This site uses cookies from Google to deliver its services, to personalize ads and to analyze traffic. Information about your use of this site is shared with Google. By using this site, you agree to its use of cookies. Learn More

Pembagian Bid’ah Secara Syar’i & Lughawi Buatan Wahabi - Umum

Pembagian Bid’ah Secara Syar’i & Lughawi Buatan Wahabigbne.blogspot.com - Tanya : Benarkah pembagian bid’ah menjadi lughawi dan syar’i merupakan pembagian yg dilakukan Wahabi, khususnya ketika mereka mengatakan perkataan bid’ah yg diucapkan ‘Umar tentang shalat tarawih maksudnya adlh bid’ah secara lughawi ?.Jawab : Wahabi - terlepas dari pembicaraan apakah setuju / tak setuju dgn istilah ni - , jika yg Anda maksudkan adlh orang-orang yg menokohkan Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah, Ibnul-Qayyim, dan Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahumullah, maka itu tak benar. Tidak benar perkataan itu dibuat-buat oleh orang-orang Wahabi.
Pembagian bid’ah dari sisi lughawiy dan syari’iy telah disebutkan oleh para ulama kita, khususnya ketika mereka menjelaskan makna bid’ah secara lughawiy yang secara ringkasnya adlh segala sesuatu yg tak ada di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mencakup yg tercela dan terpuji; sedangkan bid’ah secara syar’iy adlh khusus untk makna yg tercela. Makna kedua inilah yg terdapat dlm banyak nash yg mencela bid’ah dlm agama[1]. Al-Haafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniy rahimahullah berkata:
و " الْمُحْدَثَات " بِفَتْحِ الدَّالّ جَمْع مُحْدَثَة وَالْمُرَاد بِهَا مَا أُحْدِث ، وَلَيْسَ لَهُ أَصْل فِي الشَّرْع وَيُسَمَّى فِي عُرْف الشَّرْع " بِدْعَة " وَمَا كَانَ لَهُ أَصْل يَدُلّ عَلَيْهِ الشَّرْع فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ ، فَالْبِدْعَة فِي عُرْف الشَّرْع مَذْمُومَة بِخِلَافِ اللُّغَة فَإِنَّ كُلّ شَيْء أُحْدِث عَلَى غَيْر مِثَال يُسَمَّى بِدْعَة سَوَاء كَانَ مَحْمُودًا أَوْ مَذْمُومًا
Dan al-muhdatsaat’ adlh jamak dari kata muhdats. Yang dimaksud dengannya adlh segala sesuatu yg baru/diadakan, tak ada asalnya dlm syari’at, dan kemudian dinamakan dlm ‘urf syari’at dgn bid’ah. Adapun segala sesuatu yg mempunyai asal yg ditunjukkan oleh syari’at, maka itu bukan bid’ah. Maka, bid’ah dlm ‘urf syar’iy adlh tercela. Berbeda halnya dgn bid’ah secara bahasa, karena segala sesuatu yg diadakan tanpa ada contoh sebelumnya dinamakan bid’ah, baik terpuji maupun tercela [Fathul-Baariy, 13/253].
وَأَمَّا " الْبِدَع " فَهُوَ جَمْع بِدْعَة وَهِيَ كُلّ شَيْء لَيْسَ لَهُ مِثَال تَقَدَّمَ فَيَشْمَل لُغَة مَا يُحْمَد وَيُذَمّ ، وَيَخْتَصّ فِي عُرْف أَهْل الشَّرْع بِمَا يُذَمّ وَإِنْ وَرَدَتْ فِي الْمَحْمُود فَعَلَى مَعْنَاهَا اللُّغَوِيّ
Adapun al-bida’, maka ia adlh jamak dari kata bid’ah, yaitu segala sesuatu yg tak ada contoh sebelumnya. Secara bahasa, bid’ah meliputi segala sesuatu, baik yg terpuji maupun yg tercela. Dan dikhususkan dlm ‘urf (peristilahan) ahlusy-syar’i (ulama syari’at) untk sesuatu yg tercela saja. Seandainya bid’ah digunakan dlm pujian, maka maknanya adlh (bid’ah) lughawiy [idem, 13/278]. Al-Haafidh Ibnu Katsiir rahimahullah berkata:
والبدعة على قسمين: تارة تكون بدعة شرعية، كقوله: فإن كل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة. وتارة تكون بدعة لغوية، كقول أمير المؤمنين عمر بن الخطاب رضي الله عنه عن جمعه إياهم على صلاة التراويح واستمرارهم: نعْمَتْ البدعةُ هذه
Dan bid’ah tebagi menjadi dua macam. Kadang ia menjadi bid’ah yg syar’iy seperti sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ’Sesungguhnya tiap hal yg baru (muhdats) adlh bid’ah, dan tiap bid’ah adlh kesesatan’. Dan kadang menjadi bid’ahlughawiyyah (= bid’ah secara bahasa), seperti perkataan Amiirul-Mukminiin ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu dalam usahanya untk mengumpulkan orang-orang dlm shalat tarawih dan terus menerus melakukannya : ‘Sebaik-baik bid’ah adlh ni [Tafsiir Ibni Katsiir, 1/398]. Al-Haafidh Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah berkata:
فقوله صلى الله عليه وسلم : (( كلُّ بدعة ضلالة )) من جوامع الكلم لا يخرج عنه شيءٌ ، وهو أصلٌ عظيمٌ من أصول الدِّين ، وهو شبيهٌ بقوله : (( مَنْ أَحْدَثَ في أَمْرِنا ما لَيسَ مِنهُ فَهو رَدٌّ )) ، فكلُّ من أحدث شيئاً ، ونسبه إلى الدِّين ، ولم يكن له أصلٌ من الدِّين يرجع إليه ، فهو ضلالةٌ ، والدِّينُ بريءٌ منه ، وسواءٌ في ذلك مسائلُ الاعتقادات ، أو الأعمال ، أو الأقوال الظاهرة والباطنة .
وأما ما وقع في كلام السَّلف مِنِ استحسان بعض البدع ، فإنَّما ذلك في البدع اللُّغوية ، لا الشرعية ، فمِنْ ذلك قولُ عمر رضي الله عنه لمَّا جمعَ الناسَ في قيامِ رمضان على إمامٍ واحدٍ في المسجد ، وخرج ورآهم يصلُّون كذلك فقال : نعمت البدعةُ هذه .
Sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Setiap bid’ah adlh kesesatan’ termasuk jawaami’ul-kalim[2], yg tak keluar dari keumumannya. Dan ia merupakan pokok yg agung dari pokok-pokok agama, dan menyerupai sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Barangsiapa yg mengada-adakan dlm perkara agama kami yg tak ada di dalamnya, maka tertolak’. Maka tiap orang yg mengadakan sesuatu, lalu ia menisbatkannya kepada agama dan perkara tersebut tak ada asalnya dari agama, maka kembali kepadanya (yaitu : kesesatan) dan agama pun berlepas diri darinya. Baik pd perkara keyakinan maupun amalan, yg dhahir maupun yg batin. Adapun yg ada dlm perkataan salaf yg menganggap baik sebagian bid’ah, maka itu hanyalah ada pd bid’ah lughawiyyah (secara bahasa), bukan syar’iyyah (secara syari’at). Yang termasuk dlm bagian tersebut adlh perkataan ‘Umar radliyallaahu ‘anhu ketika ia mengumpulkan orang-orang untk shalat tarawih di bulan Ramadlaan dgn satu imam di masjid, serta orang-orang setelah mereka pun keluar melakukannya jg : ‘Sebaik-baik bid’ah adlh ni [Jaami’ul-‘Ulum wal-Hikam, hal. 597 - tahqiq : Al-Fahl]. Perkataan Ibnu Rajab tersebut jg disitir oleh Al-Mubaarakfuriy dlm Tuhfatul-Ahwadziy 7/439-440. Jika kita perhatikan, kata bid’ah itu bisa ditinjau dari dua segi, yaitu dari segi bahasa dan segi syari’at. Perbuatan ‘Umar radliyallaahu ‘anhu yg mengumpulkan orang-orang dlm shalat tarawih dgn satu imam di masjid bukan termasuk bid’ah, karena ia ada contohnya sebelumnya dari perbuatan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berhenti melakukannya karena khawatir shalat tersebut akan diwajibkan kepada mereka, sebagaimana sabdanya:
أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ شَأْنُكُمُ اللَّيْلَةَ، وَلَكِنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ صَلَاةُ اللَّيْلِ، فَتَعْجِزُوا عَنْهَا
Amma ba’du, sesungguhnya keadaan kalian tidaklah samar bagiku di malam tersebut (= yaitu iman dan semangat kalian dlm beribadah), akan tetapi aku merasa khawatir (ibadah ini) akan diwajibkan kepada kalian, lalu kalian tak sanggup melakukannya [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 882 dan Muslim no. 761]. Ketika beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam wafat dan syari’at telah sempurna, maka ‘illat tersebut di atas tak ada. Tidak ada kewajiban selain apa yg diwajibkan oleh beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam semasa hidupnya[3]. Oleh karena itu, pensyari’atan pelaksanaan shalat taraawih kembali pd keumuman sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ
Sesungguhnya, seseorang yg shalat bersama imam hingga selesai, maka dihitung baginya shalat semalam suntuk [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1375, At-Tirmidziy no. 806 dan ia berkata : ‘Hasan shahih’, An-Nasaa’iy no. 1364 & 1605, Ibnu Maajah no. 1327, dan yg lainnya; shahih[4]]. Suata perkara yg ditinggalkan / tak ada dilakukan di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam karena adanya faktor penghalang, kemudian hal itu dilakukan sepeninggal beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam karena faktor penghalangnya sudah tak ada; maka itu bukan termasuk bid’ah secara syari’iy. Contohnya adlh shalat tarawih berjama’ah di masjid sebagaimana dilakukan (kembali) oleh ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu. Contoh lain adlh pengumpulan mushhaf di jaman Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu.[5] Dengan demikian, perkataan ‘Umar : ‘Sebaik-baik bid’ah adlh ini’, bukan dlm konteks makna syar’iy, tapi lughawiy sebagaimana dikatakan para ulama di atas. Bisa dikatakan sebagai bid’ah yg terpuji. Lain halnya jika ada orang yg melakukan halaqah-halaqah dzikir berjama’ah khusus yg dipimpin oleh orang tertentu, maka ni bid’ah dlm makna syari’iy (tercela) sehingga dicela oleh Ibnu Mas’uud radliyallaahu ‘anhu. Begitu pula ketika ada orang yg mengucapkan shalawat ketika bersin, maka ni jg bid'ah sehingga diingkari oleh Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa. Tidak ada faktor penghalang bagi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukan dua perbuatan, tapi kenyataannya beliau tak melakukannya. Tidak ada ruang bid’ah hasanah/mahmuudah dlm perkara ini. Intinya, pembagian bid’ah menjadi lughawi dan syar’i ni bukan produk orang-orang Wahabi, tapi memang berdasarkan penjelasan para ulama. Dan itu memang tepat sebagaimana konteksnya.Wallaahu a’lam. [abul-jauzaa’ - perumahan ciomas permai - 13052015 - 00:09].



