gbne.blogspot.com - Katakanlah, hampir semua orang menyebut gotong royong sebagai moralitas yg baik. Gotong royong konon merupakan kepribadian khas bangsa, / lebih sempit lagi, Jawa. Meski tiada satu pun yg mampu merumuskan dgn baik apa itu kepribadian bangsa, toh gotong royong mesti diterima sebagai ihwal yg baik. Harus. Sebabnya, gotong royong mengajarkan masyarakat untk bekerja sama dlm pembangunan yg nanti mereka rasakan sendiri hasilnya, seumpama membangun jembatan, memperbaiki jalan, mendirikan balai, dan sebagainya. Selain itu, dlm kerja bersama, solidaritas pun turut terbangun. Mereka yg tak terlibat gotong royong lazimnya dipergunjingkan di sela kegiatan. Dianggap tak solider, tak peduli dgn lingkungan tempat tinggalnya sendiri, yg toh jg ditempati tetangga-tetangga yg hidup bersama di sana. Maka, menolak terlibat dlm gotong royong adlh dosa sosial!
Gotong Royong dan Orde Baru Seperti jamak diketahui, bos rezim Orde Baru berjuluk Bapak Pembangunan. Entah siapa yg menjuluki, yakinlah bahwa pembangunan yg diacu hanya perkara fisik saja. Tak dipungkiri, pembangunan fisik semasa Orde Baru begitu masif, semasif-masifnya. Pembangunan fisik besar-besaran, mau tak mau menuntut modal yg besar pula. Modal finansial jelas dari pinjaman luar negeri, / dgn kata lain: utang. Lalu yg berikutnya jadi soal ialah siapa yg bergerak. Sejauh yg tampak, pembangunan di kota terlihat lebih pesat lantaran dikerjakan oleh tenaga profesional. Sedangkan di pedesaan, jg di pinggiran kota, pembangunan terasa lebih lambat. Sama-sama ada pembangunan, bedanya cuma cepat dan lambat. Sebabnya, di pedesaan dan pinggiran kota tak ditangani langsung oleh tenaga profesional, terkhusus di kampung-kampung. Bagaimana pembangunan bisa tetap berjalan, meskipun lambat? Di sinilah kecerdikan rezim Orde Baru.
Masyarakat Jawa tempo dulu terkenal akur, mendahulukan harmoni dan tolong-menolong dlm segala hal. Nilai-nilai tersebut konon sudah menghayat di batin orang Jawa, yg kemudian dibahasakan menjadi gotong royong. Presiden saat itu, yg kebetulan jg orang Jawa, tentu tak asing dgn perkara ini. Makanya, ia mengadopsi gotong royong sebagai konsepsi, yakni partisipasi masyarakat dlm pembangunan. Bila boleh menanggapi secara sinis, maka rezim Orde Baru sebenarnya sedang berupaya mencari tenaga gratis untk membangun di sana-sini. Tapi sejauh gagasan itu berhasil, yg mesti dilakukan ialah mencari penjelasan, yg lebih dari sekadar tuduhan.
Gotong royong hidup dlm batin masyarakat Jawa, yg dimanifestasikan dlm gerak bersama demi kemaslahatan khalayak. Praktiknya sangat nyata, dan karenanya, meminjam pemikiran Jacques Lacan: yg nyata tak terbahasakan. Maka harus mulai dibedakan antara perilakunya, yakni gerak / kerja bersama, dgn pembahasaannya. Gotong royong kemudian menjelma yg simbolik, tatkala disepakati sebagai istilah yg punya referen khusus. Masyarakat di masa Orde Baru, sayangnya terjebak di sini. Mereka hanya mengiyakan ajakan gotong royong tanpa telaah yg mendalam, sebab kadung terpesona dgn bahasa. Perlu diketahui, kesuksesan rezim Orde Baru bertahan selama puluhan tahun jg berkat ada politik bahasa, seumpama eufemisme. Gotong royong sebagai nilai luhur kemudian berubah jadi sebatas instrumen, yg seharusnya masyarakat punya kesadaran untk bahu-membahu menjadi sebatas mekanisasi massa demi lancarnya pembangunan. Ya sudah, toh gotong royong sekadar istilah.
