This site uses cookies from Google to deliver its services, to personalize ads and to analyze traffic. Information about your use of this site is shared with Google. By using this site, you agree to its use of cookies. Learn More

Ketika Muhammadiyah Melirik Tasawuf

Jurnal Media Inovasi. No. 1. TH. XII/2002. pp. 28-29.
Oleh Ahmad Najib Burhani
Selama ni banyak berkembang persepsi bahwa Muhammadiyah adlh organisasi yg antitasawuf. Ia tampak sebagai lembaga yg lebih menekankan pd persoalan fiqh (hukum); pembangunan amal usaha yg berupa sekolah, rumah sakit, panti asuhan, dan sejenisnya; dan kurang peduli dgn masalah perkembangan ruhani para pengikutnya. Orgaisasi yg didirikan oleh KH Ahmad Dahlan ni dianggap kering ibadah, miskin ulama / kyai, dan terlalu memuja dunia.

Apakah seluruh persepsi ni betul? Memang, beberapa tokoh Muhammadiyah memperlihatkan sikap yg “garang” terhadap tasawuf. Haidar Naser, misalnya, dlm beberapa kesempatan seperti Halal bi-Halal DPP IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) di UHAMKA mengatakan, “Ketika kita masih butuh rasionalisme, mengapa beberapa aktivis Muhammadiyah justru terlibat dlm gerakan antirasional seperti pd tasawuf / spiritualitas?” Baginya, tasawuf adlh vis-a-vis rasionalisme.

Berbeda dari Haidar, Amin Abdullah yg merupakan Ketua Majelis Tarjih Muhammadiyah justru mencoba menawarkan satu pendekatan yg selama ni asing dlm tradisi tarjih, yaitu pendekatan ‘irfany dan burhany, suatu pendekatan yg dekat dgn gaya tasawuf. Gagasan Amin Abdullah ni mendapat respon negatif dari tokoh-tokoh sepuh Muhammadiyah. Bahkan ada reaksi keras yg meminta agar buku-buku yg pernah ditulis Amin ditarik dari peredaran dan diharamkan bagi warga Muhammadiyah.

Dukungan terhadap Amin justru datang dari kalangan muda Muhammadiyah. Mereka mencoba untk memulai mengimplementasikan ide-ide Amin itu dlm kegiatannya. Salah satu cabang IMM, contohnya, beberapa kali mengadakan diskusi tentang Ibn ‘Arabi, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) menggelar diskusi tentang Spiritualitas dan Problem Masyarakat Urban, beberapa aktivis muda Muhammadiyah tekun menggeluti wacana tasawuf, dan dlm obrolan keseharian tema tasawuf sudah seperti makanan wajib.

Akar Tasawuf di Muhammadiyah
Banyak persepsi yg keliru, termasuk di kalangan Muhammadiyah sendiri, yg menganggap organisasi ni tak memiliki “darah” tasawuf, / lebih ekstrem lagi “LSM gajah” ni adlh gerakan antitasawuf. Penolakan terhadap TBC (taklid, bid’ah, dan c(k)hurafat) sering dianggap sebagai “surat perintah” untk menentang tasawuf. Dalam hal ini, tasawuf dipahami sebagai gerakan yg identik dgn perilaku syirik, memuja kuburan, klenik, horor, takhayul, pelanggaran syari’at, penolakan dunia dan hidup seperti kere, dan sejenisnya.

Persepsi di atas semakin berkembang ketika Muhammadiyah dianggap identik dgn Wahabisme di Arab Saudi yg secara keras menyatakan penolakan terhadap tasawuf. Wahabi, yg agak mirip dgn Taliban di Afghanistan, pernah melakukan penggusuran terhadap kuburan-kuburan di Mekah dan Madinah, bahkan kubur Rasulullah pun hampir-hampir ikut “dibolduser”. Menurut Alwi Shihab, perbedaan paling menonjol antara Wahabisme dan Muhammadiyah adlh sikap keduanya terhadap tasawuf. Pandangan-pandangan keagamaan Ahmad Dahlan menunjukkan sikap lunak, bahkan bersahabat terhadap tasawuf. Hal inilah yg mengantar Mitsuo Nakamura, peneliti pergerakan Muhammadiyah, menunjukkan elemen-elemen tasawuf dlm ajaran Muhammadiyah.

