi mesti diberi kesempatan yg sama untk berkompetisi di kancah politik. Begitu.
Pram Sebagai Yang Politis Menyebut Pram, nama sapaan Pramoedya Ananta Toer, sebagai tokoh komunis adlh salah kaprah. Tapi tak dipungkiri, Pram sering diposisikan bersanding dgn kaum komunis, khususnya PKI. Argumen yg paling logis adlh sama-sama korban, sebab untk ideologi, Pram sendiri menyebut dirinya Pramis. Seturut Ranciere, Pram bolehlah disebut salah satu wujud yg politis. Untuk mendefinisikan yg politis, kiranya perlu menilik uraian Ranciere, there is politics when there is a part of those who have no part, a part or party of the poor. Politics does not happen just because the poor oppose the rich. It is the other way around: politics (that is, the interruption of the simple effects of domination by the rich) causes the poor to exist as an entity. Politics exist when the natural order of domination is interrupted by the institution of a part of those have no part. (Ranciere, 1998: 11)
Yang politis / politics adlh kulminasi dari gerak, keberanian, subjektivitas bersama-sama dgn kolektivitas dan universalitas yg mengarah ke kebaruan. (Mohamad, 2011: 52) Itu artinya, yg politis adlh upaya menginterupsi tatanan rigid yg terhias kompetisi banal dgn cara penyodoran kembali kehadiran mereka yg tak dihitung dlm politik. Kehadiran yg politis menjadi ihwal penting, sebab menurut Ranciere, kelas yg paling radikal bukanlah kelas yg mengusung cita-cita pembalikan total seluruh tatanan masyarakat, melainkan justru kelas yg berada dlm situasi / posisi migrasi, kelas yg berada dlm wilayah perbatasan, yakni mereka yg memiliki ideal yg melampaui batasan-batasan materialnya. (Hardiman, 2011: 40) Secara umum, Pram memenuhi kualifikasi sebagai yg politis ini. Pertama, ia merupakan bagian dari mereka yg tak dihitung. Kedua, ia mampu melampaui batasan-batasan materialnya, sebab ideal yg ada di kepala Pram begitu luar biasa. Baca saja tulisannya!
Lantas, apa kendala yg dihadapi Pram sebagai yg politis? Apakah tangan penguasa sanggup mengebirinya? Sebenarnya tidak. Pram memilih media yg tepat untk mempraktikkan perannya sebagai yg politis, yakni menulis. Pram pun pernah berujar, menulis adlh bekerja untk keabadian. Mana mungkin tangan kuasa yg fana sanggup membungkam keabadian? Mustahil. Tulisan-tulisan Pram memberi akses baginya untk berdakwah melampaui batasan-batasan materialnya. Kendati di periode Buru ia tak bebas menulis, dan pasca bebas dari sana pun (statusnya tahanan rumah) ia malah dililit kemiskinan, toh itu bukan penghalang. Sayangnya, akses tersebut hanya memberi Pram kesempatan untk bicara keluar, tapi tak menjamin orang-orang masuk ke dlm pikiran Pram. Sebabnya, untk mendapatkan buku Pram, susah minta ampun. Kalaupun ketemu, tentu saja harganya mahal, tentu ni menyebabkan mereka yg tak dihitung merebak kembali. Tak semua orang berkesempatan membaca Pram, sekalipun mereka butuh.
Secara tak langsung, Pram meresahkan situasi yg membingkai usia senjanya ini. Dalam percakapan dgn Andre Vltchek dan Rossie Indira, Pram mengaku bahwa ia sangat terisolasi, hidup di dunianya sendiri, tak ubahnya pengasingan. Pram telah jauh tercerabut dari karyanya. Dewasa ini, karya-karya Pram hanya berarti barang mahal ketimbang sebagai instrumen perjuangan yg politis. Orang-orang berburu, berebut, melelang semahal-mahalnya, tanpa mempertimbangkan bahwa di luar sana banyak yg butuh membaca Pram, tapi belum punya kesempatan. Konteks primordial Pram pun melandasi keresahannya, ia kecewa tatkala melihat anak-cucunya lebih akrab dgn televisi ketimbang buku. Pengasingan bertahun-tahun lamanya ternyata berpengaruh besar terhadap kultur di Indonesia, bahkan dlm lingkup kecil: keluarga Pram. Tentu lantaran Pram tak bisa mendampingi tumbuh-kembang anak-cucunya, tak mampulah ia menanamkan kultur yg baik.
Di luar keluarganya, sungguh Pram punya kesempatan besar untk membangun kultur yg baik di negeri ini. Lewat buku-bukunya, Pram mendakwahkan keberanian sebagai yg politis bagi kita semua. Tapi tunggu dulu, mengapa Pram masih resah? Saya tak tahu apakah orang masih ingin tahu apa yg sebenarnya saya pikirkan, ujarnya. Apa karena buku-buku yg susah payah ia tulis dgn keringat dan darah, hari ni justru jadi barang mewah? Entah, hanya Tuhan dan orang-orang tertentu saja yg tahu. Bahkan mungkin Pram sendiri tak tahu.
REFERENSI: Vltchek, Andre & Rossie Indira. 2006. Saya Terbakar Amarah Sendirian!. Jakarta: KPG Shiraishi, Saya Sasaki. 2009. Pahlawan-Pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dlm Politik. Jakarta: Nalar Budiardjo, Miriam. 2010. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Hardiman, F. Budi, dkk. 2011. Empat Esai Etika Politik. Jakarta: Salihara Ranciere, Jacques. 1998. Disagreement. Minneapolis: University of Minnesota Press Mohamad, Goenawan, dkk. 2011. Demokrasi dan Kekecewaan. Jakarta: Democracy Project
CATATAN: Tulisanku ni hampir kalah (alias cuma Juara 3) dlm sayembara esai Peringatan Haul Pramoedya Ananta Toer yg diselenggarakan Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta (KMSI FBS UNY).
other source : http://okezone.com, http://adiksikopi.blogspot.com, http://youtube.com
0 Response to "Orang-Orang yang Tak Masuk Hitungan - Politik"
Posting Komentar