JAKARTA - Perjalanan Muktamar Ke-33 Nahdlatul Ulama di Jombang hingga hari kedua berjalan lambat. Bahkan, sedikit gaduh. Persidangan yg baru berhasil dituntaskan baru pleno I tata tertib. Itu pun baru selesai saat malam. Padahal, pleno I itu awalnya diagendakan dilaksanakan sesaat setelah acara pembukaan muktamar pd Sabtu malam (1/8). Karena sejumlah pertimbangan, agenda tersebut akhirnya ditunda hingga kemarin pagi (2/8). Lagi-lagi, acara tertunda dan baru dimulai pd sore sekitar pukul 15.00. ”Saya jelaskan, kenapa sidang ni tertunda, karena proses registrasi belum selesai. Tapi, sekarang peserta sudah mencapai kuorum, dan sidang saya nyatakan dibuka,” kata Slamet Effendy Yusuf, ketua steering committee (SC) sekaligus pimpinan sidang, saat membuka sidang pleno I di arena muktamar di Alun-Alun Jombang Minggu (2/8). Lamanya pembahasan di sidang pleno tatib itu hanya disebabkan alotnya beberapa ketentuan di dlm rancangan tatib. Terutama saat masuk Bab V pasal 14 soal pimpinan sidang dan ketika memasuki Bab VII pasal 19 soal pemilihan rais am dan ketua umum. Dua pasal itu notabene memang saling berkaitan. Simpulnya adlh polarisasi di antara peserta muktamar yg ingin menerapkan sistem pemilihan untk rais am syuriah dan musyawarah mufakat lewat ahlul halli wal aqdi (AHWA). Pasal 14 yg berisi pimpinan sidang ditetapkan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama menjadi pintu pertama bagi para penolak AHWA. Mereka berharap pimpinan sidang bisa dipilih langsung oleh peserta muktamar. Dengan kata lain, tak harus ditetapkan oleh PB NU. Sejam lebih pasal tersebut diperdebatkan. Saling berebut suara dan teriakan mengiringi perdebatan. Sebelum akhirnya, sekitar pukul 17.00, pimpinan sidang memutuskan untk menskors sidang untk melakukan lobi. Lantunan salawat dikumandangkan untk mendinginkan suasana yg mulai panas. Sidang dibuka kembali sekitar pukul 20.00. Saat dibuka, persidangan sempat teduh sejenak. Pasal 14 jg telah disepakati bersama tetap seperti draf awal. Atau, pimpinan sidang tetap ditetapkan PB NU, bukan muktamirin. Namun, situasi tenang itu tak lama. Saat memasuki Bab VII pasal 19, tensi kembali meningkat drastis. Peserta berebut mendapatkan kesempatan bicara dan teriakan-teriakan kembali riuh terdengar. Terutama dari para penolak AHWA. Di tengah-tengah perdebatan, bahkan sempat ada insiden. Salah seorang utusan peserta muktamar dari Riau yg menyatakan penolakannya sempat melontarkan kalimat-kalimat yg merendahkan kiai dan ulama. Sontak, mayoritas peserta lainnya meminta yg bersangkutan untk menghentikan kalimat-kalimatnya. Banser pun sigap. Yang bersangkutan kemudian diamankan untk dibawa ke luar arena persidangan. Insiden itu berulang. Utusan Kepulauan Riau (Kepri) yg jg menolak AHWA melakukan hal senada. Utusan tersebut jg menyinggung-nyinggung kiai dan ulama. Bahkan, yg bersangkutan sambil menghubung-hubungkannya dgn politik uang. Seperti halnya utusan dari Riau, penolakan yg disampaikan utusan dari Kepri tersebut memicu keprihatinan mayoritas peserta sidang. Karena itu, lagi-lagi Banser terpaksa harus mengamankan yg bersangkutan untk dibawa ke luar area persidangan. ”Hilangkan ego, tundukkan, dengarkan suara ulama, siapa lagi yg mau kita dengarkan kalau bukan suara ulama,” seru utusan dari Jatim sambil terisak. Menyikapi situasi yg tak kondusif tersebut, beberapa ulama dari berbagai daerah meminta pimpinan sidang untk menskors persidangan. Pimpinan sidang mengikuti permintaan tersebut. Di depan para peserta muktamar, Slamet Effendy Yusuf mengumumkan bahwa sidang terpaksa diskors tanpa batas waktu. ”Karena situasi yg tak memungkinkan untk diteruskan, saya nyatakan sidang diskors,” tegas Slamet. (dyn/fim/c10/end)
Sabtu, 08 Agustus 2015
Popular on August
Kegaduhan Mengiringi Muktamar NU di Jombang