Anggapan Nakamura itu lebih jelas tergambar dlm ungkapan ulama yg bernama kecil Muhammad Darwisy yg bertendensikan tasawuf kepada pengikut-pengikutnya. Kata-kata mutiara sufi kenamaan Hasan Basri yg senantiasa mengingatkan manusia akan kematian dan hari pembalasan di kemudian hari bergema dlm ungkapan-ungkapan pendiri Muhammadiyah itu. Anjuran-anjuran sufi besar Al-Muhasiby yg menekankan bahaya penyakit riya (hiprokasi), dan Yahya ibn Muaz tentang peringatan kematian dpt ditemukan persamaannya dlm anjuran-anjuran tokoh dari Kauman Yogyakarta ini. Bahkan keengganan murid Syaikh Ahmad Khatib (1855-1916), ulama kelahiran Indonesia yg pernah menempati posisi tertinggi di Makkah, untk melibatkan diri dlm pemikiran spekulatif teologis yg mengundang perdebatan adlh merupakan kelangsungan tradisi sufi-sufi besar Islam.(Alwi Shihab, 1998)

George Makdisi, seperti jg dikutip Alwi Shihab, dlm tulisannya Ibn Taymiyyah: A Sufi of the Qadiriya Order menempuh langkah yg cukup jauh dlm membuktikan bahwa Ibn Taimiyah sebagai mentor dan figur inspiratif gerakan-gerakan modern Islam, termasuk Ahmad Dahlan, adlh anggota dan murid tarekat Qadiriah. Ibn Taimiyah, menurut Makdisi, menunjukkan sikap positif terhadap sekian banyak sufi besar Islam semacam Al-Junaid, Al-Tustari, Al-Fudhail, dan bahkan Al-Ghazali. Ibn Taimiyah sendiri, lanjut Makdisi, telah mengekspresikan tendensi tasawufnya dlm karya-karyanya yg menarik di bidang tasawuf --antara lain dlm kitabnya yg berjudul Al-Tuhfah al-’Iraqiyyahi fil-A’mal al-Qalbiyyah.

Demikian pula halnya dgn Ibnul Qayyim Al-Jawziyah, murid pinilih Ibn Taimiyyah yg jg menjadi salah satu rujukan Muhammadiyah, memiliki sikap yg sangat moderat terhadap tasawuf. Ibnul Qayyim Al-Jawziyah bahkan menulis tiga jilid tebal buku yg diberi judul Madarij as-Salikiinbaina Iyyakana’budu wa Iyyaka Nastain. Ini merupakan syarah terbaik untk buku klasik tasawuf yg menceritakan apa yg harus kita lakukan dlm perjalanan menuju Tuhan karya Abu Ismail Abdullah Al-Anshary yg berjudul Manazil al-Salikiin (station travellers atau spiritual travellers).

Muhammad Abduh, reformis pembaru Mesir yg banyak memberikan inspirasi kepada Muhammadiyah itu, adlh murid Syekh Darwisy, penganut Tarekat Syaziliyah. Rasyid Ridha dlm buku Tarikh al-Ustadz al-Imam al-Syaikh Muhammad ‘Abduh memaparkan bagaimana Abduh mengenang jasa gurunya itu sebagai orang yg melepaskannya dari penjara kebodohan dan ikatan taklid serta mengantarkannya pd satu cita-cita untk mendapatkan pengetahuan dan disiplin jiwa yg sempurna.