Gotong Royong dan Ibu-Ibu Di kampung-kampung, lazimnya pergerakan ibu-ibu diwadahi dlm suatu forum bernama Pembinaan Kesejahteraan Keluarga / PKK. Forum termaksud secara garis besar punya sepuluh program pokok, yaitu: (1) penghayatan dan penerapan Pancasila, (2) gotong royong, (3) pangan, (4) sandang, (5) perumahan dan tata laksana, (6) pendidikan dan keterampilan, (7) kesehatan, (8) pengembangan kehidupan berkoperasi, (9) kelestarian lingkungan hidup, dan (10) perencanaan kesehatan. Seperti yg disebut di atas, gotong royong termasuk satu di antara sepuluh program pokok PKK. Artinya, gotong royong cukup diperhatikan (atau dipaksa jadi perhatian) ibu-ibu. Gotong royong yg sebelumnya bisa diterima dan dihayati oleh masyarakat Jawa, kemudian dipaksa agar diterima dlm bentuk yg mumpuni, dlm lingkup lebih besar pula: nasional.
Setiap kali ada kerja bakti di kampung-kampung, ibu-ibu turut serta dilibatkan. Keterlibatan itu pd akhirnya membentuk semacam jobdesk. Ibu-ibu di tiap kegiatan gotong royong selalu mendapat tugas menyiapkan makan, cemilan, dan minuman bagi bapak-bapak dan pemuda yg bekerja. Selalu seperti itu. Satu hal yg jadi perhatian di sini adlh jobdesk itu sendiri, selain keterlibatan perempuan. Gotong royong model kuno biasanya tak perlu jobdesk, / mungkin lebih tepatnya: tiap orang sudah tahu tugas dan kapasitas masing-masing. Semisal Pak Budi termasuk orang yg menghargai presisi, maka dia memilih mengerjakan hal ihwal yg menuntut kerapian. Begitu pula dgn Pak Bowo yg punya tenaga lebih dibanding warga lain, maka ia ambil bagian kerja berat. Sesederhana itu pembagian kerja, / peran yg secara otomatis terbagi, dlm masyarakat Jawa kuno. Tapi pd masa Orde Baru, entah kenapa ada pakem tersendiri terkait jobdesk gotong royong.
Mangan Ora Mangan, Kumpul Di Jawa, ada sebentuk pepatah yg lantas menentukan pola perilaku masyarakat saat bergotong royong. Mangan ora mangan, kumpul. Makan tak makan, yg penting kumpul. Artinya, entah apa yg dilakukan, yg penting berkumpul. Barangkali orang Jawa menganggap himpunan sebagai tolok ukur kerukunan. Lain dgn masyarakat Minang, mereka justru mendorong warganya supaya merantau. Dengan harapan, ketika kembali, mereka bisa membangun kampung dgn wawasan dan capaian yg didapat dari perantauan. Kembali ke mangan ora mangan, kumpul, yg saking fenomenalnya sampai dibikin cerita oleh Umar Kayam. Kumpul sebenarnya tak jadi masalah, yg jadi soal adlh mangan ora mangan.
Dikaitkan dgn gotong royong, maka ketika seorang warga datang ke tempat kerja bakti, serta-merta ia menganggap dirinya terlibat, tak peduli dia ikut kerja / tidak. Tentu saja bakal dipergunjingkan oleh warga lain, enak saja dia, cuma datang tapi kerjanya jarang. Toh, orang-orang seperti itu tetap saja ada, dan terus berlipat ganda. Bahkan bisa saja, di beberapa kasus, kerja bakti sengaja diadakan hanya agar bapak-bapak berkumpul. Kesempatan itu dimanfaatkan untk ngobrol-ngobrol / sosialisasi program dari kecamatan dan sebagainya. Soal kerja bakti, ah lupakan saja, yg penting warga kumpul, rukun, ayem, tenteram. Toh, pd dasarnya mangan ora mangan, kumpul memang menjadikan himpunan sebagai tujuan. Sungguh mulia, yakni menyatukan khalayak, tapi sayang prasyaratnya mesti ada mangan ora mangan.
