This site uses cookies from Google to deliver its services, to personalize ads and to analyze traffic. Information about your use of this site is shared with Google. By using this site, you agree to its use of cookies. Learn More

“Belenggu” Armijn Pane & Industri Perkelaminan - Memoar

gbne.blogspot.com - Kamis lalu (12/11), Koran Tempo memuat tulisan Hamid Basyaib berjudul Balai Pustaka, 100 Tahun Kesunyian. Dalam tulisan itu, ada satu kekeliruan yg sebetulnya kecil tapi sangat menganggu. Hamid menulis bahwa Balai Pustaka sudah menerbitkan sejumlah karya yg kemudian bisa kita sebut kanon sastra Indonesia, seperti Siti Nurbaya karya Marah Rusli, Salah Asuhan karya Abdul Muis, dan Belenggu karya Armijn Pane. Lucu, Hamid yg mengatasnamakan dirinya Komisaris Utama PT Balai Pustaka Persero bisa seluput itu. Belenggu tak pernah diterbitkan Balai Pustaka. Novel Armijn Pane itu lahir dari rahim Dian Rakyat.

Menyebut Belenggu sebagai terbitan Balai Pustaka jelas keliru, tapi menyebutnya salah satu karya yg disebut kanon sastra Indonesia adlh tepat. Meski terbit sebelum kemerdekaan, tepatnya tahun 1938, tipis sekali unsur kolonial Belanda dlm novel itu. Belenggu bisa dibilang pembaharu sastra Indonesia. Selain sudah menggunakan bahasa Indonesia (bukan Melayu), Belenggu oleh beberapa pihak disebut sebagai novel psikis pertama di negara ini. Dari segi tema jg ada kebaruan, Armijn berani menyorot isu-isu miring dlm masyarakat: perselingkuhan dan pelacuran. Pantas saja Balai Pustaka ogah menerima naskah yg rawan tersebut.
Belenggu berkisah tentang seorang dokter bernama Sukartono yg telah beristri Tini. Meski serasi sejak dlm penamaan, Tono dan Tini, rupanya pasangan laki-bini itu tak terlalu harmonis. Asmara mereka berdua hambar, bahkan Tono dan Tini lebih mirip rekan kerja: dokter dan sekretarisnya. Cerita bermula pd suatu ketika, Tono menerima telepon dari pasien, diminta memeriksa di rumah. Saat mencari alamat rumah pasien itu, Tono agak terkejut, yg dihampirinya ternyata hotel. Di sana Tono memeriksa Nyonya Eni, pasiennya.
Sebetulnya Nyonya Eni bukan orang asing bagi Tono, wanita itu adlh seorang yg ia kenal di masa lalu. Namun, pd perjumpaan pertama, Tono tak menyadarinya. Jati diri Nyonya Eni adlh Yah, yg dulu di masa mudanya menaksir Sukartono. Yah menjalani hidupnya dgn sengit, berpindah-pindah dari hotel satu ke hotel lain, dari pelanggan satu ke pelanggan lain. Satu yg menarik, Yah bisa dibilang pekerja seks komersial yg cerdas, terkhusus dlm branding. Ia sering berganti-ganti nama di tiap hotel yg berbeda, oleh karena pelanggan suka barang baru.
Mendahului Industri Porno Jepang dan Amerika Agak susah membaca Belenggu tanpa menyertakan konteks sekarang. Belenggu relatif sulit diterima sebagai kisah-kisah pd tahun 1938, oleh karena terlalu modern di zamannya. Beberapa gagasan yg termuat dlm novel tersebut mestinya belum ada di masa itu. Salah satunya, yg sudah disinggung, seorang pekerja seks komersial yg sadar branding. Yah memiliki banyak nama alias, sebut saja: Nyonya Eni, Siti Hayati, Rohayah, dan sebagainya. Kesadaran branding itu malah baru tampak pd artis porno Jepang di era modern, sekira tahun 2000-an.
Di Jepang, banyak artis porno yg memiliki nama alias, bahkan tak cuma satu saja. Maria Ozawa, artis porno Jepang yg paling dikenal masyarakat kita punya satu nama alias: Miyabi. Ada pula artis porno blasteran Jepang-Barat bernama Julia, dgn aliasnya Julia Boin dan Julia Oppai. Yuuri Himeno punya alias Miho Ichiki serta Anna Okina (kalau tak salah). Nama-nama alias tersebut tak pernah hadir serentak. Pasti ada fase di mana Julia memakai nama aslinya, kemudian diimbuhi Boin, lalu berganti jadi Julia Oppai. Kepentingannya tak lain daripada branding. Ingat, pelanggan suka barang baru. Maka, bila tak mampu menawarkan barang baru, tawarkan barang yg seolah baru. Caranya, ganti nama.
Di dunia, ada dua negara dgn industri porno yg besar: Jepang dan Amerika Serikat. Berbeda dgn Jepang, yg sebelumnya sudah dibahas, artis porno Amerika kurang memiliki kecenderungan mengubah-ubah nama / memakai alias. Tentu saja ada, tapi artis porno Amerika lebih berfokus pd ihwal ketubuhan, ketimbang nama dan simbol-simbol. Jepang bisa kita maklumi, di negara tersebut konsumsi simbolik luar biasa masif. Di Amerika, orang-orang butuh aktivitas seks yg riil. Oleh karena itu, artis porno Amerika sering merekayasa tubuh, transplantasi misalnya. Jadi, di Amerika kita lazim menjumpai wanita bertubuh seksi. Tapi palsu.
Armijn Pane semacam meramalkan apa yg terjadi pd industri porno Jepang hari ini, bahkan sebelum kedatangan Jepang ke Indonesia. Belenggu terbit tahun 1938, sedang Jepang baru datang tahun 1942. Pantas bila ada kalangan yg mencibir Balai Pustaka yg menolak naskah gemilang Armijn Pane tersebut. Tapi tak usah kita cibir Hamid Basyaib secara berlebihan, hanya karena ia mendaku Belenggu sebagai terbitan Balai Pustaka. Cukup ditertawakan di hati saja, jangan dibikin status Facebook, nanti bisa dikenai pasal ujaran kebencian. Lha nggih.

0 Response to "“Belenggu” Armijn Pane & Industri Perkelaminan - Memoar"

Posting Komentar

Contact

Nama

Email *

Pesan *