JAKARTA - Perjalanan Muktamar Ke-33 Nahdlatul Ulama di Jombang hingga hari kedua berjalan lambat. Bahkan, sedikit gaduh. Persidangan yg baru berhasil dituntaskan baru pleno I tata tertib. Itu pun baru selesai saat malam. Padahal, pleno I itu awalnya diagendakan dilaksanakan sesaat setelah acara pembukaan muktamar pd Sabtu malam (1/8). Karena sejumlah pertimbangan, agenda tersebut akhirnya ditunda hingga kemarin pagi (2/8). Lagi-lagi, acara tertunda dan baru dimulai pd sore sekitar pukul 15.00. ”Saya jelaskan, kenapa sidang ni tertunda, karena proses registrasi belum selesai. Tapi, sekarang peserta sudah mencapai kuorum, dan sidang saya nyatakan dibuka,” kata Slamet Effendy Yusuf, ketua steering committee (SC) sekaligus pimpinan sidang, saat membuka sidang pleno I di arena muktamar di Alun-Alun Jombang Minggu (2/8). Lamanya pembahasan di sidang pleno tatib itu hanya disebabkan alotnya beberapa ketentuan di dlm rancangan tatib. Terutama saat masuk Bab V pasal 14 soal pimpinan sidang dan ketika memasuki Bab VII pasal 19 soal pemilihan rais am dan ketua umum. Dua pasal itu notabene memang saling berkaitan. Simpulnya adlh polarisasi di antara peserta muktamar yg ingin menerapkan sistem pemilihan untk rais am syuriah dan musyawarah mufakat lewat ahlul halli wal aqdi (AHWA). Pasal 14 yg berisi pimpinan sidang ditetapkan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama menjadi pintu pertama bagi para penolak AHWA. Mereka berharap pimpinan sidang bisa dipilih langsung oleh peserta muktamar. Dengan kata lain, tak harus ditetapkan oleh PB NU. Sejam lebih pasal tersebut diperdebatkan. Saling berebut suara dan teriakan mengiringi perdebatan. Sebelum akhirnya, sekitar pukul 17.00, pimpinan sidang memutuskan untk menskors sidang untk melakukan lobi. Lantunan salawat dikumandangkan untk mendinginkan suasana yg mulai panas. Sidang dibuka kembali sekitar pukul 20.00. Saat dibuka, persidangan sempat teduh sejenak. Pasal 14 jg telah disepakati bersama tetap seperti draf awal. Atau, pimpinan sidang tetap ditetapkan PB NU, bukan muktamirin. Namun, situasi tenang itu tak lama. Saat memasuki Bab VII pasal 19, tensi kembali meningkat drastis. Peserta berebut mendapatkan kesempatan bicara dan teriakan-teriakan kembali riuh terdengar. Terutama dari para penolak AHWA. Di tengah-tengah perdebatan, bahkan sempat ada insiden. Salah seorang utusan peserta muktamar dari Riau yg menyatakan penolakannya sempat melontarkan kalimat-kalimat yg merendahkan kiai dan ulama. Sontak, mayoritas peserta lainnya meminta yg bersangkutan untk menghentikan kalimat-kalimatnya. Banser pun sigap. Yang bersangkutan kemudian diamankan untk dibawa ke luar arena persidangan. Insiden itu berulang. Utusan Kepulauan Riau (Kepri) yg jg menolak AHWA melakukan hal senada. Utusan tersebut jg menyinggung-nyinggung kiai dan ulama. Bahkan, yg bersangkutan sambil menghubung-hubungkannya dgn politik uang. Seperti halnya utusan dari Riau, penolakan yg disampaikan utusan dari Kepri tersebut memicu keprihatinan mayoritas peserta sidang. Karena itu, lagi-lagi Banser terpaksa harus mengamankan yg bersangkutan untk dibawa ke luar area persidangan. ”Hilangkan ego, tundukkan, dengarkan suara ulama, siapa lagi yg mau kita dengarkan kalau bukan suara ulama,” seru utusan dari Jatim sambil terisak. Menyikapi situasi yg tak kondusif tersebut, beberapa ulama dari berbagai daerah meminta pimpinan sidang untk menskors persidangan. Pimpinan sidang mengikuti permintaan tersebut. Di depan para peserta muktamar, Slamet Effendy Yusuf mengumumkan bahwa sidang terpaksa diskors tanpa batas waktu. ”Karena situasi yg tak memungkinkan untk diteruskan, saya nyatakan sidang diskors,” tegas Slamet. (dyn/fim/c10/end)
0 Response to "Kegaduhan Mengiringi Muktamar NU di Jombang"
Posting Komentar