Kumpul Ora Kumpul, Urun Lebih jauh, mangan ora mangan, kumpul dlm praktik gotong royong kemudian menjelma kumpul ora kumpul, urun. Kumpul tak kumpul, yg penting berkontribusi. Warga yg ikut kumpul, kontribusinya jelas, yakni kerja di lapangan. Lain hal dgn mereka yg tak ikut kumpul, bagaimana cara mereka berkontribusi? Itulah alasan di awal sudah dikatakan, model gotong royong ala masyarakat Jawa kuno dgn gotong royong di bawah rezim Orde Baru punya perbedaan yg mendasar. Gotong royong ala Jawa lebih bernuansa batiniah, mengendap jadi etika. Sedangkan gotong royong di Orde Baru lebih bersifat material, tepatnya materialisme yg vulgar. Aneh memang, Orde Baru yg menolak materialisme historis-dialektisnya ala Marx justru mendekonstruksi gotong royong jadi lebih materialis. Buktinya, warga yg tak bisa ikut kerja bakti di lapangan dibebani kewajiban berupa iuran sekian rupiah. Lho.
Terlihat jelas bahwa teori pertukaran yg diimani para sosiolog behaviourism berlaku di sini. Seturut teori yg dikembangkan George C. Homans dan Peter M. Blau itu mengandaikan perilaku sosial seperti halnya transaksi ekonomi. Prinsip resiprositas / pertimbangan untung-rugi, timbal-balik, dijadikan acuan. Jadi, ketika di masa lalu seseorang berperilaku kurang baik kepada orang lain, maka di kemudian hari perilaku itu dibalas dgn buruk pula. Maka, teori pertukaran berpusat pd pertimbangan. Sebagai contoh, Pak Budi mesti berperilaku baik pd Pak Bowo sebagai pertimbangan agar di lain hari Pak Bowo memperlakukannya dgn baik, begitu pula sebaliknya. Maka dlm teori pertukaran dikenal konsep ganjaran dan hukuman. Ganjaran sebagai respon baik, sedangkan hukuman sebagai respon buruk. Agaknya penjelasan pendek ni sudah cukup membantu biar nanti dielaborasikan dlm kasus gotong royong. Prinsip resiprositas kentara betul dlm kegiatan kerja bakti, bentuk gotong royong di zaman modern ini.
Gerak Masa dan Rasio Manusia Disayangkan memang, gotong royong yg lazimnya dianggap persoalan etis, di kemudian hari malah jadi politis, bahkan ekonomis. Secara sederhana, sebelum ni telah dijelaskan bahwa ada perubahan pola perilaku terkait gotong royong. Tapi tentu saja masih sekadar permukaan, kurang dalam. Membandingkan masyarakat dulu dan kini, konsekuensinya mesti pula mempertimbangkan rasio yg berlaku dan yg diziarahi. Maka bagian setelah ni akan lebih mendalami rasio manusia modern, dlm rangka mencari formulasi yg tepat ihwal gotong royong era sekarang. Pertanyaannya, bila pertimbangan moral sudah dibunuh oleh asas resiprokal, apakah gotong royong serta-merta punah? Atau memang sudah hampa esensi dan sekadar jadi istilah, penanda kosong yg tak dpt diubah? Mari didedah.