[1] Diantaranya hadits:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ Dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : Barangsiapa yg mengada-adakan dlm perkara agama kami yg tak ada di dalamnya, maka tertolak [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2697 dan Muslim no. 1718]. dlm riwayat lain dibawakan dgn lafadh:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ Barangsiapa yg beramal dgn satu amalan yg tak ada keterangannya dari kami, maka tertolak [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1718].
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ وَعَلَا صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ، حَتَّى كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْشٍ، يَقُولُ: صَبَّحَكُمْ وَمَسَّاكُمْ ، وَيَقُولُ: بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةَ كَهَاتَيْنِ، وَيَقْرُنُ بَيْنَ إِصْبَعَيْهِ السَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى ، وَيَقُولُ: أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ، وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ، وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Dari Jaabir bin ‘Abdillah, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila sedang berkhutbah, mata beliau memerah, suaranya keras dan kemarahan beliau memuncak, seakan-akan beliau sedang memperingatkan pasukan (dari musuh). Beliau bersabda : "Hendaklah kalian selalu waspada di waktu pagi dan petang. Aku diutus, sementara antara aku dan hari kiamat adlh seperti dua jari ni (yakni jari telunjuk dan jari tengah)". Kemudian beliau melanjutkan: "Amma ba'du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adlh Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adlh petunjuk Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam. Seburuk-buruk perkara adlh perkara yg diada-adakan, dan tiap bid'ah adlh kesesatan" [Diriwayatkan oleh Muslim no. 867].
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّمَا هُمَا اثْنَتَانِ: الْكَلَامُ، وَالْهَدْيُ، فَأَحْسَنُ الْكَلَامِ كَلَامُ اللَّهِ، وَأَحْسَنُ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ، أَلَا وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدِثَاتِ الْأُمُورِ، فَإِنَّ شَرَّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Dari ‘Abdullah bin Mas’uud : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Sesungguhnya hanya ada dua hal : perkataan dan petunjuk. Maka sebaik-baik perkataan (kalaam) adlh Kalaamullah (Al-Qur’an), dan sebaik-baik petunjuk adlh petunjuk Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ketahuilah, waspadalah kalian terhadap perkara-perkara baru. Sesungguhnya seburuk-buruk perkara adlh hal-hal baru (yang diada-adakan), tiap hal baru adlh bid'ah, dan tiap bid'ah adlh kesesatan [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 46; shahih].
عَنِ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Dari ‘Irbaadl bin Saariyyah : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : Aku nasihatkan kepada kalian untk bertaqwa kepada Allah, mendengar dan taat meskipun (yang memerintah kalian) seorang budak Habsyiy. Siapa saja yg hidup di antara kalian sepeninggalku nanti, akan menjumpai banyak perselisihan. Wajib atas kalian untk berpegang pd sunnahku dan sunnah dan sunnah para khalifah yg mendapatkan hidayah dan petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia erat-erat dgn gigi geraham. Waspadalah kalian terhadap hal-hal yg baru, karena tiap hal-hal yg baru adlh bid’ah, dan tiap bid’ah adlh kesesatan [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4607; shahih].
[2] Perkataan singkat tapi mengandung makna yg banyak dan luas.[3] Ibnu ‘Abdil-Barr rahimaullah berkata:
فيه أن قيام رمضان سنة من سنن النبي عليه السلام مندوب إليها مرغب فيها ولم يسن منها عمر إلا ما كان رسول الله يحبه ويرضاه وما لم يمنعه من المواظبة عليه إلا أن يفرض على أمته وكان بالمؤمنين رؤوفا رحيما صلى الله عليه و سلم فلما علم عمر ذلك من رسول الله وعلم أن الفرائض في وقته لا يزاد فيها ولا ينقص منها أقامها للناس وأحياها وأمر بها وذلك سنة أربع عشرة من الهجرة صدر خلافته Dalam hadits terdapat faedah bahwa shalat (tarawih) di bulan Ramadlaan termasuk diantara sunnah-sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, disunnahkan dan dianjurkan untk melakukannya. ‘Umar tidaklah men-sunnah-kannya, karena perbuatan tersebut merupakan sesuatu yg dicintai dan diridlai oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam (sehingga ‘Umar sekedar menghidupkannya - Abul-Jauzaa’). Tidak ada halangan bagi beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk terus melakukannya, kecuali karena khawatir akan diwajibkan kepada umatnya, sedangkan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yg sayang terhadap kaum mukminiin. Ketika ‘Umar mengetahui hal itu dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa kewajiban-kewajiban di masanya tak akan bertambah dan berkurang (karena Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam telah wafat), maka ia (‘Umar) mendirikannya, menghidupkannya, dan memerintahkannya melakukan shalat tarawih berjama’ah bersama orang-orang. Peristiwa itu terjadi tahun 14 hijriyyah di masa pemerintahannya [Al-Istidzkaar, 1/62-63].
[4] Silakan baca artikel : Mana yg Lebih Utama : Shalat Tarawih Berjama’ah di Masjid / di Rumah ?.[5] Dulu di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam hal ni tak dilakukan karena masih adanya penghalangnya, yaitu masih banyaknya shahabat yg menghapal Al-Qur’an sehingga Al-Qur’an masih terjaga. Tapi ketika terjadi perang Yamaamah dan banyak penghapal Al-Qur’an yg gugur, maka faktor penghalangnya yg sebelumnya eksis menjadi tak ada. Ada faktor pendorong untk melakukannya, yaitu menjaga Al-Qur’an. Dapat dibaca artikel terkait : Apakah Setiap Amal yg Tidak Dilakukan di Jaman Nabi Disebut Bid'ah ?.

other source : http://solopos.com, http://abul-jauzaa.blogspot.com, http://bbc.co.uk

0 Response to "Pembagian Bid’ah Secara Syar’i & Lughawi Buatan Wahabi - Umum"

Posting Komentar

Contact

Nama

Email *

Pesan *