Mana yg Ditolak Muhammadiyah?
Seyyed Hossein Nasr menganggap tasawuf sebagai spirit of Islamic religion (jiwa dan semangat agama Islam). Tanpa tasawuf, Islam akan menjadi gersang, tak subur, bahkan tak hidup. Berbeda dari Nasr, Fazlur Rahman Menganggap tasawuf sebagai infiltrasi budaya luar yg menggerogoti Islam. Mana yg benar? Dari persoalan inilah kita akan berangkat untk melihat mana tasawuf yg disetujui Muhammadiyah dan mana yg ditolak.

Tidak ada yg menolak jika dikatakan bahwa tujuan tasawuf adlh kesempurnaan akhlak. Tidak ada umat Islam yg menggugat aksioma bahwa tasawuf adlh moral education atau moral elaboration perfection. Meski ada sufi yg menganggap etika itu sebagai peringkat dasar dari tasawuf, dan kelas-kelas selanjutnya adlh union / wahdah (persatuan / pertemuan), ada jg love (cinta). Tapi semua tingkatan itu harus didasari oleh etika.

Selain pandangan di atas, ada beberapa sufi yg merasa tak cukup dgn definisi dan tujuan tasawuf sebagai sekadar untk kesempurnaan akhlak. Mereka menganggap tasawuf sebagai jalan hidup / metode untk mencapai ma'rifatullah, pengenalan Tuhan. Nah, dlm konteks inilah lantas masuk ke dlm tasawuf aliran-aliran filsafat Yunani, pemikiran dari Persia, dan ajaran-ajaran dari agama lain. Ajaran-ajaran ni oleh ahli syari’ah dianggap sebagai penyimpangan tasawuf dari doktrin Islam.

Ibnu Sabiin, Suhrawardi dan Al-Hallaj adlh orang-orang yg bukan saja menjadikan tasawuf sebagai sarana untk mencapai akhlak mulia, tetapi lebih untk pengenalan Allah (ma'rifah). Bahkan sebagian sufi lain menjadikan tasawuf sebagai sarana untk menyatu dengan-Nya. Sehingga muncul istilah wahdatul wujud (panteisme), wahdatussyuhud dan sebagainya. Banyak ungkapan sufi model ni yg menjadi kontroversi. Abu Yazid Al-Busthami mengatakan, "Ana al-Haq”, saya ni adlh yg Haq (Tuhan); Al-Hallaj berkata, "saya dan Tuhan menyatu", Ibnu Sabi'in yg menyatakan bahwa wujud ni hanya satu saja, yaitu wujud Tuhan, dan kita semua adlh bayang-bayang.

Banyak orang yg ikut-ikutan kepada ajaran mereka lantas membentuk tarekat yg tak mengindahkan syari’at; seperti tak perlu sembahyang, yg penting kita eling. Syariat hanya untk orang awam. Orang yg sudah sampai ke tingkat tertentu, dia sudah tak perlu shalat lagi. Tasawuf yg semacam itulah bagi Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim dan agaknya beberapa orang Muhammadiyah --yang dlm konteks ni seide dgn Fazlur Rahman-- adlh alien, sesuatu hal yg berada di luar garis-garis yg ditetapkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah.

Betulkah tasawuf seperti yg ditampilkan Al-hallaj, Ibn ‘Arabi, dan sebagainya itu sebagai infiltrasi dari luar yg menggerogoti Islam dan karena itu diharamkan? Secara umum para peneliti membagi tasawuf menjadi dua, yaitu tasawuf agama (sunni) dan tasawuf filsafat yg sering kita terjemahkan sebagai teosophy. Teo tapi sophia; ada filsafatnya, tapi jg ada ketuhanannya. Tasawuf sunni melulu bersumber dari Qur'an dan Sunnah. Tokoh-tokoh tasawuf sunni adlh Hasan Bashri, Al-Muhasiby, dan Al-Ghazali. Sedangkan tokoh-tokoh tasawuf filsafat yaitu Ibn Arabi, Suhrawardi Al-Maqtul (dibunuh pd umur 39 tahun, karena dianggap memperkenalkan banyak doktrin-doktrin di luar agama). Tokoh lain adlh Ibnu Sabi’in, Al-Qanawi, dan Al-Jilly. Dalam sejarah tasawuf di Indonesia, dikenal Hamzah Fansuri, Siti Jenar dan Ar-Raniri.