Semenjak muncul Mazhab Frankfurt, rasio mulai dikaji ulang secara lebih intens. Meskipun sejak Yunani Kuno rasio diperbincangkan, toh hanya beberapa orang saja yg menggeluti, yakni para filsuf. Masyarakatnya sendiri masih mengimani metafisika, hal-hal yg transenden, tak terjelaskan dan tak terselesaikan. Lantas, jika bicara kaitan rasio dan zaman, rasio yg mesti dipakai ialah yg berlaku di masyarakat. Sebagai pengantar, mari menilik perkembangan masyarakat sekaligus rasio ala filsuf positivis, Auguste Comte. Ia merumuskan dlm tiga tahap: teologi, metafisik dan positivistik. Di tahap teologi, manusia percaya segalanya diatur oleh satu kuasa, Tuhan. Sedang tahap metafisik sedikit berbeda, segalanya peristiwa dikaitkan dgn hal-hal gaib. Karma dan dosa turunan jg termasuk kepercayaan era ini. Tahap positivistik dianggap sempurna oleh Comte, sebab manusia meninggikan nalar ketimbang ihwal tanpa penjelasan.
Lain lagi dgn Friedrich Nietzsche, filsuf tertuduh pembunuh Tuhan. Baginya, ada tiga tahap perkembangan zaman, tapi berbeda dari rumusan Comte. Masing-masing zaman punya simbol tersendiri. Dalam bab awal Sabda Zarathustra, ia menyebut unta, singa, dan bayi. Zaman klasik sebagaimana unta, masyarakat tunduk pd suatu tatanan holistik yg agung, menjelma jadi adat istiadat dan agama. Di zaman modern, manusia bak singa, saling bersaing untk menentukan siapa rajanya, identik dgn persaingan bebas ala kapitalisme. Maka zaman postmodern layaknya bayi, yg murni, yg tak mengindahkan (atau sebenarnya tak mau terbelenggu) narasi-narasi besar berupa adat istiadat, agama, bahkan prinsip ekonomi. Tapi toh menjadi manusia postmodern bukan berarti jadi sasaran kebencian kaum konservatif, semestinya. Apa bayi layak dibenci? Percayalah, alasan terbesar manusia benci bayi ialah karena orangtuanya.
Dua rumusan di atas memiliki perbedaan signifikan. Comte hanya berhenti di fase modern. Tahap teologi dan metafisik identik dgn masyarakat klasik, sedang tahap positivistik merujuk zaman modern. Nietzsche lebih jauh, ia sudah mengakomodasi tiga zaman. Unta menyederhanakan zaman teologi dan metafisik, toh keduanya sama-sama meyakini yg transenden. Singa dgn buas menggambarkan masyarakat positivistik yg diwarnai semangat kapitalisme. Lalu bayi yg jadi penanda zaman postmodern, agak sulit mendefinisikan. Terutama, karena mungkin postmodernisme sudah tak perlu dirumuskan, sebab harus segera dijalani. Seperti bayi, masyarakat postmodern mencari kemurnian dlm tiap tindakannya. Mereka mesti membebaskan diri dari dikte, jg dari kepentingan lain yg melenceng dari tujuan. Penjelasan di atas dirasa cukup untk melukiskan perkembangan rasio: rasio objektif khas zaman klasik, rasio instrumental ala zaman modern, dan rasio kritis yg jadi semangat postmodern.
Gotong Royong Sekarang, Alat dan Ruang Gotong royong yg sebelumnya menyangkut moral, di masa modern jadi berciri resiprokal. Tapi jangan terburu-buru mendakwa gotong royong tiada. Di zaman ini, sebenarnya banyak aktivitas yg menjunjung semangat kebersamaan, sekalipun tak mengklaim istilah gotong royong. Semangat kebersamaan, itulah esensi gotong royong. Dalam bekerja, manusia setidaknya butuh dua hal: alat dan ruang. Dalam kerja bersama, alat dan ruang tentu saja bukan milik pribadi. Seringkali kepemilikan bersama dikritik dgn satu alasan konyol, yakni berbau komunisme. Untuk melempar kritik itu, orang merujuk Karl Marx, terkhusus cita-citanya ihwal masyarakat tanpa kelas dan tentu saja, kepemilikan bersama. Anehnya, orang berani bicara tegas, semua hal di dunia ni milik Tuhan, dgn kata lain, mengakui bahwa ia tak punya hak milik. Tapi justru enggan mengakui kepemilikan bersama, yg sebenarnya tak menghilangkan hak miliknya, hanya mesti berbagi saja pd sesama. Aduh!
Kepemilikan bersama masih sering disalahpahami. Kepemilikan bersama bukan berarti hak milik dipunyai semua orang, percayalah itu mustahil terjadi. Kepemilikan bersama tak menghalangi seseorang punya hak milik atas sesuatu, tapi semestinya ia membuka kemungkinan agar orang lain bisa mengakses sesuatu yg dimilikinya itu. Artinya, hak milik dipegang satu orang, tapi orang lain pun bisa mengakses. Sungguh, sesederhana itu. Jadi tak perlu tuduh-menuduh komunis. Begitu pula ruang, mesti ada satu ruang yang, entah dimiliki siapa, bisa diakses oleh semua orang yg ingin terlibat kerja bersama. Itulah yg Jurgen Habermas sebut dgn ruang publik (offenlichkeit). Jadi, prasyarat utama kerja bersama adlh inklusivitas. Alat dan ruang sebagai sarana kerja bersama bisa diakses oleh semua orang yg terlibat. Selain itu, jg tak menutup kemungkinan pemakaian alat dan ruang itu secara kreatif, sesuai inovasi penggunanya.
Untuk memudahkan pemahaman, kiranya contoh tetap diperlukan. Tak usah jauh-jauh memakai contoh dari negeri yg jauh sebagai bandingan, cari yg dekat-dekat saja. ketjilbergerak bisa jadi role model gotong royong zaman ini. Sebagai komunitas, tentu aspek inklusivitas sudah dipunyai ketjilbergerak. Massanya jg banyak, untk kerja bersama tentu memungkinkan. Alat dan ruang bisa diakses semua orang. Semisal berdiskusi, buku-buku (sebagai alat) bisa dibaca semua orang, kemudian diobrolkan di ketjilbergerak (sebagai ruang). Demikian pula dlm aksi-aksinya, seumpama Bocah Jogja Nagih Janji. Inklusivitas kentara sekali saat itu, anak-anak muda bisa mengakses kegiatan tersebut secara leluasa. Buktinya, selain ketjilbergerak, anak-anak muda dari Kampung Juminahan, Wonocatur, Notoyudan, Pringgokusuman, Popongan Baru, Surokarsan, Ngadiwinatan, Wirogunan, dan Mejing pun ikut terlibat. Bahkan, kembali ke ihwal fundamental, ketjilbergerak berslogan: Siapa saja yg muda, kreatif, berani, berdikari adlh ketjilbergerak! Siapa saja, jadi kamu pun boleh terlibat gotong royong dgn komunitas ini.
Realisasi RelieztNo leader, just together. Sekira demikian slogan legitim yg dihayati anak-anak muda yg menamakan dirinya Reliezt, Remaja Ledhok Timoho Bersatu. Selain itu, Reliezt jg punya slogan lain yg mendefinisikan eksistensinya: susah seneng bareng-bareng dan solidaritas tanpa batas. Dua slogan terakhir mengindikasikan kebersamaan sebagai karakter Reliezt, sedangkan no leader, just together mengisyaratkan kesetaraan. Anak muda Ledhok Timoho sebenarnya terbagi dua kubu, yakni anak masjid dan anak dolan. Keterbelahan itu jadi kendala Reliezt menyatukan anak muda Ledhok Timoho. Apalagi anggota Reliezt didominasi anak dolan, sehingga para orangtua anak masjid ogah mengizinkan putra-putrinya bergabung. Padahal Reliezt sebetulnya mau membuka diri. Sejauh ini, Reliezt pun sering terlibat kegiatan kerja bakti, bentuk gotong royong tradisional. Hanya karena terlihat nakal saja, beberapa orangtua pilih anaknya tak ikut gotong royong ketimbang jadi anak nakal. Lho!