Ketika Hossein Nashr menyatakan bahwa tasawuf adlh spirit dari agama, ia pasti menunjuk kepada akhlak. Sebagaimana halnya pd saat Fazlur Rahman mengatakan bahwa tasawuf itu menggerogoti Islam, ia tak menunjuk pd akhlak, tapi menunjuk pd hal-hal yg sifatnya kebablasan dari tasawuf. Tasawuf yg diterima oleh semuanya adlh tasawuf agama. Tasawuf falsafi masih menjadi kontroversi.

Bila kita berpikir positif, sebetulnya para pelaku tasawuf falsafi itu mempunyai niat baik. Dengan tasawuf, mereka menggali cara untk bisa mengenali Allah. Karena bagi mereka, tujuan tasawuf bukan semata akhlak, tapi lebih untk mengenal Allah. Dalam rangka mengenal Allah inilah berbagai metode dilakukan, termasuk ilham, mukasyafah (membuka tirai gaib), dan sejenisnya. Ini adlh cara-cara yg tak bisa didapat melalui ilmu pengetahuan. Dalam Islam ada ilmu ladunni, ilmu yg Allah berikan kepada orang-orang tertentu melalui intuisi, karena jiwa orang tersebut bersih. Pengalaman ni hanya bisa dirasakan dan tak bisa diucapkan. Terkadang apabila dia ucapkan, orang akan keliru memahaminya. Ia adlh state of feeling yg tak dpt diekspresikan. Kalau diekspresikan, sama halnya dgn yg terjadi pd Al-Hallaj, Siti Jenar, dan Suhrawardi.

Imam Ghazali pernah ditanya, bagaimana sebenarnya perasaan seorang yg menjalani pengalaman spiritual itu? Ia katakan, memang susah untk disebutkan dan sulit diutarakan, sebagaimana halnya apabila anda bertanya, bagaimana rasanya jeruk. Tidak bisa mengutarakan manis kecutnya jeruk, sebelum si penanya merasakan sendiri. Begitulah kira-kira pengalaman spiritual itu.

Masalah tasawuf lain yg mendapat sorotan tajam dari Muhammadiyah dan yg membuat banyak aktivis organisasi merasa “ngeri” dgn dunia sufi adlh persoalan zuhud. Zuhud pd mulanya adlh berusaha untk tak diperbudak dunia. Ada yg menganggap karena tak boleh diperbudak dunia, maka ditinggalkan saja. Ini adlh anggapan yg salah fatal. Dalam zuhud, dunia ditinggalkan dlm pengertian jangan sampai memperbudak kita. Kita perlu dunia untk menjadi kuat dan mengantar kepada suatu kehidupan yg menyenangkan di akhirat. Zuhud adlh tak tergiur untk memiliki sesuatu dan diperbudak oleh apa yg kita miliki. Gerakan zuhud seakan menganggap dunia ni bangkai yg harus ditinggalkan. Padahal tak demikian, menurut Nabi, al-mukmin al-qawiyyu khairun minal mukmin al-dhaif, mukmin yg kuat --segala bidang-- itu lebih mulia daripada mukmin yg lemah. Al-yadul 'ulya khairun min al-yadis sufla, tangan yg memberi lebih mulia daripada yg menerima.

source : http://muhammadiyahstudies.blogspot.com, http://instagram.com, http://pinterest.com

0 Response to "Ketika Muhammadiyah Melirik Tasawuf "

Posting Komentar

Contact

Nama

Email *

Pesan *