Sekilas, Reliezt mengingatkan pd Ranciere. Bukan lantaran sama-sama diawali huruf r, tapi karena Reliezt cukup berhasil mengejawantahkan apa yg Jacques Ranciere sebut dgn etika kesetaraan. Sebelumnya sudah disinggung bahwa pemuda Ledhok Timoho terbagi di dua kubu, Ranciere menyebutnya partisi. Suatu kelompok yg terbagi dlm sekat-sekat adlh partisi. Sedangkan bila ada perbedaan jenjang kekuasaan, disebutnya hierarki. Kira-kira demikian penjelasan sederhananya. Ranciere mengkritik itu, lantas ia menawarkan pandangan baru terhadap realitas sosial. Mengapa tak kita pandang manusia satu sama lain sebagai makhluk yg setara? Ranciere jg merunut sejarah pemikiran yg ternyata masih memakai asumsi ketaksetaraan. Sejak Platon hingga Hollywood, manusia selalu terbagi dlm partisi dan hierarki. Filsuf kuno dari Yunani itu membagi manusia dlm tiga kelas: pekerja, ksatria dan filsuf. Masing-masing adlh jelmaan gagasan Platon tentang epithumia (hasrat), thumos (jiwa), dan logistikon (rasio). Hollywood merepresentasikan pula partisi dan hierarki sosial, semisal di film Divergent (dengan visualisasi yg radikal tentunya), dan masih banyak lagi. Bila Reliezt berhasil melampaui partisi dan hierarki itu, maka sah sudah, Reliezt boleh jadi jelmaan gagasan Ranciere ihwal etika kesetaraan.
Gotong royong di Ledhok Timoho sebenarnya kurang pas bila dipandang sebagai kegiatan semata, semisal kerja bakti. Lebih dari itu, gotong royong sudah terhayati jadi etika hidup bermasyarakat. Bukan cuma Reliezt, segenap warga Ledhok Timoho sampai hari ni sedang bergotong royong menegaskan eksistensi mereka. Sebab bila tak bergotong royong membangun tatanan hidup bermasyarakat, maka kedudukan mereka lemah. Satu sama lain mesti saling menguatkan dan meneguhkan, demi perubahan yg lebih baik. Siapa tahu, kelak Ledhok Timoho benar-benar dinobatkan jadi kampung yg mapan, diakui banyak insan. Soal perubahan, pemikiran Ranciere bisa kembali dijadikan rujukan. Secara kuantitas, jumlah warga Ledhok Timoho cukup memadai. Secara kualitas, selama mereka konsisten dgn kegotongroyongannya, mereka punya daya. Tapi bagi Ranciere, kuantitas dan kualitas belum cukup, justru yg lebih penting adlh akses. Oleh karenanya, di pembahasan sebelumnya (ihwal ketjilbergerak) sudah disinggung pentingnya akses itu. Selain Taabah (Tim Advokasi Arus Bawah), praktis Reliezt jadi pembuka akses anak muda Ledhok Timoho ke masyarakat luas. Sebabnya, mereka akrab dgn berbagai komunitas di Jogja seperti Humoriezt, KANSSAS, QZRH, Rember dan gang antar kampung lainnya. Pergaulan mereka yg luas itu membuka akses ke dunia luar, sekaligus jadi inspirasi untk mempersatukan anak muda Ledhok Timoho sendiri. Ayo gotong royong!
CATATAN: Tulisan ni dpt dibaca pula di situs ketjilbergerak dan Kampungnesia.
other source : http://twitter.com, http://adiksikopi.blogspot.com, http://merdeka.com
0 Response to "Gotong Royong: Retorika, Rasio & Reliezt - Memoar"
Posting Komentar